Part 12

79 6 2
                                    

Present Day

Cheongdam

-Jennie POV-

Ketukan sepatuku terdengar nyaring dan berisik, beradu dengan lantai marmer yang berwarna abu-abu.

Aku tidak peduli pada semua orang yang berlalu-lalang di sana. gedung kantor ini sudah dipenuhi para pekerja yang hendak masuk kantor. Rupanya mereka jarang disuguhi atraksi buru-buru di pagi hari sehingga mereka memperhatikanku dengan kening berkerut dan tatapan aneh.

Aku tidak peduli. Misiku
hanya satu: jangan sampai terlambat.

Ini hari pertamaku bekerja di kantor cabang ayahku, dan aku harus merahasiakan statusku ini demi mencapai kepercayaan ayahku, bahwa aku juga bisa mengurus perusahaan. 

Sialnya, aku terlambat bangun gara-gara menonton bola
semalaman. Sepanjang pagi tadi aku menyalahkan kakakku, Taemin, yang tega-teganya meracuni aku untuk menemaninya menonton, karena istrinya sudah terlelap. Sialnya lagi, dengan sadar aku malah setuju.

“Oppa tega, tidak membangunkanku lagi!” seruku menyalahkan Taemin sambil sibuk siap-siap. Aku
mencari-cari sepatuku yang dengan teganya menghilang entah di mana. Kakakku itu enak. Dia sudah di angkat menjadi salah satu Direktur di salah satu perusahaan Daddy.

Mau tidak tidur, begadang semalaman atau bangun jam dua belas siang pun oke-oke saja unuknya.

Taemin hanya nyengir mendengar omelanku, menunjukkan giginya.

Setidaknya aku berhasil
melemparkan sepotong roti tawar ke wajahnya.

***

“Hei… tunggu! Tunggu ! tolong, tahan dulu liftnya!” seruku sekuat tenaga.

Sebenarnya ini bahaya, lari-
lari di lantai marmer, apalagi dengan sepatu berhak tujuh senti. Aku melihat pintu lift hampir tertutup.

Kenapa tidak ada yang mau menahan lift itu? aku berlari semakin kencang dan hup! Tanganku menghalangi pintu tersebut. Tepat ketika kedua pintu hampir merapat.

Buk! Tanganku memang lumayan sakit, tapi itu tidak sebanding dengan kepuasanku karena berhasil menahan lift.

Setidaknya aku berhasil menghemat beberapa menit, apalagi kantor baruku ada di lantai dua puluh.

Napasku yang terengah-engah rasanya terdengar jelas di dalam ruangan sempit itu. aku mencoba mengaturnya perlahan. Aku juga memeriksa sepatu serta kakiku. Aku kembali bernapas lega karena
ternyata semua baik-baik saja. Kaki maupun sepatuku masih lengkap.

Setelah tenang, baru aku sadar bahwa orang-orang di dalam lift menatapku. Empat sisi lift dilapisi kaca,
membuatku bisa melihat seisi lift yang ternyata nyaris penuh sesak. Meskipun sebenarnya agak malu,
aku menegakkan punggung dan merapikan kemeja yang sepertinya sudah kusut karena kedatanganku.

Satu per satu, orang-orang di dalam lift turun di lantai yang mereka tuju. Di lantai 12, hanya tinggal aku
dan dua laki-laki. Aku tidak terlalu memperhatikan mereka.

Dengan tidak sabar kuperhatikan angka lift
yang terus naik dengan sangat lambat, lalu kulirik jam tanganku. Sudah lewat sedikit dari jam masuk di kantor baruku. Semoga masih dimaafkan.

BRUK!! Tiba-tiba kurasakan lantai lift bergetar. Ada apa ini? Aku berpegangan ke dinding lift. Kemudian
aku melihat angka di atas sana. kenapa angkanya tidak berubah lagi? angka itu berhenti di lantai 15. Aku
mulai berkeringat dingin. Aku terjebak di lift? Saat aku masih heran melihat nomor lantai yang tidak berganti-ganti itu, laki-laki yang berkemeja biru dan berdasi senada menekan tombol darurat dengan sigap.

Remember Me As A Time of Day✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang