Cerita 60

16.3K 1K 1
                                    

Andra turun tergesa saat mentari memanggilnya, meninggalkan ayahnya yang juga sedang mengajaknya diskusi soal kemajuan perusahaan.

"Kenapa?" Andra melirik Mira yang menata meja makan dengan tenang namun ia lebih tertarik mendapati wajah panik Mentari

"Ara, dia pergi sambil nangis" kepanikan dalam dirinya pun turut muncul, ia berpaling menatap Mira, sebagai satu orang terakhir yang bersama Ara.

"Ma? Ara kenapa?" Andra merasa bersalah, takut sekaligus khawatir. Seharusnya ia bisa menolak ayahnya yang tiba-tiba minta diskusi soal perusahaan yang sudah lama ia tinggalkan

"Kenapa tanya mama? Kenapa gak__

"Karna mama yang sama Ara terakhir kali!" Andra tidak membentak, tapi nada bicara Andra yang seperti itu belum pernah Mira dengar. Ia dituduh oleh putranya sendiri demi perempuan seperti Ara

"Mama gak tau"  jawaban Mira terdengar acuh. Menunjukkan dengan jelas betapa ia tidak peduli soal itu

"Ma, jawab yang jujur. Kasian Ara, ini udah malam."  Tegur ayah Andra kemudian, pria yang jadi satu-satunya orang yang tidak dapat Mira bohongi

"pergi__

"Pergi kemana?" Andra lagi-lagi memotong, perasaanya tidak enak. Pikirannya secara penuh memikirkan Ara, tapi sebelum ia keluar dan mencari Ara terlebih dulu ia harus tau apa yang terjadi

"Kamu tanya aja sama istri mu yang kurang ajar itu" Andra mengepalkan tangan, nafasnya memburu dan keyakinan soal telah terjadi sesuatu semakin bertambah

"Malam tante, malam semuanya" sapaan Calista terdengar memuakkan di telinga Andra

"Ngapain lagi sih lo kesini?! gak punya rumah apa gak punya makanan di rumah!" Mentari berkata lantang, menggema di ruang makan dan memancing amarah Mira

"Tari! mama yang undang, dia kenapa jadi kamu yang marah?"  Tari menatap sinis Calista yang tenang sekaligus senang karna di bela

"Aku pulang, makan malam di pinggir jalan lebih menarik" Tari mengabaikan teriakan Mira. Harusnya Mira sadar bahwa kemunculan Calista yang terlalu sering bisa jadi alasan utama keharmonisan keluarga mereka pudar.

Jujur, Tari merasa tidak nyaman satu ruangan dengan orang yang dari awal memang saling tidak menganggap.

"Apa kabar mas?" Andra menatap Calista tak terbaca, melirik pada Mira yang terdiam lalu melangkah pergi dan berhenti satu langkah di depan Calista

"Buruk, makin buruk setelah liat kamu."

****
Andra kembali mendial nomer Ara untuk kesekian kalinya, Andra tidak hitung, tapi respon yang di dapat tetap sama. Nomer Ara tidak aktif.

Andra tidak tidur, tidak bisa tidur saat tau Ara tidak ada dimana-mana.

Setelah meninggalkan rumah orang tuanya, Andra menuju apartemen berharap orang yang di cari ada disana, namun hasilnya justru membuat Andra kecewa berat, Andra menelpon Nadia yang ternyata sedang tidak di jakarta. Andra bingung, pusing sampai kepalanya hampir pecah.

Pria itu menatap gedung tinggi di depannya, beberapa mahasiswa yang menyapanya hanya Andra abaikan. Andra berdiri di parkiran depan kampus sejak subuh hari setelah mengelilingi jakarta mencari Ara. satu-satunya harapan ada disini semoga ia bisa melihat Ara sedang berjalan menuju kelasnya, namun hingga pukul sepuluh apa yang di carinya tidak kunjung terlihat.

Andra menghela nafas, mengusap rambutnya kasar hingga terlihat lebih berantakan lagi. Mira tidak menjawab apa yang sedang terjadi dan Mentari tidak tau apa-apa karna tidak berada di tempat kejadian.

Suara deru motor menyadarkan Andra, dengan langkah terburu-buru Andra menarik Arka turun dari motornya

"Kenapa gak angkat telfon saya semalam?" Tatapan tajam beserta nada tegas sama sekali tidak mempengaruhi Arka. ketenangan mereka hampir seimbang.

"Gak denger pak, bapak nelpon di jam tiga pagi, Saya cuma lihat layar hp saya nyala. Terlalu ngantuk buat sekedar bilang halo" Arka menjawab jujur, baru pagi tadi dia mengecek ponsel mendapati lima panggilan tak terjawab dari Andra di waktu yang hampir bersamaan.

"Kamu tau Ara dimana"? Arka menggantung helmnya di spion motor lalu menolehkan badannya secara penuh ke Andra

"Udah saya antar pulang sebelum kesini" kelegaan langsung menghampiri Andra, namun sedikit kemarahan masih tersisa.

"Kenapa kamu gak bilang?!"

"Ara gak mau, satu-satunya hal yang bisa saya lakukan malam itu cuma turutin mau ara buat tidur sama mama saya" kalau Ara dan Nadia lihat Arka yang super tenang begini, mereka pasti sakit perut karna tertawa.

"Dia kesana sendiri?"

"Saya nemuin dia nangis di pinggir jalan, dia gak mau balik ke apartemen" Andra terdiam, memproses semua kalimat Arka agar bisa di cerna dengan baik.

"Gak usah khawatir, dia baik-baik aja dan gak usah berfikir macam-macam.  Ara sahabat saya, kalau Nadia yang ada di posisi Ara tadi malam, saya pasti melakukan hal yang sama. Ara sahabat saya sama seperti Nadia." Lalu Arka pamit dengan cara mengangguk sopan, kurang baik apa lagi dia sebagai sahabat.?

****

"Ara"? Ara yang baru saja selesai minum menoleh pada Andra yang terlihat agak kacau

Pelukan Andra terlalu erat sampai Ara harus berontak melepaskan diri

"Kenapa?"

"Sesak" Ara berbalik, memunggungi Andra dan mencuci gelas bekas minumnya, kemudian Andra membawanya menuju ruang tamu.

"Terjadi sesuatu tadi malam kan? Ada apa?" Wajah khawatir Andra sedikit membuat Ara iba, tapi mengingat soal semalam justru membuat Ara cepat-cepat mengusir pergi iba itu.

"Mama kamu gak kasi tau?"  Andra menggeleng, Ara memalingkan wajah kesamping demi bisa mengeluarkan tawa sinisnya.

"Malam itu adalah kali terakhir aku mau kerumah orang tua kamu" Andra merinding, untuk pertama kali seriusnya Ara pagi ini seolah membuat Andra terlalu terkesima. Pasti kejadian semalam amat luar biasa

"Ada apa?" Ulang Andra dengan tenang, berusaha tenang.

"Gak usah, aku tau kamu bakal bela mama kamu. Ya iyalah memang aku siapa?" Ara memutuskan berdiri, berniat ke kamar dan tidur seharian namun Andra lebih cepat menariknya hingga kembali terduduk.

"Harus, saya harus tau dan saya gak bodoh untuk membela satu pihak jika memang dia benar. Dia mama saya atau bukan, kalau dia salah berarti dia harus minta maaf" Andra berkata tegas, menatap Ara tepat di bola mata Ara yang hitam legam.

"Kenapa kamu gak pernah coba buat maafin Calista dan nikah sama dia aja? Terus mama kamu senang dan aku gak harus terkesima karna mama kamu udah jadi yang pertama nampar aku?" Andra terbelalak, emosi yang ditahannya muncul begitu tiba-tiba dan Andra butuh tenaga ekstra untuk bisa menahannya sebentar lagi.

"Mama nampar kamu?" Ara menatap Andra dingin, tatapan yang amat Andra benci jika berasal dari Ara

"Aku bilang ke mama kalau Calista itu penghianat karna kesabaran aku habis liat mama marah karna aku gak bisa potong kentang dengan benar" kalau ini situasi biasa, Ara mungkin akan tertawa, tapi tidak kali ini. Ara marah, terlebih Mira sampai membawa nama Riana yang seakan gagal menjadi ibu karna tidak mengajarinya masak.

"Calista terus, aku capek!" Ara berhenti menutupi perasaan kesalnya yang tercipta banyak untuk Calista, Ara kembali berdiri.

"mama keterlaluan" suara Andra memelan, ia tidak terima Mira menampar Ara karna istrinya itu telah membeberkan fakta

"kamu baik-baik aja"? Andra ikut berdiri, lalu mengusap kepala Ara dengan kedua tangannya

Ara kembali menangis, ia pikir semalam dan tadi pagi sudah cukup waktu ia menangis di pelukan Intan

"Kamu istirahat, saya pergi sebentar."  Andra keluar setelah mengecup kening Ara lama. Ia kehabisan kata sekaligus merasa telah gagal melindungi Ara. Karna sewaktu itu terjadi, ia sedang tidak berada di sisi Ara.

Mira keterlaluan, Andra amat tidak menyangka, tapi ia percaya Ara sudah berkata jujur. Ara tidak pernah sanggup berbohong sekuat apapun dia berusaha.

STRUMFREI✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang