BAB 48 - Everything Will Be Okay

164 5 0
                                    


"Hentikan bicaramu yang seperti pervert itu, Diego! Siapapun yang mendengarmu berbicara hal itu pasti langsung menganggapmu sebagai penjahat kelamin." ejekku berusaha menutupi pipiku yang semakin merona.

"Aku tidak peduli dengan ucapan orang lain. Yang terpenting pacarku tidak merasa begitu. Aku sangat senang melihat pipimu yang merah padam saat aku menggombalimu dengan semua kata-kata mesum yang terucap dari mulutku." sanggahnya.

"Jadi kau tidak masalah dianggap sebagai penjahat kelamin oleh banyak wanita termasuk aku?" tanyaku bercanda sambil menuangkan sedikit shampoo ke tanganku lalu mulai memakaikannya ke rambut Diego dan memijatnya hingga keluar busa.

"Tidak apa-apa. Toh aku hanya akan menjadi penjahat kelaminmu saja. Bukan yang lain." balasnya yang sontak membuat merasa aneh dan menghentikan gerakan tanganku.

"Penjahat kelaminku? Apa itu tidak terdengar aneh ditelingamu?" tanyaku.

"Hahaha... Memang. Terdengar seperti aku sedang melecehkanmu saja." jawabnya sambil menarikku untuk duduk dipangkuannya.

"Daripada kau mengoceh tidak jelas, mending kau tutup matamu. Aku tak ingin matamu menjadi perih karena terkena sabun." ujarku mengkhawatirkan bila sabun itu dapat memerihkan matanya.

"Cie, cie. Ada yang panik memikirkan kesehatanku." candanya.

"Ini bukan saatnya kau bercanda-canda, Diego. Aku tidak mau..." tukasku yang terpotong saat busa shampoonya sudah mengenai mata Diego yang lantas menyebabkan dirinya teriak kesakitan.

"Itu-kan sudah aku bilang. Banyak tingkah-sih kamu ini." ungkapku langsung berusaha turun dari pangkuannya untuk membasuh matanya dengan air.

"Tidak! Jangan turun. Aku hanya butuh kamu tetap disampingku." tolaknya.

"Tapi matamu..." sanggahku sambil sudah mulai panik melihat keadaannya yang sudah dalam kesakitan.

"Aku tidak apa-apa, Sya." jawabnya sambil mengambil air dari shower dibelakangnya lalu menyiramkan pada matanya. Setelah itu dirinya hanya tersenyum dan sedikit terkekeh ke arahku saat melihatku sangat cemas melihatnya kesakitan.

"Kenapa ketawa? Apa kau tidak suka pacarmu mengkhawatirkanmu? Aku-kan sudah bilang tadi jangan banyak gerak. Lihat sekarang! Matamu merah karena terkena busa dan kau masih bisa ketawa layaknya tidak terjadi apa-apa." marahku sedikit panik.

"Maaf, Sya. Aku hanya suka melihat reaksimu yang seperti ini. Dirimu yang mengkhawatirkan membuatku merasa seperti dicintai dan diperhatikan." ucapnya sambil menarikku lalu memelukku dengan erat. "Aku minta maaf, okay?" lanjutnya yang cuma kutanggapi dengan anggukan lalu menyiram semua sisa-sisa shampoo yang tersisa dan kemudian meraih handuk dan mulai mengeringkan rambutnya.

"Sudah selesai. Sisanya kamu sendiri saja. Aku mau lanjut masak dulu. Setelah kamu selesai, turun ke bawah, Alex pasti sudah menunggumu dibawah." ujarku sambil turun dari pangkuan dan bergegas keluar dari kamar mandi, lalu melanjutkan masakku yang sempat tertunda tadi.

Tak berapa lama kemudian, aku tiba-tiba merasakan seseorang memelukku dari belakang sambil menempatkan wajahnya di ceruk leherku sambil berkata, "Baunya enak, Sayang."

"Kalau begitu kau ke ruang makan dulu saja. Sebentar lagi aku sudah akan selesai masak dan menyusulmu ke sana." ucapku.

"Bukan makanannya yang enak, Sya. Tapi aroma tubuhmu yang terasa begitu memabukkan untuk diterima oleh indera penciumanku." gombalnya sambil mencium tulang belikatku.

"Stop, Diego! Itu benar-benar terdengar menjijikan ditelingaku." sanggahku.

"Kalau begitu, haruskah aku membuktikannya dengan tindakan? Jika keberadaan diimu disampingku sudah sama seperti candu bagiku. Kau layaknya morphine yang tak pernah bisa berhenti kupakai. Kau satu-satunya hal yang kuinginkan untuk selamanya menjadi milikku, Sya. Aku tidak berbohong. Bila kau tidak percaya dengan ucapan, maka aku siap untuk membuktikannya dengan perbuatan, Sya." kekeh Diego sambil membalikkan badanku kearahnya.

"Aku lihat kau sudah bisa berdiri tanpa tongkat, Diego." pungkasku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Aku tahu apa yang sedang ingin kau lakukan, Sya." ucapnya menatapku dengan serius.

"Maksudmu? Aku hanya sedang memperhatikan perkembangan kakimu, Diego." balasku berpura-pura tidak tahu.

"Apa perlu sekalian aku tunjukkan disini pada dirimu agar kau mau untuk mempercayai ucapanku ini, Sya?" tanyanya serius.

"Diego, bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin melakukan itu sebelum kita menikah? Kita sudah pernah kelepasan sekali yang berakhir dengan lahirnya Alex. Aku tidak ingin kelepasan lagi untuk kedua kalinya. Tunggu setelah semua ini berakhir lalu kita menikah dan pada saat itu, aku akan dengan rela memberikannya pada dirimu, okay?" tawarku.

"Apa kau berpikir bahwa aku akan meninggalkanmu setelah kau memberikan hal itu pada diriku, Sya?" balasnya.

"Bukan, Diego. Ini hanyalah masalah prinsip dan aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak membiarkan diriku jatuh kedalam lubang perzinahan untuk kedua kalinya. Kau sadar-kan apa yang kita lakukan sebelumnya adalah zina?" tanyaku yang hanya mendapat anggukan dari dirinya.

"Maafkan aku, Sya. Aku terlalu memaksamu untuk melakukan hal yang belum kau siap. Aku hanya..." jawabnya menyesal.

"Aku tidak marah, Diego. Di era zaman sekarang, sex diluar penikahan memang sudah menjadi hal yang cukup lumrah untuk dilakukan. Maka dari itu aku bisa menyerahkan semuanya pada dirimu. Tapi untuk saat sekarang aku sadar bahwa pola pikir mereka itu salah. Pacaran tidak memastikan kita menikah, Diego. Kita bisa saja putus. Tidak ada yang menjamin bila semua lelaki mau bertanggungjawab seperti dirimu. Ini bukan masalah percaya atau tidak percaya, hanya saja aku tidak mau anak kita nanti bergaul dengan bebas sampai mereka harus hamil diluar nikah. Aku hanya ingin menjadi contoh yang baik bagi mereka." jelasku sambil memeluknya.

"Papa! Mama!" panggil Alex sambil berlari memeluk kita berdua.

"Ma, Alex lapar." lanjutnya.

"Alex lapar? Ini sebentar lagi masakan Mama selesai. Alex dan Papa ke meja makan dulu ya?" ungkapku yang langsung diangguki Alex lalu dirinya mengajak Diego untuk ikut dengan dirinya ke ruang makan. Akupun dengan segera mematangkan semua makanan lalu dengan sigap menaruhnya di piring, lalu kemudian berjalan ke ruang makan untuk memberikan mereka berdua santapan pagi mereka.

"Makan pagi telah siap!" sahutku yang lantas mendapatkan respon antusias dari Alex.

"Yeay! Pancake!" sahut Alex antusias.Kamipun lantas mulai menyantap sarapan kami setelah diriku duduk dikursi samping Diego.

"Ma, ulangtahun Alex-kan sebentar lagi, Alex boleh minta sesuatu dari Mama sama Papa tidak?" tanya Alex tiba-tiba.

"Memangnya Alex kepingin barang apa?" tanya Diego.

"Alex minta adik, Pa. 1 adik perempuan dan 1 adik laki-laki. Boleh tidak?" tanya Alex polos.

"Kenapa Alex minta adik, Sayang?" tanyaku bingung.

"Tapi Alex ingin punya adik yang bisa Alex jaga, rawat dan juga lindungin. Itu-kan tugasnya seorang kakak? Alex juga ingin dipanggil "Kakak", punya teman bermain. Kalau Alex terus-terusan seorang diri, jadinya Alex tidak punya teman bermain." ungkap Alex.

"Iya, iya. Pasti Papa turutin kemauanmu." jawab Diego sambil mengelus kepalanya.

"Thank you, Pa. Papa memang yang terbaik." sahut Alex sambil mencium pipi Diego dan bergegas untuk bersiap ke sekolah.

"Aku pergi kerja dulu ya. Ohh ya... Hari ini kau akan ke rumah William, bukan? Hati-hati, okay?" ujarnya sambil mencium keningku.

"Sampai bertemu nanti malam." ucap Diego sambil berjalan pergi dari hadapanku.

"Aku berharap semuanya akan berjalan sesuai rencana, Diego." ucapku dalam hati. 

Bound to ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang