Part 1

674 19 1
                                    


Itaewon

-Naeun POV-

Jarum jam belum menunjukkan angka sepuluh, tapi panas sudah menyengatm membakar kulit dengan sapuan merata.

Tiupan angin tidak banyak membantu, karena setiap putarannya membawa serta udara panas beserta debu yang dijamin akan melekat di permukaan kulit yang lengket oleh keringat.

Dengan mata sedikit menyipit aku mempercepat langkah menuju area yang tak tergapai sinar matahari, di bawah lindungan hijau daun pepohonan.

Di jalanan khusus pejalan kaki di area Itaewon ini, para seniman jalanan sudah mulai menebar dagangan.

Ada kios yang menjual aksesoris kayu buatan tangan, ada yang menebar kaus-kaus di atas terpal yang dihamparkan di sisi jalan, ada yang menawarkan jasa tato da nada yang menjual lukisan. Tidak banyak pengunjung yang datang pada hari kerja seperti ini.

Hanya ada beberapa orang lalu-lalang, termasuk dua
turis yang sibuk menawar kaus dari pedagang yang menjelang siang seperti ini masih jual mahal.

Aku melihat telepon genggam, ada satu pesan dari Kai. ‘Aku masih di subway.’ Aku merengut. Kai selalu
begitu. iya, iya, lelaki itu masih di subway, tapi di daerah mana? Aku berniat bertanya sambil memasang
emotikon wajah berasap mengepul, tapi akhirnya mengurungkan niat. Lebih baik aku keliling-keliling
dulu sambil mencari Han Ajjushi, si seniman penjual lukisan, daripada debat kusir lewat pesan teks dengan Kai.

Sahabat yang tahun lalu masih kakak kelasku itu dikarunai kemampuan lebih oleh Tuhan
untuk membangkitkan emosi orang lain hanya dengan balasan teks yang tak lebih dari lima kata, selain
juga sebuah kemampuan lain yang enggan aku bahas.

Aku mengeluarkan sehelai kertas dari tas, seukuran buku tulis biasa. Selembar lukisan yang aku beli di
kios Han Ajjushi setahun yang lalu bersama Minho, pacarku yang juga kakaknya Kai, tepatnya, separuh bagian dari lukisan yang sebenarnya. Di bagian lukisan yang ada di tanganku saat ini, ada lukisan seekor burung merpati yang hinggap di ranting pohon, berlatar belakang pemandangan kota. Di bagian atas, menempel di sisi kertas sebelah kiri, terdapat gambar matahari yang hanya separuh.

Di sisi kiri kertas, di
bawah gambar matahari, terdapat tiga titik lubang yang berjarak sama antara yang satu dengan yang
lain. Seharusnya ada setengah bagian lain yang bisa melengkapi lukisan ini hingga menjadi satu bagian
utuh, dan hari ini aku berniat mencarinya sekarang, tepat di hari ulang tahun Minho, menggenapkan
janji yang pernah diutarakan Minho Sembilan bulan yang lalu.

Aku memegang gambar dengan hati-hati di tangaku, lalu berjalan perlahan menyusuri jalan berbatu hingga tiba di lapangan yang diapit oleh tiga gedung sekaligus. Terik matahari seakan punya intensitas berlipat ketika mataku memandang lapangan luas tanpa tempat nauangan untuk berteduh, semua seperti tersapu warna putih yang menyilaukan, sepeda-sepeda, siap disewa oleh pengunjung yang ingin berpose.

Aku berhenti tepat di tempat aku berdiri tahun lalu bersama Minho saat memilih lukisan di gerai Han
Ajjushi. Bedanya, sekarang tak ada gerai Han Ajjushi.

Petak kecil di belakang tempat persewaan sepeda
yang dulu ditempati Han Ajjushi kini diisi oleh kios penjual lain.

***

-Kai POV-

Pengumuman terdengar lewat pengeras suara, bahwa bus sebentar lagi akan tiba di perhentian akhir.

Aku memasukkan buku yang baru kubeli ke dalam tas. Aku tadi mencoba membaca beberapa halaman bab dua yang akan dijelaskan di kuliah besok, tapi akhirnya aku menyesal.

Seharusnya kutunggu saja
sampai dijelaskan dosen besok, setidaknya mumetnya berbarengan dengan teman-teman yang lain,
tidak sendirian seperti sekarang.

Remember Me As A Time of Day✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang