Jika aku adalah aliennya, maka kamu adalah planet yang akan aku tuju dan aku singgahi untuk selamanya.
—Arthur—Arthur membaringkan tubuhnya di rerumputan halaman belakang rumahnya seraya memejamkan matanya.
Hembusan angin yang tenang di malam hari adalah anugerah baginya. Hembusan angin tersebut dapat menenangkan pikirannya untuk sesaat.
Untuk hari ini rasanya Arthur harus menerima kenyataan bahwa dunia ini memang terlalu sempit. Kenapa dunia harus sesempit ini?
Kini Arthur harus menerima kenyataan bahwa orang tuanya adalah teman semasa SMA dari orang tua Orly. Mereka berempat saling berteman dan saling menyimpan rasa cinta, Papahnya mencintai Mamahnya dan Tante Helen mencintai Om Andrea.
Dan sekarang giliran Arthur dan Orly yang mulai saling beririsan karena pertemuan mereka terjadi hampir setiap hari. Mungkin ini adalah salah satu benang merah yang di ciptakan oleh Tuhan.
Arthur membuka perlahan kelopak matanya, kemudian memperhatikan bintang yang bertaburan di langit malam. Rasanya sedikit melegakan melihat kelap-kelipnya bintang yang memancarkan cahayanya.
Sekilas bintang-bintang tersebut tampak sama, namun ada saatnya terdapat salah satu bintang yang menyala lebih terang mengalahkan bintang yang lainnya.
Namun sayangnya belum tentu bintang tersebut berada sangat dekat dengan bumi. Mungkin saja bintang tersebut berada di tempat lain. Bukankah itu bisa terjadi?
"Arthur lagi ngapain?" Tanya seorang perempuan sambil membawa jaket hitam, kemudian duduk di samping Arthur. "Nih, Orly bawain jaket. Tadi Orly ambil dari lemari baju Arthur."
Arthur mengambil jaketnya, kemudian mengambil posisi duduk dengan kedua kakinya di tekuk. "Gak sopan." Ucapnya dingin, lebih dingin dari udara malam. "Siapa yang nyuruh?"
"Mamah Ana." Jawab Orly dengan menunjukkan senyum cerianya.
Arthur menatap datar wajah Orly. "Tante, bukan Mamah."
"Kata Mamah Ana, Orly di larang panggil Tante Ana. Pokoknya harus panggil Mamah Ana." Ucap Orly memberi tahu. "Gitu katanya."
Mamahnya memang seperti itu, sejak dari dulu. Arthur masih mengingat dengan jelas perkataan Mamahnya saat pengambilan rapor akhir kelas 2 SD, dimana saat itu Bima dan Kyle menyebut Mamahnya dengan panggilan yang sama dengan Arthur. Mamah. Dan hal tersebut membuat Arthur terkejut, lantas yang lebih mengejutkannya lagi adalah perkataan Mamahnya. Jiwa Mamah mah, jiwa Emak-Emak. Bukan jiwa Tante-Tante.
"Arthur ngapain sih, ngeliatin wajah Orly melulu? Emang wajah Orly ada apaan? Ada ilernya? Tapi Orly kan gak pernah ngiler kalo lagi tidur." Cerocos Orly penasaran dengan tatapan mata Arthur yang tak kunjung lepas dari wajah Orly.
"Enggak ada apa-apa." Ucap Arthur jujur.
"Arthur kok jaketnya gak di pake?" Tanya Orly sembari meneliti cara berpakaian Arthur yang salah memilih baju untuk malam hari. "Emangnya Arthur gak kedinginan gitu? Arthur kan pake kaus lengan pendek. Orly aja yang udah pake baju lengan panjang tetep aja kedinginan sama udara malam."
"Nih." Arthur menyodorkan jaket hitamnya, namun orang yang di tawarkannya menunjukkan raut wajah bingung. "Ambil aja. Udaranya dingin kan?"
"Tapi kan jaket itu Orly ambil karena buat Arthur, bukan buat Orly. Iya, udaranya dingin, tapi kan gak sedingin Antar—" perkataan Orly terpotong karena tanpa seizinnya Arthur memasangkan jaket hitamnya ke tubuh Orly dan membuat suhu tubuhnya sedikit terangkat naik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raja Kelas
Teen FictionKisah cinta anti-mainstream antara selembar kertas putih polos dengan setetes darah biru dingin yang tidak sengaja saling bertemu. Pertemuan tersebut membawa mereka ke dalam takdir cinta. Hanya takdir yang bisa menyatukan Arthur dan Orly. Jangan per...