21. Adu Mulut

5.2K 290 0
                                    

Wajah masam dengan kedua mata yang terlihat sedikit membengkak itu berhasil membuat helaan napas keluar dari bibir Erika. Jam di kamarnya baru menunjuk pada angka lima subuh, dan hebatnya Rachel sudah siap dengan seragam cewek itu, sedangkan dirinya masih duduk diam di atas kasur sembari memperhatikan Rachel dari tempatnya.

Semalam, Rachel pulang ke rumahnya dengan keadaan basah kuyup. Iya, semalam. Karena kenyataannya, Rachel baru memasuki pintu utama rumahnya di saat jam sudah menunjuk pada angka sepuluh lewat.

Kebiasaan malamnya yang biasa berpesta pun terpaksa ia liburkan hanya untuk melihat keadaan Rachel yang mengenaskan itu. Meski sudah menampilkan diri dengan semenyedihkan itu, Rachel masih bersikeras sampai saat ini bahwa cewek itu tidak kenapa-napa. Bagaimana Erika tidak semakin kasihan?

"Lo mau ngapain sih jam segini siap-siap?" Erika akhirnya bersuara.

"Ngambil barang di rumah sebentar," balas Rachel tanpa ragu.

"Beneran?"

Rachel mengangguk yakin. Ia mengikat tali dasinya, merapikan benda itu beberapa saat sebelum meraih tas hitamnya.

"Kalau Papa sama Mama tiri aku nanyain, bilang anak tirinya lagi ada urusan ya," candanya yang dibalas dengan dengusan jengkel Erika.

"Gak mau gue punya saudara tiri kayak lo!" cibir Erika tidak sungguh-sungguh.

"Udah, gue cabut duluan ya!" Rachel bersuara sebelum melangkahkan kakinya pasti meninggalkan ruangan pribadi milik Erika itu.

Tidak, Rachel berbohong. Tidak ada agendanya yang mengatakan ia harus mengambil sesuatu di rumahnya. Sama sekali tidak ada. Bahkan kalau ada pun, Rachel akan memilih beralasan dibanding diminta kembali ke tempat itu.

Alasannya kali ini hanya satu, yaitu malu. Ia sudah mengasihani dirinya sendiri sesaat kemarin mematut diri di hadapan kaca, dan ditambah subuh ini. Ia tidak ingin mempermalukan diri di hadapan Abas juga Fani karena keadaannya saat ini. Apalagi kalau Sadewa tahu. Ia bisa tambah malu.

Lalu kalau ditanya ke mana kakinya akan melangkah, jawabannya, tidak tahu. Mungkin sekolah? Ia tidak masalah jika diharuskan memanjat pagar hanya untuk berdiam diri di taman belakang sekolah pagi ini. Yang penting, ia tidak bisa menunjukkan penampilannya saat ini. Bisa-bisa semua orang mengasihaninya.

*Cling*

Notifikasi yang baru saja memasuki gawai pinjaman Erika itu membuat langkahnya memelan.

Bang Sadewa
Rachel kalau kerja di tempat Kak Rungga gimana?
Dia kebetulan lagi butuh banget orang.
Masih punya aku juga kok.

Sepagi ini? Sadewa sudah meminta persetujuannya sepagi ini? Apa cowok itu tidak tertidur?

Boleh, Bang.
Mulai kapan?

Malam ini?
Bisa?

Wah, Rachel terkejut. Sepertinya Sadewa benar-benar tidak mengenal kata tidur. Atau, cowok itu akan tidur di pagi hari? Mengingat kehidupan Sadewa selalu dimulai sore hari menuju malam.

Tetapi setidaknya Sadewa dapat sedikit mengembalikan suasana hatinya. Setidaknya, ia tidak lagi merasa begitu membebani teman-temannya. Hutangnya pada Erika dan Bian sudah menumpuk, untung saja kedua temannya itu bukan rentenir yang suka memberi bunga hutang, kalau tidak, mungkin ia sudah memilih bunuh diri dari lama.

~~~

Pagi ini, aura Raja terlihat lebih menyenangkan dibanding biasanya. Bahkan Gilang juga Giselle sempat dibuat heran akan aura yang jarang terlihat itu. Sebetulnya, tanpa ditanya pun, dua orang yang sudah menjalin hubungan sejak dua puluh tahun lalu itu sudah tahu alasan aura bahagia Raja. Karena berita tentang Raja menembak Karina di sekolah jelas sudah tersebar luas.

Biasanya, kalau masalah gosip-menggosip tentang Raja, Bian akan selalu menjadi peran utama. Tetapi entah mengapa, kejadian kali ini, Bian diam-diam saja, sampai Gilang dan Giselle mengetahui berita itu dari Karinanya sendiri.

"Jangan macem-macem ya, Ja, pacarannya." Gilang membuka topik. Kedua tangannya sibuk menyatukan kumpulan nasi goreng di piring putih di hadapannya, sedang matanya memperhatikan Raja yang masih terlihat santai itu.

"Dijagain, jangan dirusak," lanjut Gilang.

"Iya," sahut Raja cepat.

"Besok ajak Karina makan malam keluarga aja sekalian, Ja." Giselle menambahi. "Udah lama juga dia gak gabung sama kita."

Raja kembali mengangguk. "Nanti Raja tanya dulu, dia sibuk apa enggak," balasnya.

~~~~

"Gimana rasanya jadi pacar pertama seorang Raja Pradipta?"

"Minta ganti name tag udah bisa sekarang dong!"

"Akhirnya ya, Na. Gue pikir gak bakal ada status sampe lo kelar sekolah!"

"Untung aja taktik lo bener! Gue hampir takut lo malah ditinggal Raja!"

Sejak kehadiran Erika di kelas ini, jujur kedua telinganya sudah terasa panas. Pembicaraan yang seakan tidak menunjukkan akan berhenti itu membuat emosinya kembali memuncak di pagi hari yang cerah ini.

Memang tidak ada Rachel di sampingnya. Bahkan ia berharap Rachel jangan pernah berada di sampingnya untuk saat ini. Ia tidak akan sanggup memperhatikan raut sok kuat yang selalu Rachel tunjukkan.

"Eh, Rachel!"

Suara ceria yang berasal dari bagian depan itu berhasil mengalihkan perhatian Erika. Ah, harapannya tidak terkabul.

"Udah selamatin Karina belum? Dia jadian sama Raja tau!"

Itu mulut minta gue kepang, desis Erika dalam batinnya. Ia yakin sekali, kenyataan bahwa Rachel menyukai Raja adalah sesuatu yang sudah diketahui oleh seantero sekolah. Tetapi bagaimana bisa, teman-teman sekelasnya itu malah menguji iman Rachel?

"Oh iya?"

Kali ini, desisan Erika berubah sinis kala melihat senyuman muncul di wajah Rachel. Bahkan siapapun yang melihat cewek itu sudah pasti tahu Rachel menangis seharian. Kedua mata Rachel sama sekali tidak bisa berbohong.

"Selamat ya, Karina! Semoga gak langgeng!" Rachel bersuara antusias.

"Doa macem apa tuh?"

"Mata lo kenapa bengkak, Hel?" Cewek dengan rambutnya yang terkuncir rendah itu bertanya dengan senyuman sinis.

"Oh ini?" Rachel menunjuk pelupuk matanya yang meninggalkan jejak hasil menangisnya seharian kemarin. "Digigit sama serangga kayaknya," alibinya lancar.

"Emang bisa sampai segitunya?" Karina bersuara naif.

Rachel mengangguk. "Cari aja di google," balasnya dengan senyuman lebar.

"Gue pikir lo abis nangis seharian!" cibir cewek lain yang mengenakan sweater berwarna abu tua itu.

"Nangis kenapa?" Rachel bersuarab lagi.

"Ya lo 'kan suka sama Raja! Pasti lo nangis 'kan!?"

Mendengar jawaban yang sebetulnya benar itu membuat tawa renyah terdengar di bagian depan kelas. Rachel tersenyum lebar dan mengangkat bahunya acuh.

"Nangis itu, kalau tahu Karina nikah sama Raja!" Rachel membalas. "Kan kata pepatah, sebelum janur kuning melengkung, hajar terus walau mesti nikung!" Ia semakin melebarkan senyumnya.

"Lo mau nikung Karina!?" Arlin, cewek dengan kunciran rendahnya itu kembali sinis. "Lo udah lebih cakep dari Karina—"

"Yang cakep bakal kalah sama yang udah terang jodohnya, tau!" Rachel terkekeh pelan. Ia kemudian beralih pada Karina dan tersenyum tipis. "Emang lo yakin lo jodohnya Raja?" sinisnya dengan sebuah senyuman.

"Udah ah! Pagi-pagi julid aja sih lo semua!" Erika menyahut sinis sebelum menarik paksa Rachel dari tempatnya. Ia pikir Rachel akan berubah menjadi baik di saat sakit hati. Ternyata..., Rachel jauh berubah dari dugaannya.

5 September 2021

Sinful (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang