Part 16

69 4 0
                                    


Japan

-Yoona POV-

Pagi hari saat matahari belum menampakkan dirinya, setengah berlari aku menapaki jalan tanah yang berembun. Dengan terengah-engah aku bergegas karena ingin segera sampai ke penanjakan. Kalau saja
hidupku ada tombol fast forward, aku justru ingin sekali cepat-cepat mengakhiri keseluruhan perjalanan
ke Gunung Fuji ini. Aku lelah, kedinginan dan marah.

“Dingin sekali, Yoona-ah… pelan-pelan jalannya,” suara Daddy lirih memecah kesunyian. Aku memperlambat langkah kakiku dan menoleh ke belakang. Ayahku berjalan menanjak sambil tertatih-
tatih. Sebentar-bentar ia berhenti sambil terbatuk-batuk. Sementara aku dengan raut wajah garang
memelototinya.

Aku masih tidak terima untuk dipaksa mengambil cuti demi menemani Daddy berlibur ke Jepang. Saat itu aku baru saja ingin mengajak suami dan anakku untuk berlibur ke luar negeri untuk melepas penat
kami. Tapi, ucapan Mommy seminggu yang lalu merusak rencanaku.

“Daddy ingin sekali ke Gunung Fuji. Kamu tahu dia sudah sakit-sakitan. Apa salahnya, kamu temani dia beberapa hari saja, Changwook juga setuju dengan usulan Mommy.” Kata Mommy berusaha menyakinkanku.

“Aku sudah mahal-mahal beli tiket ke Bali, Mom! Aku sudah janji sama Sian untuk mengajaknya berlibur!” jawabku emosi.

“kamu sudah sering ke Bali, Changwook juga tidak keberatan ke Bali hanya dengan Sian tanpa kamu,
tapi kalau Daddy-mu? Kamu belum pernah ke Jepang bersamanya? Lagi pula..”

Aku langsung berbalik badan dan melipir ke kamar. Di satu sisi aku sebenarnya kasihan dengan Daddy, tapi di sisi lain aku membencinya. Pada saat yang bersamaan dengan rencana ke Jepang, seharusnya aku berada di Bali bersama keluarga kecilku. Mommy benar, sudah berkali-kali aku ke Bali. Tapi, kali ini lain.

Ini liburan pertama aku ke Bali bersama suami dan anakku.

Tapi, belakangan ini Daddy jatuh sakit. Seperti keluarganya yang satu per satu mengidap penyakit
jantung, kali ini penyakit itu pun menghampiri Daddy, ditambah dengan komplikasi lainnya. Badannya yang tegap telah menjadi kurus kering.

Tapi, Daddy tetaplah ayah yang tidak peduli dengan
kesehatannya. Ia tetap cuek bermain biliar, begadang menonton pertandingan sepak bola, jalan-jalan ke
Jepang… dan mengorbankanku untuk menemaninya
Setelah banyak berhenti, akhirnya aku dan Daddy tiba di penanjakan view point pukul 5.00 pagi. Orang
sudah penuh sesak, semakin ke pinggiran tebing semakin sesak. Dengan badan langsingku, aku berusaha
menyempil memasuki kerumunan orang agar mendapat tempat yang strategis untuk melihat matahari terbit. Aku menarik tangan Daddy tanpa melihat ke belakang. Tanpa berkata apa-apa, ia pasrah saja aku
tarik, meski berkali-kali aku mendengar ia mengaduh.

Kami berdua berhasil berdiri persis di pinggir tebing. Ayahku terlihat menggigil kedinginan sambil melipat kedua tangannya di dada, tapi aku diam saja. Rasanya aku gengsi memeluknya. Jarang ada orang tua di sini. Rata-rata anak muda berpasang-pasangan sementara aku dengan ayahku yang terus-menerus batuk sehingga mengganggu suasana heningnya alam. Aku pura-pura tidak mendengar dengan
terus memandang ke depan.

Sedang apa Changwook dan Sian di Bali? Pasti Changwook kewalahan mengurus Sian tanpa aku di sisinya.

Perlahan-lahan sinar matahari timbul. Sinarnya memancar membuat lukisan langit berwarna gradasi biru tua, merah, orange dan kuning. Di timur tampak siluet gunung.

Lalu matahari beranjak lebih tinggi lagi. sungguh pemandangan matahari terbit yang terindak yang pernah aku lihat seumur hidupku.

“Bagus sekali ya?” kata Daddy. Oh, aku hampir lupa kalau aku di sini bersama Daddy.

Remember Me As A Time of Day✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang