53. Ucapan Radika

4.8K 224 1
                                    

Keberadaannya yang sudah bukan lagi berada di dalam rumah duka itu membuat dirinya seolah sedikit terbantu karena akhirnya bisa meluapkan kesesakkan yang selama hampir enam jam ia tahan itu. Bukan sebuah tangisan kencang sebagaimana kabar tadi terucap oleh Kenanga lewat sambungan telepon. Tetapi matanya cukup berair untuk mengeluarkan kesesakkan tak bersuara itu.

Tubuhnya kembali bergetar bersamaan dengan bayang-bayang kehadiran Farhan yang seolah semakin mengisi di setiap titik ingatan.

Kalau bisa kembali ke masa lalu, mungkin Rachel akan lebih dulu memaafkan seorang Farhan. Mungkin Rachel akan berusaha kembali membuka hatinya untuk menerima Farhan. Bukan malah melontarkan kalimat bahwa ia tidak ingin lagi menemui sosok itu. Tidak, Rachel tidak ingin ditinggal oleh seseorang yang paling percaya akan kehidupannya selama ini.

Ia salah melangkah, dan ia terlambat menyadari. Bukan Farhan yang tidak mau memperbaiki hubungan ini. Tetapi ia yang lebih dulu menutup kemungkinan itu.

Papa..., batinnya merancau kembali.

"Lo ngapain di sini?"

Suara serak yang baru saja keluar dari seorang Radika membuatnya menelan salivanya susah payah. Ia menyeka air matanya, sebelum kembali menatap akan kehadiran Radika yang datang dengan kerutan pada keningnya.

"Ngapain?" ulang Radika seolah memaksanya untuk menjawab.

Ia menggeleng pelan. "Nyari udara," alibinya cepat.

"Temenin Nyokap di dalem, ngapain malah ke sini?"

Rachel tertegun. Kalimat Radika kembali menyiratkan sebuah paksaan yang seolah menginginkannya untuk bergerak dengan cepat.

Ia mengangguk pelan, dan menatap Radika penuh harap. "Sebentar—"

"Sekarang!" Radika membalas telak. "Habis Bokap pergi juga lo gak bakal gue susahin lagi 'kan?"

"Anggep aja ini tugas terakhir lo biar keliatan sedikit berguna di depan keluarga gue."

"Bang—"

"Lo mau gue ngertiin keadaan lo juga?" Radika bersuara sinis. "Gak akan," balasnya pelan namun tajam.

"Lo anak kesalahan Bokap yang cuma nyusahin keluarga gue. Sekali-kali berguna dikit gak ada masalah 'kan?"

Rachel kembali meneguk salivanya. Kenapa Radika begitu jahat sampai berani melontarkan kalimat seperti itu di hadapannya?

Ia menghela napasnya pelan, sebelum memilih bangkit berdiri. Ia sadar, menatap Radika saat ini adalah sebuah ketakutan baginya. Tetapi kalau diam adalah pilihannya, maka ia dengan sengaja membiarkan Radika mengusai rasa takutnya itu.

"Gue gak pernah mau untuk ada di dunia juga—"

"Ya mati aja sekalian." Radika menyahut pasti. "Kali aja beban keluarga gue juga ikut keangkat kalau lo mati!"

"Kayaknya lo mulai ngelantur deh," ucap Rachel tenang. Kakinya baru saja ingin melewati Radika, kalau saja tangan Radika tidak lebih dulu menarik bahunya dan berhasil membuat kilatan lama di otaknya kembali terputar.

Napasnya kembali memburu, bersamaan dengan tatapan tajam Radika yang seolah mematikan untuk dirinya. Ia memundurkan langkahnya pasti, keberaniannya seolah ciut bersamaan dengan kilatan aneh yang mulai menguasai otaknya itu.

"Ba—bang...," cicitnya pelan.

"Lo cuma anak haram, Rachel!"

Sinful (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang