Youand He:-12

13 3 0
                                    

Tatapan Zya berfokus ke arah dua laki-laki itu bergantian.

“Iya, Zola biar aku antar pulang, aku mau permisi sama guru piket.” Ervan memandang wajah Zola dengan bibir melengkung. 

"Zola biar gue aja yang antar gimana? Gue bawa mobil, lagipun kelas gue jam kosong setelah ini.”

Ervan lantas menatap sinis ke arah Esa, lalu ia menggeleng tegas. “Emang kenapa kalau aku cuman pake motor? Gak suka ha!”

Pandangan mata Ervan semakin tajam menatap manik mata hitam Esa yang tengah mengangkat kedua alisnya, atmosfer di ruangan tiba-tiba menjadi tegang dan penuh amarah.

"Ervan. Please, jangan mudah marah, gak kasihan lihat Zola begini? Masa gitu aja berantem!” Zola menatap Ervan dengan mata memutar lalu mengalihkan perhatian ke arah lain. Tatapan cowok itu menjadi lebih redup ke arah Zola. Esa memasukkan tangannya ke saku, kemudian menarik nafas panjang.

“Zya setuju Zola pulang diantar Kak Esa. Bukan tanpa alasan, kaki Zola keseleo, tangannya juga susah digerakkan, kalau Zola pulang pakai mobil lebih aman, lagipula Kak Esa juga jam kosong, jadi gak ganggu pelajaran,” sahut Zya membuat ketiganya saling diam, tak ada yang menyahut pembicaraan.

Ervan tampak menarik nafas berat, hatinya bergemuruh. Namun, melihat keadaan Zola membuat dia harus merelakan.

“Ya udah, aku minta maaf Zola, pulang bareng sama dia aja, gak apa-apa.”

Esa menatap Ervan datar, kemudian matanya berputar ke arah Zola, tangan cowok itu terulur hendak membantu Zola berdiri. Namun, tubuh Ervan lebih dulu menghalangi tangannya.

“Ayo! Ervan gendong ke parkiran.”
Zola mengangguk, Zya juga ikut membantu di sebelah sisi ranjang satu lagi, Ervan membalikkan tubuhnya membelakangi Zola, menggendong perempuan itu di belakang punggung.

Melewati laki-laki itu tanpa mengatakan apapun lagi bahkan, ia menganggap kehadiran Esa hanyalah semu.

“Kak, itu sepatunya Zola?”
Esa beralih menatap Zya sesaat, kemudian pandangannya turun ke arah sepatu Zola di bawah ranjang. Ia mengamati sepatu hitam dengan les putih dipinggirannya yang koyak di sebelah sepatu kiri, lalu bergerak mengambil sepatu itu. Berjalan menyusul Ervan yang menggendong Zola kian jauh, Zya juga ikut berjalan keluar dari ruangan UKS.
....

“Kok bisa keserempet, La?”

Ervan membuka percakapan di antara mereka sebelum tiba di parkiran mobil. Wajah Zola menempel di bahu laki-laki itu, ia menghembuskan nafas. “Ya, tadi gak hati-hati.”

Tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka, saling diam dengan pemikiran masing-masing.

“Nanti sampai di rumah, makan ya, habis pulang sekolah Ervan ke rumah,” ujar Ervan sesampainya di parkiran mobil, Esa segera berjalan dengan cepat saat melihat Zola dan Ervan sudah berdiri di sana.

Cowok pemilik mobil Jazz berwarna hitam itu merogoh kantong celana untuk mencari kunci.

Zya yang mampir sebentar di kelas, berlari tergopoh-gopoh dengan menyandang tas Zola. Ia melambai-lambai ke arah parkiran mobil. “Ini tasnya Zola jangan lupa.”

Esa membukakan pintu mobil di samping supir, mempersilakan Ervan mendudukkan Zola di kursi mobil, ia mengacak rambut perempuan itu pelan, kemudian tersenyum.
“Hati-hati ya.”

Esa mengambil alih tas, lalu membuka pintu belakang, meletakkan tas dan sepatu Zola di bawah kursi, beranjak menutup pintu itu kembali.

“Baik-baik ya Zola, kalau bisa Sabtu sore, Zya ke rumah kau,” ujar Zya membuat cewek itu menoleh sembari mengangguk. Esa kemudian masuk dan duduk di kursi supir.

Kaca mobil di bagian Zola terbuka, memperlihatkan Ervan dan Zya mengukir senyum sambil melambai.

“Jangan lupa izin ke meja piket, Zya.
Tolong ya!” Esa menatap Zya datar begitu pula suaranya yang sedikit lebih keras, berbeda dengan cara bicaranya dengan Zola
Zya mengangguk dengan balas memasang wajah datar. “Iya kak Esa tenang aja, nanti Zya izinkan di meja piket.” Kemudian matanya, beralih menatap Zola.

"Dah Zola, baik-baik ya,” ucap Zya.
Esa menstater mobil, kemudian berdecak pelan memperhatikan Zola. “Ck ... ck ... sabuk pengamannya dipasang dulu!”

Kepala Esa condong, mengambil sabuk pengaman di samping tempat duduk cewek itu, matanya melebar seraya memundurkan wajah, dengan tubuh panas dingin, Zola memalingkan tatapan ke arah lain.
Ervan memandang Esa sengit, melihat apa yang ada di depan mata, membuat suasana di sekitarnya menjadi makin panas.

Selesai memasangkan sabuk pengaman Zola, ia memasang sabuk pengamannya sendiri. Esa mengklakson mobilnya sekali, kemudian menjalankan mobil meninggalkan area pekarangan sekolah.

Esa menoleh sepintas melihat Zola yang tengah terdiam, asyik melihat pemandangan di depannya.

“Nanti Kak, lurus jalan ini belok kanan ke lampu merah.” Zola tetap memperhatikan jalan tanpa menoleh ke arah orang yang di ajak bicara.
"Iya La, btw cowok lo itu posesif banget ya.”

Dahi Zola berkerut, lantas menoleh ke arah Esa yang Fokus mengemudi. “Maksud Kakak, siapa ya?”
Esa menghela nafas, balik menatap Zola sekilas. “Itu ... siapa itu namanya? Ervan ya?”

Memutar bola matanya malas, ia tersenyum kecut. “Zola sama Ervan itu cuman sahabatan, nggak lebih, tapi banyak yang kira pacaran.”
Esa membulatkan mulut, kemudian menatap Zola menyelidik. “Tapi Zola, Ervan itu punya perasaan sama lo, gue kira kalian pacaran.”

Zola terdiam beberapa saat, matanya menari-nari ke atas langit, ia menarik nafas panjang membicarakan Ervan saat ini.

“Hm, maaf. Tapi, sebaiknya lo harus peduli sedikit, gue liat lo tidak punya perasaan apa-apa, tapi lo butuh dia.”
Zola masih terdiam, menghela nafas panjang lagi, kemudian menghembuskannya perlahan.

“Zola harap semuanya baik-baik saja,” gumam Zola di tengah diamnya.

Esa memberhentikan mobil di lampu merah, tidak ada yang memulai pembicaraan diantara mereka, Esa melirik ke arah perempuan itu yang tengah asyik mengelus tangan kanan yang diperban.

"La, gue boleh minta nomor lo?”
Fokusnya teralihkan ke arah Esa, setelah beberapa detik ia mengangguk, merogoh tasnya dengan bersusah payah.

“Sini, gue bantu cari.”

Tangan mereka saling bersentuhan satu sama lain, saling menatap sesaat, kemudian melepaskan tangan masing-masing setelah beberapa detik, wajahnya ia palingkan ke arah luar jendela.

Esa tersenyum singkat, mengambil alih tas Zola mencari ponsel yang terletak di dalam tas. Begitu dapat, ponsel itu diangkatnya ke udara, kemudian mengetik nomornya di sana.

“Udah diketik, okey,” ujar Esa menekan tombol panggilan di ponsel Zola ke nomornya, lalu memasukkan ponsel itu ke tas lagi.

Ia tersenyum tipis, melajukan mobil kembali setelah lampu lalu lintas berubah hijau.

"Rumah yang warna putih itu, Kak.”
Zola menunjuk ke arah rumahnya yang berjarak sekitar 50 meter. Mobil Esa mengerem, tepat di depan rumah berwarna putih itu, ia bergegas turun dan membuka pintu buat Zola.

Bunda Dysa keluar dari rumah, wajahnya berkerut saat Esa menggendong Zola di belakang punggungnya, membawa perempuan itu masuk ke rumah. Detik berikutnya, wanita itu tecengang lalu dengan cepat mendekat ke arah putrinya. “Zola kenapa? Kok bisa lecet begini anak Bunda?”
....

Haeyoo kawan, ketemu lagi dengan Nyya. Terima kasih.

Dah, tunggu next update yee, bay bay.

Youand He [Proses Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang