Rachel menggeram kesal di tempatnya. Posisinya yang duduk persis di sebelah adik kelas yang tidak ia kenali itu seakan tidak menjadi penghalang baginya untuk terus-menerus menggerutu di tempatnya.
Ia yakin sudah mempelajari semua soal yang berada di hadapannya saat ini. Tetapi seakan otaknya mengalami banyak gangguan, rumus hafalannya menguap begitu saja.
Coret-coretannya pada kertas buram yang sudah bertambah menjadi dua lembar itu seakan tidak membantunya untuk menemukan jawaban.
Pikirannya terus tertuju pada kejadian kemarin, sampai otaknya seolah terasa penuh dan membiarkan semua ajaran Raja menghilang begitu saja.
Sudahlah, ia akan menyerah saja. Kepalanya bisa sakit kalau diminta mengerjakan hal ini di saat ia saja tidak ingin berpikir atau bahkan menghitung.
Biarkan saja, ia akan terima kalau Raja akan menjauhinya.
Ia memang semudah menyerah itu. Ia akui untuk yang satu itu.
Atau mungkin..., ia akan berusaha kembali mendekati Raja meski cowok itu menjauhinya.
Lihat saja bagaimana alurnya nanti.
"Yang sudah selesai boleh keluar ya."
Tetapi seakan melupaka ucapannya untuk menyerah, suara Guru dengan kacamata itu malah berhasil membuatnya jantungan dan kembali terfokus pada berbagai soal.
Delapan puluh keberatan tapi..., tujuh puluh aja..., nawar lagi nanti sama Raja, batinnya menyusul penuh harap.
Ya meski memang yakin tidak yakin akan mendapat tuju puluh juga, tetapi setidaknya Rachel akan berusaha. Kali saja teori hitung-kancing kepercayaannya masih bisa digunakan.
"Yuk, semuanya tutup soal!"
Lah!? Rachel panik. Lima belas menitnya cepet amat?
Ia menggerakkan pulpennya dalam gerakan cepat. Persetan jika waktunya sudah habis. Minimal essainya terisi dengan sempurna dulu.
"Rachel, ayo!" decakan yang disusul dengan suara mengejutkan itu seakan tidak bisa menghentikan pergerakannnya. Bahkan kala kertasnya mulai ditarik oleh sang pengawas, tangannya dengan sigap menahan kembali.
"Sabar, Bu," pintanya tanpa menatap pada Guru berkacamata itu. "Dikit...., lagi..., Nah selesai!" susulnya yang kemudian mengangkat tangannya untuk melepaskan kertas yang sedari tadi ia tahan kepergiannya itu.
Guru berkacamata itu terkekeh pelan. "Tumben semangat ngerjain ulangan, Hel."
Ah iya, benar juga. Kalau saja bukan karena perjanjian itu, jangan harap Rachel bisa seserius ini.
Ia ikut tertawa kecil sebelum memilih untuk keluar dan menghampiri Erika yang sudah menyerah dari lima belas menit lalu itu.
"Lama!" Erika mencibir. "Laper gue!" desisnya.
Rachel terkekeh, sebelum akhirnya mengikuti langkah Erika yang membawanya untuk ke kantin. Kalau dalam minggu ulangan akhir seperti ini, koridor kelas jelas akan menampilkan banyak macam murid di sana, kalau di kantin nanti, sudah pasti isinya Anggota Khusus yang memiliki kapasitas otak hampir sama dengannya juga Erika, kecuali Raja, dambaan hatinya yang kelewat pintar itu.
"Bisa ngerjainnya?"
Suara berat yang berasal dari sampingnya itu hampir saja membuatnya terkejut kalau otaknya tidak lebih dulu mengenali sosok itu.
Ia berdecak sebelum menatap tajam pada Bian yang malah berdiri tanpa dosa di sampingnya.
"Kaget!" omelnya jengkel.
Bian nyengir. "Maap," balasnya dengan kekehan. "Bisa gak?" tanyanya ulang.
"Lo berharap apa dari kapasitas otak macam kita, Bi?" Erika lebih dulu menyahut.
Rachel mencebik. Sepertinya memang di mata Erika dan Bian, ia tidak lebih baik dari orang bodoh yang bisa mengerti banyak hal tentang pelajaran.
"Tuh, Raja," tunjuk Erika yang kemudian mendahului Rachel juga Bian untuk menghampiri sepupunya itu.
Perlu ia akui, kedekatan Raja pada Rachel cukup membuatnya lebih bisa membuka hati pada seorang Raja. Kalau saja kala itu Raja benar mengacuhkan Rachel atas apa yang terjadi karena cowok itu, jangan harap Erika bisa mengenal lagi seorang Raja.
"Rachel mana?"
"Tuh!" Ia mengedikkan dagunya pada Rachel yang masih berjalan dengan santai bersama Bian di sampingnya sebagai jawaban atas pertanyaan Raja.
"Kusut banget mukanya," tambah Zaffran dengan kekehan. "Gak bisa ngerjain bukan?" tanyanya pada Erika.
Erika mengedikkan bahunya, "tapi niat ngerjain sih tadi," balasnya terdengar bangga.
"Rachel ngerjain?" Zaffran kembali menyahut heran. Ia kemudian memperhatikan kehadiran Rachel yang memilih duduk berhadapan dengan Raja itu. "Lo ngerjain Fisika, Hel?" tanyanya kala cewek itu sudah duduk manis.
"Hah?" Rachel membalas heran. "Maksudnya?"
"Lo bisa tadi?" ulang Zaffran.
Yakin, Rachel menggeleng. "Masih itung kancing kok," jawabnya disusul dengan cengirannya.
"Nah, yang ini baru gue percaya!" Zaffran membalas heboh.
"Seriusan gak bisa?" Raja seketika bersuara tidak percaya. Ia pikir Rachel akan menolak segala perkiraan Zaffran tadi. Tetapi kenapa cewek itu malah menyetujui perkiraan Zaffran?
Rachel nyengir, "lupa," balasnya salah tingkah.
Raja berdecak. Meski jelas ingin menyalahkan Rachel akan kebodohan cewek itu, ia tetap masih berusaha menahannya. Kalau hasil belum keluar, naka ia tidak boleh mencibir Rachel dulu.
~~~~
"Ini pake rumus pitagoras."
Arahan yang kembali Raja berikan padanya malam ini cukup membuat otaknya terasa bebal. Ia sudah berulang kali berusaha untuk memfokuskan diri pada setiap petunjuk yang Raja berikan. Tetapi lagi, otaknya itu masih belum bisa diajak bekerja sama sampai saat ini.
"Kuadratnya tujuh berapa?"
Rachel mendesah pelan. Kalau saja otaknya bisa mengeluarkan asap, ia yakin asapnya sudah mengebul dan menenuhi ruang tamu yang hanya terisi oleh suara Raja itu.
"Sabar, Ja...," Ia membalas pelan sebelum kembali memperhatikan tulisan tangan Raja yang rapih di buku catatannya itu.
"Lo kenapa sih?" Raja seketika bersuara pelan. "Lagi mikir apaan?"
Cepat, ia menggeleng. "Kan gue udah bilang kapasitas otak gue gak sebagu—"
"Iya tau." Raja menyela. Ia kemudian menaruh pulpen yang berada di tangannya sebelum memilih memperhatikan Rachel dengan seksama. "Tapi lo bego banget beneran hari ini," lanjutnya tanpa dosa.
"Ya Tuhan, Raja," keluh Rachel. "Jahat banget sih!" Ia mencebik jengkel. Tangannya kembali memutar-mutar pulpennya, dengan kedua matanya yang tertuju pada setiap tulisan Raja di buku catatannya itu.
Ia berdesis pelan, kenapa otaknya malah terus-menerus memberi bayangan Farhan? Yang ia butuhkan dari otaknya itu saat ini adalah cara untuk mengerti setiap soal pemberian Raja, bukan malah cara mengerti keadaan Farhan.
"Lo masih mikirin Bokap lo—"
"Enggak!" Rachel menyela cepat. Ia menatap Raja tidak nyaman sebelum kembali melihat pada kertas coretannya itu. "Ini berarti X-nya yang dipindah 'kan?" tanyanya berusaha mengganti topik dengan cepat.
Meski masih tidak percaya akan jawaban cepat Rachel, pada akhirnya Raja tetap mengalah. Ia tidak bisa memaksa Rachel untuk bercerita apa yang sedang dirasakan cewek itu. Tetapi jelas, ia akan memaksa Rachel untuk mengerti pelajaran yang sedang berada dihadapan cewek itu.
Raja tidak mau besok Rachel kembali hadir di kantin dan mengatakan dengan mudah bahwa cewek itu menggunakan hitung kancing untuk menjawab setiap pertanyaan.
Ia tidak akan menerima jawaban itu.
🌸🌸🌸
4 Februari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinful (Tamat)
Teen Fiction"Seharusnya gue sadar, suka sama lo itu cuma nambah luka dalam diri gue." Kalimat yang keluar dari bibir Rachel itu adalah kesimpulan akan kehidupannya yang tergila-gila akan sosok Raja Pradipta. Sosok dingin tak tersentuh yang ternyata membawanya...