Ulyssa's POV
Sinar matahari yang berhasil menelusup masuk dari jendela kamar tidurku seketika membuatku merasa terganggu dan langsung membangunkanku dari tidur. Aku lalu mengerjapkan mataku, membiasakan diri dengan cahaya yang merasuki mataku.
Masih dengan kepala yang terasa pening dan berat, secara reflek membuatku memijat pelipisku sambil memandangi satu demi satu sudut ruangan yang terasa begitu asing. Ruangan yang didominasi dengan warna hitam putih dan perabotan rumah yang terbilang mahal sekaligus modern, membuatku langsung menyadari sudah pasti aku tidak sedang berada dalam ruang tidurku sendiri.
Aku kemudian mulai mengingat-ingat sedikit demi sedikit, mulai dari Diego yang tak berhenti menanyai alasanku kenapa aku meminta untuk pulang lebih cepat, lalu pada saat di perjalanan menuju rumah sakit, aku mendapat telepon dari William yang mengajakku ketemuan, namun aku tolak karena Alex yang sedang sakit. Lalu..... Oh My Lord! Diego! Diego tahu akan keberadaan Alex! Bagaimana ini?
Seketika itu akupun langsung panik dengan seluruh pikiran buruk tentang keselamatan Alex memenuhi otakku. "Diego tidak akan berani untuk membunuh darah dagingnya sendiri, kan?" tanyaku dalam hati. Dengan tergesa-gesa, akupun turun dari ranjang dan berusaha untuk berjalan ke arah pintu, namun tidak jadi, karena kepalaku yang kembali terasa berdenyut-denyut seperti habis dipukul menggunakan beton.
Aku lantas segera duduk di samping tempat tidur sambil memegangi kepalaku dan mulai menyadari bahwa aku tidak lagi memakai baju yang kemarin aku gunakan. Kini bajuku telah berganti menjadi piyama berwarna putih dengan sedikit corak biru kepastel-pastel-an yang membuatku dengan spontan membolakan mataku.
Siapa yang mengantikan bajuku dengan piyama bermerek ini? Pikiranku langsung tertuju pada satu orang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Diego.
"Aku lihat kau sudah bangun rupanya. Apakah sekarang kau sudah merasa sehat?" suara itu. Suara yang sangat familiar yang selalu terngiang-ngiang dibenakku sebelum aku tertidur. Suara yang sangat aku rindukan sekaligus tak ingin lagi aku dengar selama sisa hidupku.
"Dimana aku?" ujarku sambil mengambil selimut milik Diego untuk menutupi tubuhku karena diriku yang merasa terlecehkan dengan tatapan matanya yang tertuju pada bagian privatku.
"Mataku disini! Bukan disana!" sahutku yang langsung membuyarkan fokusnya.
"Iya, aku tahu. Hanya saja aku baru sadar bahwa ternyata itu-mu sudah semakin besar daripada 8 tahun yang lalu." ucapnya mesum yang membuat mataku terbuka lebar. Apa dia bilang?!
"Pervert! Apa kau benar-benar melihatnya kemarin saat kau mengganti bajuku?!" marahku.
"Bukan hanya melihat tapi sampai aku cicipi mungkin." sindir Diego menyeringai yang menyebabkan diriku semakin merasa tidak nyaman karena ucapannya yang semakin terdengar melecehkanku sebagai perempuan.
"Kau melakukannya?! Kenapa, Diego?! Apa kemarin juga kau sampai memperkosaku?" tanyaku sakit hati sambil menahan tangis membayangkan dirinya menjamah tubuhku tanpa diriku yang mengetahuinya.
"Aku hanya main-main saja, Sya. Pelayan perempuanku-lah yang kemarin menggantikan bajumu. Aku bukan pria yang seperti itu, okay? Bahkan saat kita pacaran dulu, aku tidak pernah memaksamu untuk memuaskan nafsuku. Apalagi dengan sekarang. Saat kau masih membenciku tanpa adanya alasan yang jelas. Aku tidak mungkin menambah satu lagi alasan yang akhirnya membuat dirimu semakin membenciku." jawabnya sambil bergerak kearahku.
Mendengar hal itu langsung membuatku menghela nafas lega. Untung saja dirinya tidak melakukan apa yang aku pikirkan. Tapi melihatnya terlihat kecewa saat mendengar tuduhanku kepada dirinya juga sedikir meresahkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound to Ex
Romance"Ditempat inilah aku menginginkan suatu permulaan hidup yang baru. Tanpa adanya masa lalu yang terus menghantuiku setiap malamnya. Namun sayangnya takdir menghendaki kita untuk kembali bersama. Disaat aku berusaha untuk pergi menghindar, aku malah d...