Epilog

1.4K 243 224
                                        

Antara Seoul dan Jakarta

Felix tersenyum lebar begitu Skype-nya terhubung dengan seseorang, dia melambaikan tangan. Sudah dua bulan mereka tidak saling bertatap muka dan hanya kontak lewat grup chat. Padahal biasanya mereka menghabiskan waktu bersama-sama. Pertukaran mahasiswa yang membuat Felix sementara ini berada di Korea, setidaknya sampai tiga bulan lagi.

"Hai, Girls!" sapa Felix antusias.

Kedua cewek yang muncul di layar itu, Mika dan Prima, membalas tidak kalah antusiasnya. Bahkan mereka lebih heboh. Dari background-nya, mereka sedang ada di ruang tengah rumah kos.

"Apa kabar di rumah?" tanya Felix meraih bantal untuk dipeluk. Ia kini berada di kamar asrama yang disediakan kampus untuknya selama menimba ilmu di sini.

"Parah sih parah, lo ketinggalan banyak berita!" kata Mika sambil menunjuk-nunjuk layar.

"Sini sini cepetan cerita!" pinta Felix merasa sangat tertarik mendengarkan kabar terbaru yang mungkin tidak mereka ceritakan selama chatting.

"Babeh Jaya masangin wifi di rumah!" kata Mika sambil tepuk tangan senang. "Akhirnya nggak perlu kehabisan paketan di tengah bulan."

Felix turut senang mendengarnya. "Siapa yang bisa bikin Babeh masangin wifi?"

"Siapa lagi kalau bukan Bapak Ibu kita. Mas Bayu sama Mbak Nina yang bolak-balik ngerayu Babeh. Katanya semester depan mereka kan udah skripsi, jadi butuh banget wifi. Untungnya Babeh mau masangin, jadi ya gitu," jelas Prima.

Felix mengangguk-anggukkan kepala. Wifi adalah sesuatu yang sangat diinginkan oleh penghuni rumah kos Babeh Jaya, tapi tidak ada yang berani minta ke Babeh Jaya.

"Mas Bayu sama Mbak Nina, balik?" tanya Felix. Ketika dia meninggalkan rumah, dua orang itu sudah memutuskan hubungan. Padahal keduanya terlihat cocok ketika bersama, apalagi sifat mereka bagai orang tua. Terutama saat mengurusi anak-anak rumah yang kadang tidak tahu aturan seolah hidup di rimba.

Prima menelan makanan dalam mulutnya. "Kabar selanjutnya muncul dari Mika dan Esa."

"Kampret kenapa jadi gua?" protes Mika menyenggol Prima.

"Kenape lu sama Esa?" tanya Felix.

"Nggak ada apa-apa," jawab Mika memasang ekspresi jutek tapi pipinya merah.

"Anjir reaksinya! Lo baper sama Esa?!!!" tuduh Felix sambil tertawa dan menepuk tangan.

Mika menggelengkan kepala menyangkal tapi wajahnya merah seolah membenarkan tuduhan Felix. "Enggak wooooy."

"Jangan percaya sama dia," kata Prima mendorong Mika keluar dari jangkauan webcam.

Bibir Mika maju beberapa senti. Cewek itu kembali muncul di layar laptop Felix dengan wajah masamnya itu.

"Lu nge-bully gue mending gue matiin nih," ancam Mika.

"Eh jangan dong! Gue kan mau curhat," sergah Felix, matanya melotot. "Beneran ini gue mau curhat."

Prima tersenyum miring. "Pantesan ya tumben-tumbenan ngajak video call, biasanya aja kebanyakan alasan!"

"Makanya. Ternyata pertemanan kita kayak gini doang? Cuma didatengin pas lagi butuh?" sambung Mika memasang ekspresi ala tokoh antagonis sinetron yang lagi nyindir si protagonis.

"Berisik. Dengerin curhatan gue, jangan ditanya kalau belum ada jeda karena artinya gue belum beres cerita," peringat Felix.

Prima mengangkat laptop dan membawa benda itu ke kamar Mika yang sekarang ada di lantai satu.

Perfect HousematesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang