Intro

235 4 3
                                    

  Bagi sebagian orang, hidup di Pesisir Utara merupakan anugerah terbaik, namun banyak juga yang beranggapan hidup di Pesisir Utara merupakan cobaan yang berat. Jalan Daendels tersebut hanya mendatangkan keuntungan bagi pihak Kolonial dan Pribumi yang kaya raya. Deburan ombak dan segarnya angin yang selalu berembus adalah keindahan alam yang ada di sini, namun karena keterpurukan dan kemiskinan menutup semua keindahan itu. Nelayan harus bertarung dengan kerasnya ombak demi sesuap nasi sedangkan kaum borjuis hanya tertawa di rumah megah mereka sementara petani tidak berhenti membagi hasil mereka ke kaum borjuis dan pemerintah.

  Rasanya baru kemarin dia mengalami pengalaman paling berdarah dalam sejarah hidupnya. Membantai sesama Nusantara merupakan penyesalan dia yang terbesar meski dia tidak suka terhadap mereka sejak awal. Didikan yang keras akan peraturan dilarang membunuh sesama rela dia langgar demi kehidupan yang layak. Sejenak dia memandangi ke arah luar jendela rumahnya yang reyot, hanya dihiaskan seragam dan pedang kesayangannya yang sudah tua. Kehidupan menjadi tentara Kolonial sebenarnya tidak pernah terbesit dalam pikirannya. Dia tahu dia sangat membenci Kolonial terlebih lagi Koloniallah yang membuat hidupnya merana. Ayah dan Ibunya tewas karena tidak bisa memberikan hasil bumi yang sudah ditunggak selama 5 bulan. Setelah lama dia melamun, dia mantap memutuskan untuk pergi ke salah satu kota besar di Jawa, Semarang. Barangnya tidak banyak, hanya seragam dan pedang tuannya serta tas besar yang berisi baju yang dia pungut dari sisa kulit putih.

  Di Kota ini dia berharap bisa menemukan pekerjaan yang layak daripada menjadi seorang Nelayan di kampung halamannya. Bagi mereka, sesama tentara yang sudah berjuang bersama pasti mengenal baik siapa dia, meski memiliki fisik yang sangat jauh di bawah rata-rata, tetapi hatinya baik bagaikan malaikat. Tidak hanya kepada Pribumi, dia juga sangat menghormati kepada atasan Kulit Putihnya sehingga para perwira sangat menyukainya. Namun, bagi mereka yang belum mengenalnya, dia lebih pantas disebut gelandangan daripada seorang Veteran Perang Aceh. Dengan pakaian lesunya, dia menyapa ramah kepada siapa pun yang dia lewati, termasuk ke Kulit Putih. Seperti biasa, Kulit Putih hanya menanggapinya sinis kecuali perwira yang sangat dihormatinya ketika bertemu di persimpangan jalan. Kebaikan perwiranya berhasil mengubah pola pikirnya yang semula membenci Kolonial mulai menganggap Kolonial merupakan sesama manusia yang harus dikasihi dan dihormati.

  Dengan langkah santai, dia menyusuri setiap toko untuk melamar pekerjaan namun selalu diusir karena fisiknya yang membuat orang jijik. Kulit gersangnya dan tubuh pendeknya merupakan hasil cacat fisik akibat lahir prematur, tetapi hal itu tidak dihiraukannya selagi dia masih punya kasih sayang dan hormat kepada sesama. Karena kasihan sudah sekitar 20 toko menolak kehadirannya, perwira yang tadi ditemuinya berbalik dan membela dia dan menjelaskan siapa dia sebenarnya dan kontribusinya terhadap kolonial. Namun, pemilik toko tetap tidak peduli dan langsung masuk ke dalam tokonya. Dengan perasaan sedih dia berjalan keluar ditemani perwira yang paling dihormatinya itu. Perawakannya tinggi, bahkan bisa dibilang lebih tinggi daripada orang Belanda kebanyakan, matanya biru bersih dengan rambut pirang keemasannya. Bagi semua wanita yang melihatnya pasti dibuat mabuk kepayang, tak terkecuali mereka yang sudah bersuami. Sambil menyemangati bawahan kesayangannya, dia menyuruh bawahannya tersebut untuk pulang ke kampung halamannya di Pekalongan dan tidak perlu khawatir dengan biaya hidup karena dia yang akan menanggungnya. Tentu bawahannya akan menolak karena merasa tidak enak, tapi karena terus dipaksa mau tidak mau dia menerimanya.

  Hidupnya kini lebih baik dari kemarin, walau hanya mampu membeli 5 karung beras selama sebulan tapi menurutnya itu lebih dari cukup ditambah lagi kini dia tidak membayar pajak mengingat statusnya sebagai Veteran. Setelah hidupnya kembali bersinar kini dia tidak lagi sering termenung dan mulai bersosialisasi lagi dengan tetangganya. Namun kebahagiaan itu tidak berselang lama, sekitar 3 bulan setelahnya, dia mendapat kabar bahwa perwiranya harus dikirim ke Afrika Selatan untuk membantu kaum Boer.

  Dengan kehidupannya yang kembali seperti biasa dia mulai mencari pekerjaan di desa, namun karena desa tersebut bisa dikatakan miskin, maka upahnya hanya cukup untuk keperluan hari itu saja dan itu pun beras yang dibeli adalah untuk masyarakat miskin. Pagi itu ada pekerjaan sehingga dia langsung cepat-cepat memakai atasan seragam kusamnya disertai dengan sarung batik kesukaannya dan mulai berjalan ke tempat dia kerja. Kebetulan hari ini tidak terlalu padat di ladang tebu sehingga dia bisa pulang lebih awal. Ketika sedang menuju rumah, tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang kondisinya tidak jauh dari dirinya. Keadaannya sungguh memprihatinkan, kulitnya rusak karena koreng dan wajahnya cokelat legam. Karena iba, dia memutuskan untuk membawanya ke rumah dan mengurusnya.

Kisah yang Sulit Dimengerti Part ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang