Taehyung -24 Juli tahun 22

136 27 0
                                    

Setelah pesta, aku kembali ke tempatku, sebuah neraka yang aku sudah terbiasa. Botol kosong, gelas dan piring berguling di lantai, dan seorang pria ambruk bagai onggokan tak berdaya di sudut ruangan, dan mengumpat sedikit-ayahku. Tak ada yang perlu diherankan.

Tapi aku berteriak saat melihat kakakku berjalan dan menyapu pecahan botol. Terkejut, dia berbalik. Dia mirip ibu. Sangat mirip ibu-kurus, punggung bungkuk, dan juga perasaan tak berdaya. Dia mengambil semua tentang ibu kecuali keegoisannya untuk mengabaikanku. Itulah yang seharusnya dia ambil.

"Taehyung...." dia berkata sambil berdiri. Mendengar suaranya yang lemah, aku tidak bisa menahannya lagi. "Aku muak dengan semua ini!" Aku berteriak padanya dan berlari keluar.

Aku berjalan ke arah manapun. Aku tidak ada tujuan. Sudah malam, tapi angin terasa panas dan lembap. Kepalaku berdebar seiring langkahku. Aku terengah dan wajahku memerah. Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku berjalan seperti berlari, dan aku berlari seakan aku sedang berjalan. Dan aku berhenti dan menghentak kakiku, berteriak.

Aku tetap tak bisa tenang. Aku menyebrangi jalan dan melihat siluet yang tidak asing. Itu Jungkook. Kupikir mata kami bertemu, tapi Jungkook memutar kakinya dan menjadi buyar. Kupikir itu bagus. Aku tak mau dia melihatku seperti ini. Aku mulai berjalan lagi. Aku melewati jalur kereta dan jembatan.

Tempat pertama aku berhenti adalah saat aku melihat pos jalan Kota Munhyeon: Selamat Datang di Kota Munhyeon, sebuah tempat yang indah untuk hidup.

Aku baru sadar saat itu bahwa aku sedang menuju tempat ibu. Aku mendapat alamatnya saat menemui paman beberapa hari yang lalu. Dia menghentikanku dan menyelipkan secarik kertas ke tanganku. Saat aku membukanya, ada sebuah alamat ditulis dengan buru-buru. Kota Munhyeon Buk-gu, Apartemen Bogeumjari 103-306.

Aku langsung tahu saat itu. Itu alamat ibu. Tanpa berkata, aku menyelipkan kertas itu ke sakuku. Saat aku keluar dari gang, aku meremukkan dan membuangnya.

Sejak hari itu, aku terus berpikir tentang apartemen 103-306. Aku hanya melihatnya sekali, tapi itu terpahat di kepalaku. Apartemen publik di seberang pusat kota Munhyeon Buk-gu yang sibuk. Aku menemukan diriku mencari jalan menuju ke situ: melewati rel kereta, menyebrangi jembatan, dan berjalan ke pusat kota. Aku berjalan sesuai jalan yang ada di kepalaku.

Saat aku sampai di apartemen 103-306 dan pintunya terbuka, bagaimana dalamnya terlihat? Apakah ibu akan senang? Atau tidak? Otakku mengikuti rantai pikiran yang tak berujung. Aku harap ibu akan senang. Karena dia meninggalkan kami, setidaknya hidupnya harus lebih baik. Dengan cara itu aku bisa membencinya tanpa menaruh rasa kasihan.

Aku membayangkan hidupnya akhirnya tenang. Kehidupan yang tidak terikat sesuatu, kehidupan dimana dia bertanggungjawab hanya untuk hidupnya. Kehidupan dimana dia tidak memiliki memar di tangan atau kakinya, dan menghabiskan waktu setelah merawat bunga di serambinya sambil meminum teh. Kehidupan yang egois dimana dia akan mengingat aku dan kakak hanya untuk melupakan kami setelahnya.

Sudah lewat tengah malam, tapi area pusat kota terang benderang seperti siang bolong. Aku meninggalkan orang dan mobil berputar dan melangkah ke gang gelap di ujung jalan. Itu adalah rute tercepat ke apartemen ibu. Gang ini adalah dunia yang berbeda-jalan yang gelap dan suram, lampu yang berkedap-kedip, dan bar kecil dan kotor dengan tanda yang mencolok. Dengan mata yang tertuju ke bawah, aku mempercepat langkahku melewati jalan usang ini.

Aku berhenti dan berbalik karena suara yang kencang. Sebuah pintu bar dibuka keras dan seorang pria diusir. Seorang wanita, mungkin pemilik bar, meneriakinya dan membanting pintu. Dia mungkin tidak bisa membayar minumannya.

Dia terhuyung ke arahku, menabrak bahuku, terayun, dan jatuh. Tetap berdiri, aku menunduk melihatnya. Dia tidak akan bangun dengan segera. Dia terlihat tertidur. Rambut yang panjang dan kusut, bibir merah-kehitaman yang terbuka, dan perut yang kendur.

Aku berpaling dan menatap ke depan. Aku mulai berjalan, dan semakin cepat. Aku berlari. Aku tidak bermaksud untuk berbalik, tapi tidak bisa menahannya. Pria itu masih berbaring di tanah. Aku berhenti dengan umpatan yang keluar dari mulut.

"Pak, kau tidak seharusnya tidur di sini." Mabuk, dia sudah tertidur. Aku mengguncang bahunya dengan keras. Dia menguarkan bau alkohol yang menjijikkan. Bau yang familiar. "Pak, berdiri!" Dia berkedip beberapa kali, tapi dengan mata terpejam dia berkata, "Siapa kau? Kau mengenalku?" "Tidak. Tapi kau tidak seharusnya tidur di sini. Kau punya seseorang untuk menjemputmu?"

Aku mengalungkan lengannya ke bahuku dan membantunya berdiri. Bersandar padaku, dia mencoba berdiri dan jatuh kembali ke tanah. Saat aku mencoba membantunya lagi, dia mendorong tanganku menjauh. Dan ia jatuh ke belakang. Aku mendekat. "Di mana kau tinggal? Aku akan mengantarmu. Kau bisa bangun?"

Dia melihatku tidak percaya dan terkikik. Aku menarik lengannya tapi dia mendorongku menjauh, dan kami mengulanginya beberapa kali. Kami menjadi letih. Saat terjatuh ke tanah, dia berkata, "Tinggalkan saja aku. Tinggalkan aku agar aku bisa mati."

Dia tinggal di lingkungan sebelah apartemen ibu. Aku menggendongnya di punggungku. Aku sangat letih. Pria ini berat. Setiap langkah mengurasku.

Aku sudah terbiasa dengan berat orang mabuk. Dulu, aku dan kakak akan menyusuri kota untuk mencari ayah. Bar akan menelepon kami. Kami akan menemukannya di kegelapan, sudut bar, tepi jalan, dengan mobil melesat lewat, atau di bawah lampu jalan yang kotor, gang belakang.

Kami tidak mengatakan apapun saat membawa ayah pulang. Mengapa kami membawa ayah pulang? Bukankah lebih baik meninggalkannya membusuk di sana? Kenapa kami membawanya pulang saat yang dia lakukan adalah menghajar kami seperti anjing? Kami mencoba keras untuk tidak menanyakan pertanyaan ini satu sama lain.

"Aku tidak seperti ini awalnya," pria itu berbicara dalam tidurnya. "Ya, aku mengerti," balasku.

Aku meletakkannya turun ke semi-basement yang basah dan mengambil napas. Mataku mendarat ke sebuah meja rusak dan piring-piring, dan botol alkohol kosong dan bungkus mi instan. Aku tidak bisa langsung pergi. Bukan karena aku capek. Aku berharap dia akan bangun dan memberitahuku cerita bahkan jika itu cerita yang membosankan. Tapi dia tertidur, dan aku perlahan bangun dan menuju apartemen publik.

Aku sampai ke apartemen saat matahari hampir terbit. Jam tergelap dalam sehari. Tempatnya sunyi. Kakiku yang letih melangkah menuju apartemen 103. Lampu menyala di sini dan di runtutan sana, gedung apartemen lima lantai. Kenapa orang-orang bangun sangat awal?

Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki dari pintu gedung. Seorang wanita dengan rambutnya yang terikat dengan ceroboh, tapi setelah melihatnya, dia meringkuk. Aku menjaga jarak dan berbalik. Aku melihat sebuah taman bermain.

Duduk di ayunan, aku bisa melihat ke bawah dari luar koridor sampai apartemen 103. Aku menendang pasir dengan sepatuku dan mendongak ke lantai 3. Ayunan tua yang berkarat berdentang. Kenapa aku ragu-ragu saat aku sudah kabur sejauh ini? Tubuhku sakit, begitu pula hatiku.

Aku tidak ingat sudah berapa lama aku duduk di sini. Aku melihat seseorang melangkah ke luar menuju lorong lantai tiga. Aku terlalu jauh untuk melihat wajahnya, tapi dia kurus, wanita paruh-baya. Dengan tangannya di susuran tangga di ujung lorong, dia melihat ke bawah ke taman bermain. Dan dia menyalakan rokoknya. Api dari pemantiknya menyala tapi menghilang dengan segera. Asap dari rokoknya meresap ke udara pagi.

Aku melihatnya tanpa bergerak. Matahari pasti sudah keluar karena semua menjadi terang dan berkabut. Wanita itu terdiam dengan mata yang tertuju ke luar, dan saat selesai dengan rokok pertamanya, dia mengeluarkan yang kedua.

Aku mengira-ngira apakah dia melihatku. Dia tidak bisa melihat wajahku, tapi apakah dia ingin tahu apa yang dilakukan seseorang di taman bermain sepagi ini? Aku mencengkram rantai ayunan supaya tidak menghasilkan bunyi apapun. Ujung rokoknya bersinar berulang kali, menjadi bercahaya dan suram. Matahari akan terbit. Di bawah cahaya hari baru, dia menghisap rokok terakhirnya. Dan dia berbalik dan menghilang di balik pintu. Aku menghitung pintu dari paling kiri: 304, 305, 306. Itu tempat ibu.

Aku berjalan dan berdiri dimana ibu tadi berdiri. Tempat itu dipenuhi puntung rokok. Seperti ibu, aku menggantung lenganku ke tangga dan melihat ke bawah. Aku melihat ayunan yang kududuki tadi. Aku menatap ke ayunan kosong yang bergerak ke depan dan belakang.

Aku mendengar pintu 306 terbuka. Aku mengusap air mataku dan berlari menuruni tangga. Tanganku bau karat dari ayunan.

Setelah keluar dari gedung apartemen, aku melihat pagi hari menjadi hidup. Aku berjalan ke halte bis dengan jarak yang membesar antara aku dan tempat ibu. Ada dorongan yang besar untuk kembali. Tapi sekarang adalah waktu untuk pulang ke rumah.

BTS HYYH The Notes 2 [Indonesian ver.]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang