Sejujurnya, yang ingin Rungga lakukan saat ini adalah memutar kemudi dan membiarkan Rachel beristirahat dalam waktu yang cukup. Cewek yang sudah terbalut dengan kemeja tebal miliknya itu belum juga menghentikan tangisnya meski Bian juga dirinya sudah meyakinkan bahwa keadaan sudah baik-baik saja.
Sadewa sudah lebih dulu pergi, katanya Abas juga Gilang sudah berada di kantor polisi untuk mengurus masalah ini. Maka dari itu ia diminta oleh Sadewa untuk sedikit lebih lama sampai di sana dan setidaknya membuat Rachel bernapas sedikit tenang.
Tetapi kalau nyatanya tubuh Rachel saja masih bergetar hebat dengan tangisan kecil yang masih ia dengar jelas, bagaimana ia bisa meyakini Rachel sudah lebih tenang?
Kalau saja kesaksian Rachel di kantor polisi nanti tidak penting, jelas Rungga akan membawa Rachel ke rumahnya dan beristirahat. Tetapi karena hal itu penting mengingat Rachel merupakan seorang korban, maka yang bisa ia lakukan hanyalah menancap gasnya dengan perasaan campur aduk.
"Dingin gak, Chel?" Bian bersuara pelan dengan tangannya yang masih terulur pasti mengusap pelan bahu Rachel.
Sejak dirinya juga Rungga membawa Rachel pergi dari tempat kejadian, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Rachel. Yang bisa Bian rasakan hanya tubuh Rachel yang masih bergetar, juga beberapa kali suara perut Rachel yang jelas menandakan cewek itu kelaparan.
"Cari makan dulu ya?"
Sunyi. Rachel masih diam dalam posisinya. Tatapannya kosong. Otaknya seolah belum kunjung mereda untuk memikirkan apa yang baru saja terjadi di hidupnya itu. Kepalanya terasa sakit bersamaan dengan perutnya yang seolah mulai meremas organ dalamnya.
Rungga beralih, menatap pada gawainya yang memunculkan nama Sadewa di sana, sebelum menghela napasnya pelan.
"Kita cari makan abis dari sana aja boleh?" tanyanya pelan.
Bian mengangguk. "Sebentar ya, Chel," katanya penuh harap.
Jangan tanyakan bagaimana perasaannya saat ini. Karena sudah jelas, ia ingin membunuh Raja saat ini juga. Untuk membiarkan Rachel jatuh cinta pada seorang Raja yang tidak peduli saja sudah berhasil membat iman Bian merasa teruji. Lalu kalau kejadiannya saat ini, di mana Rachel kembali merasakan sesuatu yang tidak seharusnya, bagaimana Bian tidak marah?
Tidak sampai sepuluh menit, mobil putih milik Rungga sudah terparkir sempurna di hadapan kantor dengan empat lantai yang melebar itu. Bian menghela napasnya. Ia jelas bisa melihat kehadiran Sadewa juga Gilang di depan sana. Apa ia sanggup membiarkan Rachel menceritakan semua kejadian tadi?
"Turun sebentar ya?" pintanya pelan pada Rachel.
Tidak ada perdebatan, karena setelah dengan bantuan Rungga, Rachel lebih dulu turun dari mobil cowok itu. Ia menghela napasnya pelan. Kenapa harus Rachel lagi?
"Kalau gak mau bilang apa-apa, jangan dipaksa ya. Pasti mereka ngerti," kata Rungga dengan tangannya yang menggantikan posisi Bian saat ini.
Tidak ada balasan lagi. Rachel benar-benar seperti mayat hidup yang hanya mengikuti setiap alur tanpa tahu apa yang sedang sebenarnya sedang terjadi.
"Di dalem Raja lagi diintrogasi."
Ucapan pelan Sadewa membuat Rungga mengangguk. "Gue temenin dia boleh 'kan?" tanyanya meminta persetujuan.
Mesti ragu, pada akhirnya Sadewa mengangguk menyetujui. Ia kemudian beralih pada Bian yang baru saja berniat melangkahkan kaki memasuki bangunan tersebut sebelum pada akhirnya menahan pergelangan tangan cowok itu.
"Di sini aja dulu," perintahnya pelan tapi pasti.
"Masa gue tinggalin Rachel?" Bian berseru tidak terima.
"Sebentar aja, Bian." Gilang ikut memberi pengertian. "Biar Rungga yang bantu Rachel dulu kali ini," lanjutnya pelan.
Wajah Gilang jelas menunjukkan wajah lelah. Ia baru saja sampai di rumahnya kala Fani menelponnya berulang kali. Pikirannya jelas langsung mengarah pada hal yang negatif kala nama Fani muncul di sana. mengingat wanita itu tidak pernah mengganggunya di malam hari.
Dan ketika mengetahui siapa dalang dibalik ini semua, jelas wajah lelahnya saat ini mulai tercampur dengan wajah frustasinya.
Ia sudah tidak mengerti dengan jalan pikir Raja yang suka sekali mencari masalah dan menarik orang lain ikut tersangkut di dalamnya.
"Dia ngomong gak di mobil?" Sadewa bertanya pelan.
Bian menggeleng pasti. "Diem terus. Tapi badannya bener-bener geter," sahutnya seakan kembali mengingat keadaan Rachel saat ini.
Sadewa menghela napasnya pelan. "Gue masuk bentar. Lo tunggu di sini."
Bian tidak memberikan debatan lain. Meski kenyataannya ia ingin sekali melihat keadaan Rachel, ia jelas sadar diri, keberadaannya di sana tidak lebih berkuasa dibanding Rungga juga Sadewa.
Langkah Sadewa berubah pasti kala yang ia cari mulai memenuhi matanya. Ia kembali menarik napasnya dalam, sebelum pada akhirnya memilih untuk mendekati Rungga juga Rachel yang terduduk di salah satu kursi dengan seorang polisi yang ia yakini sebagai penangan kasus kali ini.
"Rachel bisa ditinggal sebenta—"
"Gak." Rungga lebih dulu membalas. "Saya jadi walinya dia. Jangan memaksa korban untuk mengaku di saat dirinya sendiri belum tenang."
Mendengar jawaban lugas Rungga, Polisi dengan sebuah badge nama Ridwan dibagian dada seragamnya itu menghela napasnya pelan. Ia kembali memperhatikan Rachel dalam keadaan mengenaskan itu sebelum pada akhirnya memilih menatap kembali pada komputernya.
"Rachel gak tau apa-apa?" Pertanyaan Ridwan yang memelan itu membuat Rachel perlahan menatap pada pria paruh baya itu. Wajahnya pucat bukan main, riasannya berantakan dengan kelopak matanya yang membengkak.
Ia menggeleng pelan. Kejadian hari ini terlalu cepat di otaknya sampai ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kamu kenal Raja?"
Samar, Rachel mengangguk.
"Aldrich?"
Rachel menggeleng. Ia kembali menarik napasnya dalam sebelum memperhatikan sekelilingnya yang terasa menyeramkan di matanya.
"Kamu tau wajah orang yang bawa kamu?"
Lagi, Rachel menggeleng.
"Coba lihat yang ini...," Ridwan mengulurkan sebuah foto berukuran 4R ke hadapan Rachel. "Kenal gak?"
Sesaat tubuh Rachel kembali menegang. Ia mengenal cowok yang berada di dalam foto itu. Cowok yang menggangu Raja di depan kompleknya malam itu.
"Si—siapa?" cicit Rachel penasaran.
"Ini Aldrich."
Dan saat itu napasnya kembali tercekat. Ia pikir, kejadian malam itu berakhir saat itu juga. Ternyata tidak. Kepalanya kembali tertunduk dalam, dengan kedua matanya yang seketika terpejam erat. Apa ia diizinkan menyesal karena menolong Raja malam itu?
Ia menarik napasnya dalam kala rasa sakit kepalanya itu seketika kembali menjalar dan menyiksa dirinya. Ia mengepalkan tangannya, berusaha sekuat mungkin menghilangkan rasa sakit tersebut.
"Kak Rungga," cicit Rachel pelan.
"Iya?" Rungga membalas cepat.
"Rachel pusing," ringisnya yang kemudian membuat Rungga kembali menarik napas dalam.
"Kita selesaiin di sini dulu boleh Pak Ridwan?" Sadewa berujar tegas.
Meski kenyataannya apa yang Ridwan lakukan belum bisa dikatakan selesai. Namun melihat keadaan korban di hadapannya, mau tidak mau Ridwan mengangguk.
"Ayo, pulang ya?" ajak Rungga yang kemudian membantu Rachel untuk kembali berdiri. Kalau tahu introgasi malam ini bisa dijadwal ulang, pasti Rungga tidak akan membawa Rachel berada di tempat ini saat ini.
Ia beralih, menatap pada kehadiran Raja dengan kedua mata cowok itu yang menatap pasti pada Rachel. Tidak ada siratan jelas yang bisa Rungga temukan dari tatapan Raja saat ini. Tetapi setidaknya, ia berharap, Raja menyesali perbuatannya barang sedetik saja.
19 September 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
Sinful (Tamat)
Teen Fiction"Seharusnya gue sadar, suka sama lo itu cuma nambah luka dalam diri gue." Kalimat yang keluar dari bibir Rachel itu adalah kesimpulan akan kehidupannya yang tergila-gila akan sosok Raja Pradipta. Sosok dingin tak tersentuh yang ternyata membawanya...