Chapter 1. Hari Yang Salah

2K 197 31
                                    

Terdapat delapan singgasana di sana. Tujuh dari delapan singgasana itu sudah ditempati oleh pemilikinya. Hanya tersisa satu. Singgasana paling megah, mewah, dan agung di antara singgasana lainnya. Itu adalah singgasana milik eksistensi terkuat di antara mereka. Tidak ada yang berani menduduki singgasana itu. Mereka semua tidak pantas untuk duduk di sana. Hanya ada satu orang saja yang pantas duduk di sana. Tapi, orang itu menghilangkan dirinya beberapa tahun yang lalu. Alasannya sederhana, orang itu ingin memiliki kehidupan sebagai manusia normal.

"Apa belum ada tanda-tanda dari tuan kita?" tanya seseorang pria yang sedang berjalan menuju salah satu singgasana. Itu adalah Lucifer, salah satu dari tujuh jenderal iblis. Banyak orang yang mengatakan kalau Lucifer merupakan perwujudan dari kesombongan, namun ia rendah hati di depan tuannya. Baginya, ia hanyalah butiran debu ketika berhadapan sang penguasa mutlak dari neraka.

Perempuan cantik yang sudah duduk di singgasananya menggelengkan kepala dengan anggun. Itu adalah Satania, jenderal iblis yang merupakan perwujudan amarah. Orang-orang mungkin lebih mengenal nama Satanael. Satania juga merupakan saudara perempuan dari Lucifer. Mereka berdua sering kali dianggap sebagai satu eksistensi, padahal tidak. Mereka berdua hanyalah saudara.

Leviathan yang menatap singgasana di tengah dengan tatapan iri. Ia bukan iri tentang tempat duduknya. Ia iri karena tuannya menempatkan diri Leviathan di tempat ketiga setelah kakak-adik itu. "Ini sudah 300 tahun ya? Tidak terasa kita hidup tanpa tuan kita."

Semua orang di sana menggangguk setuju. Ini sudah 300 tahun semenjak tuan mereka menghilang. Singgasana megah itu tidak pernah diduduki oleh siapapun. Setiap dari mereka mencari tanda-tanda kebangkitan tuan mereka. Hingga hari ini, tidak ada satu-satu pun tanda dari tuan mereka.

"Ekhm, ekhm!" Asmodeus sengaja terbatuk untuk menarik perhatian yang lain. Perwujudan nafsu itu tersenyum begitu yang lain melihatnya. Itu sesuai dengan apa yang ia rencanakan. "Tidak usah risau akan hal itu. Para iblis bawahanku sudah menemukan tanda-tanda itu."

Kata-kata itu membuat semua orang terkejut dan terdiam. Kalimat yang dilontarkan oleh rasa nafsu itu membuat yang lain bergembira. Perlahan, senyuman terlukis di bibir semua orang. Setelah penantian lama, tuan mereka ditemukan.

***

Pagi itu adalah pagi yang cerah di musim penghujan. Aku terbangun dari tidur dan mencoba memulai hari. Ini adalah awalan monoton dalam hidupku. Jujur saja, aku ingin mengawali hari dengan sesuatu yang besar, tentunya bukan keributan. Ya, aku suka awalan seperti ini. Tenang dan damai. Ini adalah harapan yang bisa kudapatkan selama 17 tahun kuhidup.

Seperti biasa, aku bangun dari tempat tidur dengan malas. Setelah itu, aku mandi dan sarapan beberapa saat, lalu pergi berangkat. Berjalan kaki di sekolah sudah biasa kulakukan. Untungnya, sekolahku dekat dari rumah. Ini sudah sangat memudahku. Juga, ini bisa menghemat pengeluaran. Ya, aku hanya diberi uang saku sepuluh ribu. Itu uang saku yang sedikit dibandingkan teman-temanku. Tapi, aku tidak bisa protes. Ibu sudah menyiapkan bekal untuk makan siangku. Aku juga bersyukur masih bisa mendapatkan uang saku.

Tidak banyak yang bisa diharapkan dari pembukaan klise. Bangun tidur, mandi, dan berangkat sekolah, betapa klisenya hidupku. Aku sudah hidup selama 17 tahun dengan kehidupan klise seperti ini. Para pembaca mungkin akan bosan dengan yang kulakukan. Bertanya-tanya kenapa tidak ada konflik dalam hidupku. Biar kuberi tahu, hidupku sendiri merupakan masalah, tidak perlu menambah masalah dari luar. Aku bersyukur hidup dalam situasi klise yang membosankan ini.

"Met pagi!" aku membuka pintu kelas dan menyapa orang yang ada di kelas. Tapi, tidak ada siapapun di sana. Kelas kosong melompong dan hanya terdiri dari beberapa meja dan bangku. Tidak ada tanda-tanda makhluk hidup kecuali cicak yang merayap dekat pendingin ruangan. "Padahal, ini udah mau masuk. Kok belum ada yang datang?"

Aku sempat kebingungan dengan kejadian ini dan berpikir sejenak. Ini adalah hari biasa, bukan hari Sabtu atau Minggu. Tapi, tidak ada orang yang masuk kelas hari ini. Sekolah juga bisa dibilang sepi dan penjaga sekolah menatapku dengan bingung. Itu membuatku semakin kebingungan dengan situasi yang tidak kuduga ini. Aku rasa hidupku tidak memiliki genre komedi, jadi tidak mungkin ini lelucon.

"Tunggu sebentar! Bukannya hari ini tanggal merah?!" aku baru menyadarinya. Hari ini adalah hari libur nasional. Tidak mungkin masuk sekolah pada hari libur nasional. Tapi, kenapa aku masuk sekolah? "Bodohnya aku."

Dengan itu, aku kembali pulang ke rumah dengan perasaan kecewa. Kupikir, hari ini adalah hari klise yang biasa. Ternyata, hari ini adalah hari klise yang tidak biasa. Seorang siswa yang masuk sekolah ketika libur nasional, betapa bodohnya aku. Kalau kupikir-pikir, aku pernah tidak masuk sekolah karena mengira hari biasa sebagai hari pibur nasional. Itu membuatku sedikit terheran.

Jarak antara rumah dan sekolah sangat menguntungkanku. Hanya perlu lima menit untuk pergi ke sekolah dan lima menit untuk ke rumah. Tidak terlalu melelahkan untuk berjalan kaki, aku sudah terbiasa. Apalagi, ini masih pagi. Udaranya masih sangat bersih dan belum tercemar oleh polusi. Aku menyukai ini. Suasana damai di pagi hari membuatku cukup tenang.

"Aku harap suasana damai ini bertahan selamanya," gumamku sembari merasakan sejuknya embun pagi hari. Tapi, semua kata-kataku salah.

Itu adalah akhir dari kehidupan kliseku. Kehidupan monoton yang sudah ku jalani selama 17 tahun kini rusak karena kedatangan orang tak diundang. Konflik yang memgangguku menghantam kehidupan. Seluruh kehidupanku berubah total. Mulai dari urusan romansa hingga akademik. Aku tidak pernah berharap ini terjadi padaku. Nampaknya, takdir berkata lain, atau setidaknya seseorang berkata lain. Semua itu menghantamku dengan wujud seorang pria yang sedang berlutut di hadapanku.

"Eh, anu. Siapa ya?" tanyaku bingung dengan sikap orang yang tiba-tiba datang kepadaku dan berlutut di hadapanku.

Seorang pria berukur sekitar 25 tahun dengan rambut berwarna coklat dan wajah asia timur dan mengenakan jubah hitam datang kepadaku. Ia langsung berlutut kepadaku. Nampaknya, aku adalah bos dari orang ini. Tapi, aku masih SMA dan umurku itu 17 tahun. Tidak mungkin untukku menjadi bos dari orang dewasa tampan ini. Tapi, kenapa orang ini berlutut adalah pertanyaan lain. Itu membuatku merasa tidak enak kepadanya.

"To-tolong berdiri!" pintaku dengan suara memohon.

"Hamba tidak pantas berdiri sejajar dengan Yang Mulia!" jawab orang itu dengan tegasnya.

"Eh?"

Yang benar saja? Yang Mulai? Apa maksudnya orang ini? Apa kau pikir aku adalah raja yang kau sembah? Apa kau penipu?

Itu membuatku sedikit bingung. Perasaanku bercampcur aduk terhadap perkataan orang ini. Jelas sekali aku tidak percaya orang ini. Dia orang asing, aku sama sekali tidak mengenalnya. Walau dia cukup tampan, aku tidak tertarik padanya, aku masih normal. Kalau dia seorang wanita cantik dan seksi, aku pasti langsung berbicara dengan penuh arogansi.

"Saya sudah menunggu kebangkitan anda, Yang Mulia." ujar orang itu menundukkan kepalanya.

Kenapa ini orang? Apa dia benar-benar mencoba menipuku dengan kedok raja dan kerajaan? Seseorang datang kepadaku dan mengatakan kalau aku telah bangkit dan dipanggil Yang Mulia, berharap aku menginvetasikan uang ke kerajaan bodongnya. Walau aku bodoh, aku tidak sebodoh itu.

Hidupku yang klise kini berakhir sudah.

Bagaimana Mungkin Aku Adalah Raja Iblis?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang