Part 35

55 2 0
                                    


Ansan 07:43

-Lena POV-

Aku dibawa dengan mobil van putih ke pinggiran kota. Dari papan penunjuk arah, aku melihat van itu mengambil jalan menuju Danwon-gu, tapi kemudian berbelok keluar dari jalan utama dan masuk ke
jalan pedesaan yang menjauhi jalan utama. Ketika akhirnya mobil itu kembali berbelok ke jalan yang lebih kecil di sisi kanan jalan, seketika itu juga aku terpana dengan keindahan yang tampak sepanjang mata memandang. Di kiri-kanan jalan yang lebarnya hanya pas untuk dua mobil itu berjajar pohon-
pohon dengan daun rimbun yang menaungi jalan itu bagaikan payung besar nan megah.

Cahaya matahari menyisip di antara dedaunan, membuat jalan itu seperti lorong panjang yang dipenuhi cahaya
yang sedang menari. Serasa memasuki negeri para peri.

Jalan itu berakhir persis ketika van yang aku naiki berhenti, di depan gerbang dua pintu dari besi yang
dihiasi ornament singa di tengah setiap pintunya.

Pengemudinya, menekan tombol remote yang digenggamnya, kemudian pintu gerbang terbuka otomatis dan mobil itu pun bergerak masuk. Di depan, aku melihat sebuah rumah besar, tampaknya dua lantai, dengan halaman yang berbukit-bukit dan sangat luas, hingga tidak terlihat di mana ujungnya. Mobil bergerak perlahan di jalan berkerikil di halaman, hingga akhirnya berhenti di pintu masuk. Sudah ada satu mobil lagi parkir di sana, sebuah
mobil dua pintu berwarna hitam.

Sopir itu turun dari mobil dan membukakan pintu van untukku. Segera aku turun mengikutinya yang berjalan menuju pintu rumah yang langsung berada di sisi jalan masuk yang berkerikil, tanpa teras.

Di dalam, aku sampai di area foyer. Ada satu tangga naik di sana dan di sebelah kiri ada jalan masuk yang ternyata menuju ruang tamu Seulgi sudah menunggu. Sambil menunggu sopir yang berbicara dengan Seulgi, aku mengamati ruang tempatku berada. Ruang itu cukup luas dengan perabot yang lengkap.

Terdapat sebuah meja dan sofa, sepasang kursi dengan meja bulat kecil, sebuah cermin besar terpasang di dinding di atasnya, dan satu lagi sofa seperti tempat berbaring. Ada yang aneh dengan ruangan ini, tapi aku tidak bisa melihat apa yang menyebabkan diriku mempunyai perasaan ini. setelah mengamati lebih lanjut, aku kini tahu kenapa. Ruang ini tidak punya kepribadian.

Tidak ada satu pun ornament yang sifatnya pribadi di sini, baik berupa foto, pajangan, maupun lukisan.

Pajangan yang ada hanyalah beberapa vas bunga yang seragam, tanpa bunga. Lukisan abstrak yang ada di dinding juga terasa kosong dengan permainan warna yang pucat.

Ada lukisan orang berukuran besar di dinding, tapi
itu adalah lukisan Napoleon.

Ruangan ini seperti sebuah rekayasa. Bulu kudukku pun berdiri dengan pikiran itu aku menggelengkan kepala untuk mengusir rasa takut.

Sopir berjalan meninggalkan ruangan dan Seulgi bergerak menuju pintu yang ada di salah satu dinding sambil menyuruhku mengikutinya.

Ruang yang kumasuki itu terlihat seperti ruang duduk dan ruang kerja yang menjadi satu. Satu set sofa dan lemari TV ada di tengah ruangan, sedangkan di dekat jendela ada meja kerja dengan tiga kursi yang berhadapan; satu kursi empuk menghadap ruangan dan membelakangi jendela, serta dua kursi lain menghadap jendela. Seulgi sekarang berdiri di sisi di meja kerja itu, menyortir beberapa surat.

Aku hanya berdiri di tengah ruangan, menunggu Seulgi mengatakan sesuatu atau menyuruhku duduk.

Aku memperhatikan ruangan ini dan cukup lega ketika tidak menemukan perasaan yang sama seperti di ruang sebelumnya. Ada sebuah lukisan kontemporer, bergambar pemandangan di sebuah desa nelayan, dengan warna yang sangat cerah dan menampilkan karakter yang kuat. Di rak di lemari TV berjajar beberapa pajangan dan tempat lilin modern yang tampak mewah. Di sudut meja kerja ada bola dunia dari logam, da nada beberapa pemberat kertas dengan desain yang unik. Ada juga satu lemari besar
yang menutupi seluruh dinding di sebela kanannya.

Seulgi beranjak dari sisi meja kerja setelah selesai melihat surat terakhir. Perlahan dia berjalan kearahku. Kacamata yang tadi bertengger di kepala sudah dilepas, tergeletak di meja kerja. Ketika Seulgi sampai di depanku, mendadak aku melihat sekelibat tangan wanita itu melayang kearahku, disertai bunyi yang
keras.

PLAK!

Yang aku ingat berikutnya adalah aku sudah tersungkur di lantai dengan pandangan berkunang-kunang dan dengan pipi yang rasanya panas berdenyut-denyut. Belum sempat aku berpikir, Seulgi sudah membungkuk, mencengkeram lenganku dan memaksaku berdiri. Wanita itu bergerak ke arah meja kerja,
mengambil kursi yang ada di sana, sambil tangannya tetap mencengkeram lenganku, sehingga aku setengah terseret mengikutinya.

Cengkeraman Seulgi begitu kuat, serasa meremukkan lenganku. Air mataku tanpa diperintah sudah mengalir perlahan dari sudut mata, hasil dari menahan sakit, yang pastinya sudah gagal.

Remember Me As A Time of Day✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang