Rasa benci yang seolah selalu menyelimuti diri adalah rasa sayang berlebih yang sebenarnya tidak bisa diucapkan oleh kata.
Sejak kehadiran Rachel dua jam lalu di tempat bernuansa putih itu, tubuhnya tidak bisa berhenti bergetar. Tangisnya seolah ia tahan sekuat mungkin bersamaan dengan kedua matanya yang tidak bisa beralih untuk menatap peti putih di dalam rumah duka kali ini.
Di sisinya, Rael berada. Tangisan yang terdengar nyaring keluar dari adik tersayangnya itu seolah kembali menyayat hatinya.
Radika tidak ada, Rachel belum bisa melihat kehadiran cowok itu. Atau entahlah, mungkin matanya terlalu fokus akan sesuatu di depan sana dibanding mencari sosok lain.
Di siri kirinya, Kenanga hadir dengan sebuah tisu yang terus menyeka setiap air mata yang meluncur di wajah wanita itu.
"Papa kecelakaan tunggal."
Itu kalimat sapaan juga kalimat terakhir yang Rachel dengar dari Kenanga sebelum wanita itu memilih diam saja di sebelahnya.
Setidaknya Rachel sedikit bersyukur, Kenanga masih mengingat untuk menghubunginya meski kenyataan bahwa hidupnya juga Kenanga sudah berubah begitu saja.
Ia menarik napasnya dalam, bersamaan dengan matanya yang perlahan terpejam erat.
Ia membenci Farhan, sangat membenci sosok yang seolah memberi banyak cobaan hidup untuknya itu. Tetapi bukan berarti ia akan terima Farhan pergi seperti ini. Ia mau Farhan meminta maaf, kembali mendekatinya, dan menjadi sosok Papa sewajarnya dunia ini. Bukan malah meninggalkannya dengan rasa kecewa yang terasa semakin membara karena tahu, Farhan tidak akan lagi kembali. Perasaan kecewa, karena ia tahu, ia tidak akan bisa memiliki sosok Papa yang menyayanginya secara tulus. Ia berharap untuk itu.
Lalu kalau seperti ini caranya, bagaimana Rachel bisa memaafkan Farhan?
Di tempat lain, tepatnya di mana Bian berada, ia jelas bisa melihat wajah pucat Rachel. Sejak mendengar berita tersebut malam tadi, keadaan hotel seketika gaduh. Rungga secara tiba-tiba panik bukan main karena Rachel hanya terus merancau untuk pulang dengan tangisan yang terus terdengar.
Paniknya lagi, jadwal pesawat yang paling cepat ada di jam tujuh pagi. Hal yang kembali membuat Bian sempat merasakan kegelisahan besar seorang Rachel.
Tidak, tidak semua terbang ke sini, saat ini. Hanya ada dirinya, Rungga, dan Gilang di tempat ini. Sedangkan Sadewa dan Giselle akan kembali memberi arahan jauh di sana untuk mengambil penerbangan sore.
Ia menghela napasnya pelan, sebelum menoleh pada kehadiran Gilang yang masih repot untuk menerima berbagai karangan bunga di depan sana.
Ia tidak tahu bagaimana rasanya jadi seorang Rachel. Tetapi ia yakin, hati Rachel sedang tidak memiliki bentuk saat ini. Ia yakin itu.
Matanya kembali menyapu sekitar yang mulai penuh akan tamu melayat. Kakinya seketika melangkah pasti kala melihat Rungga berada di sisi luar.
"Bang...," Ia memanggil pelan. "Dimakamin kapan?"
Rungga berdehan pelan. "Besok pagi baru dijadwalin misa tutup peti, mungkin siang atau sore besok."
Bian mengangguk mengerti. Ia kemudian menarik gawainya dari dalam saku, berusaha melihat apakah ada sebuah gerakan yang diberikan oleh mereka yang masih berada di pulau lain itu.
Tetapi nyatanya, nihil. Ia tidak bisa menemukan apa-apa di sana.
"Gue nyamperin Oma bentar," pamit Rungga setelah menepuk bahunya.
Ia mengangguk, dan kembali beralih pada parkiran motor yang jelas terlihat menunjukkan kehadiran banyak motor di sana.
Anggota Khusus sudah datang. Tetapi para Ketuanya bahkan belum tahu beritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinful (Tamat)
Teen Fiction"Seharusnya gue sadar, suka sama lo itu cuma nambah luka dalam diri gue." Kalimat yang keluar dari bibir Rachel itu adalah kesimpulan akan kehidupannya yang tergila-gila akan sosok Raja Pradipta. Sosok dingin tak tersentuh yang ternyata membawanya...