"Mama tidak mau memberikan Alex adik ya?" tanya Alex dengan raut wajah sedih yang secara tidak sadar sangat mendukung keinginan diriku untuk memiliki anak lagi dengan Ulyssa. "Bagus, nak." kataku dalam hati. Dorong terus, bantu Papamu ini supaya Mamamu mau untuk memberikan kita adik bayi yang baru. Agar rumah ini bisa dipenuhi dengan suara tangis ricuh bayi yang sangat aku idamkan untuk kudengar dari telingaku sendiri.
"Lihat itu, Sya. Alex saja menginginkan seorang adik untuk di ajak main. Kasihan tahu kalau misalnya dia tidak punya teman main di rumah. Masa kamu tega membiarkan keinginan anakmu tidak terwujud padahal ibu dan ayahnya masih mampu untuk memenuhi keinginan itu." imbuhku.
"Mama jahat! Mama tidak sayang lagi sama Alex. Masa minta adik saja tidak boleh? Kan Alex iri melihat teman-teman Alex yang punya adik, terus bisa main bareng. Kalau sekarang-kan Mama sama Papa tidak bisa terus disamping Alex dan menemani Alex main. Kalian berdua-kan punya kerjaan yang harus diurus. Kalau kalian pergi, terus Alex mainnya sama siapa? Kan jadinya gak enak kalau main sendiri." rengek Alex sambil sudah mau menangis.
"Alex, dengarkan Mama. Alex itu harus bisa menjadi anak yang mandiri. Tidak boleh langsung menangis jika keinginannya tidak dikabulkan. Mama tidak bisa janji untuk memberikan Alex adik karena anak itu pemberian Tuhan dan Mama tidak tahu kapan Tuhan akan memberikan Mama lagi karunia untuk bisa melahirkan seorang anak. Tapi Mama akan berusaha untuk bisa memenuhi keinginan itu, okay?" ucap Ulyssa membuat mata Alex langsung berbinar-binar.
"Beneran, Mama mau beri Alex adik? Mama tidak bohong, kan?" tanya Alex sambil mengusap-usap air matanya.
"Mana pernah Mama bohong sama Alex? Mama-kan selalu menepati janji Mama pada Alex. Jadi Mama mau lihat Alex tersenyum. Kan sudah ada Papa sekarang. Papa meninggalkan semua pekerjaannya buat Alex loh. Karena Papa sangat khawatir saat mendengar Alex jatuh sakit. Masa masih mau menangis? Daripada menangis terus, lebih baik sekarang Alex ajak Papa main. Kan banyak itu mainan yang kemarin Papa baru belikan buat Alex." kata Ulyssa.
"Siap, Ma. Makasih ya Ma sudah menelpon Papa jadinya buat Papa rela mengorbankan pekerjaan demi untuk menemui Alex. Bahkan Alex sampai dibawa ke rumah Papa yang megah ini. Alex senang banget bisa tinggal disini sama Papa, sama Mama. Alex boleh-kan selamanya tinggal disini? Alex mau terus disamping Papa. Disuapin Papa, ditemani Papa main. Pokoknya semuanya sama Papa." ucap Alex.
"Tentu Alex boleh kapanpun datang kesini. Tapi Papa rasa, Mamanya Alex yang tidak mau tinggal disini. Dia sepertinya lebih suka untuk tinggal di apartemen yang diberikan sama tunangannya. Bukan sama Papa yang cacat ini." ledekku.
"Benar, Ma? Mama tidak cinta lagi dengan Papa?" tanya Alex memelas.
"Mama itu masih cinta dengan Papa kamu dan Mama mau untuk tinggal sama Papa kamu. Kan Alex seneng banget tinggal disini. Tidak mungkin Mama mau mengambil kebahagiaan Alex dengan memisahkan Alex dari papanya." jawabnya sambil mengelus kepala Alex meminta pengertiannya.
"Kalau begitu, Mama mau-kan mencium Papa di depan Alex? Untuk membuktikan ucapan sayang kalian pada Alex." tanya Alex lagi.
"Alex, Mama tidak bisa. Ciuman didepan kamu itu tidak pantas untuk dilakukan oleh kami sebagai orangtuamu." jawab Ulyssa beralasan.
"Berarti Mama memang sudah tidak cinta lagi sama Papa." ucap Alex sedih.
"Sudah lakukan saja, Sya. Toh ini permintaan Alex. Tidak baik menolak keinginan anak. " timpalku.
Aku bisa melihat wajah Ulyssa yang bingung apakah harus menciumku atau tidak. Tapi kurasa dorongan dari kita berdua akhirnya membuatnya memutuskan untuk menuruti keinginan aku dan Alex. Dengan perlahan dia mulai mendekatiku, lalu mencium pipiku sekilas membuatku langsung bertanya-tanya. Bukannya harusnya di bibir ya? Kok jadinya tidak sesuai harapan seperti ini-sih. Aku jadinya risih sendiri. Ingin melakukan lebih tapi takut ditolak. Terus apa yang harus aku lakukan? Aku ingin kembali untuk merasakan bibir manisnya Ulyssa yang menempel pada diriku tapi juga tidak ingin terlihat terlalu memaksa.
"Lihat, Lex. Mama kamu tidak mau mencium Papa di bibir. Mama tidak sayang lagi sama papa. Papa jadinya sedih banget." ucapku manyun.
"Ma, cium Papa!" perintah Alex.
"Diego! Stop meminta Alex untuk memaksaku melakukan hal-hal tidak senonoh di depannya. Tidak baik mempergunakan anak demi keuntungan sendiri!" geram Ulyssa.
"Alex, bagaimana ini? Mama marah sama Papa karena memintanya untuk mencium Papa di bibir. Menurut Alex salah atau tidak bila Papa ingin melihat Mama membuktikan perasaannya pada Papa." ucapku dramatis.
"Mama jangan buat Papa menangis! Nanti Papa tidak mau menemui Alex lagi. Kan Alex jadinya sedih kalau itu terjadi. Mama, ayo Alex mohon, cium Papa." rengek Alex.
"Iya, iya. Mama turuti kemauan Alex." jawab Ulyssa pasrah.
Enak sekali sekarang. Sudah ada pendukungku yang bisa secara tidak langsung mendorong Ulyssa untuk menuruti keinginanku. Sebagaiamanapun dirinya ingin menolak, bila Alex sudah memaksa, maka mau tidak mau dia akan melaksanakan keinginan itu tanpa membantah. Memikirkan hal itu langsung membuatku berseri-seri.
Sekiranya semua ini sudah direncanakan oleh Tuhan. Diri-Nya yang mengirimkanku satu paket malaikat pencerah hari-hariku. Dan kini aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku satu lagi malaikat lucu yang bisa mengisi hariku dengan senyum indahnya.
"Kenapa sekarang aku merasa Alex selalu ada dipihakmu, Alex. Padahal aku yang selama ini selalu berada disampingnya dan membesarkan dirinya selama 8 tahun. Tetapi malah kau yang dengan mudahnya bisa dekat dan dituruti semua keinginannya oleh Alex." gumam Ulyssa yang sontak membuatku kembali tertawa.
"Bila kau ingin mendapatkan pendukung juga, maka aku sarankan kita hasilkan satu lagi bayi mungil perempuan yang akan menjadi supporter setiamu layaknya Alex. Sorry not sorry kalau misalnya Alex lebih memilihku daripada diriku. Mungkin karena dirinya terlalu banyak membawa gen-ku dalam tubuhnya." ucapku sombong.
"Jangan harap, aku akan dengan mudah terbodohi dengan permintaanmu itu, Diego." marah Ulyssa yang membuatku tersenyum-senyum. Tidak ada salahnya-kan aku mencoba mendapatkan apa yang aku inginkan.
"Ma, Alex pergi mengerjakan PR Alex dulu ya. Habis itu Alex mau main sama kalian." ucap Alex antusias.
"Papa saja ya yang temanin Alex main, Mamanya kasihan masih sakit." sanggahku.
"Mama sakit ya? Mau Alex pelukin biar cepat sembuh? Orang bilang, obat yang paling manjur untuk menyembuhkan penyakit adalah pelukan dari seseorang." imbuh Alex.
"Tidak usah, Alex. Alex-kan baru sembuh. Nanti kalau misalnya dekat-dekat sama Mama takutnya malah penyakitnya nular ke Alex. Lebih baik sekarang Alex belajar sana. Habis itu bisa ajak Papa untuk temenin Alex main. Bagaimana?" ujar Ulyssa memberikan alternatif lain.
"Okay, Ma. Alex pergi dulu ya." ucapnya bergegas pergi.
"Kini tinggal kita berdua. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyaku dengan tatapan mesum.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Diego. Tapi kau jangan terlalu bermimpi kita akan melakukan itu saat ini juga. Masih ada Alex diluar yang bisa kapanpun datang dan melihat perbuatan kita. Aku tidak ingin merusak mata Alex yang masih polos, okay?" jawabnya sambil memutar matanya.
"Ternyata kau sudah tidak sesuci yang aku pikirkan ya, Sya? Aku pikir kau tidak akan pernah menegerti apa yang aku maksud. Tetapi pada kenyataannya, kau sekarang sudah cukup ahli daripada diriku." ledekku yang membuatnya langsung tersipu malu.
"Stop teasing me, Diego!" sahutnya.
"Apa kau serius tidak ingin lagi bekerja dengan diriku?" tanyaku tiba-tiba dan merubah suasana yang sebelumnya terlihat santai dan menyenangkan kini menjadi begitu serius.
Aku sebenarnya tak ingin merusak suasana yang ada. Suasana seperti ini memang jarang sekali aku dapatkan, tapi pertanyaan itu sedari tadi memang ingin sekali aku tanyakan pada Ulyssa. Aku masih ingat dengan perdebatan kita kapan hari dimana dirinya mengatakan tak ingin lagi berurusan dengan diriku. Apa sekarang perasaan itu masih sama? Dirinya tak lagi mau membantuku apalgi untuk melihat wajahku.
Aku ingin selalu berada didekatnya kapanpun dan dimanapun. Jadi menurutku apapun jawabannya nanti akan sangat penting bagi diriku. Terlebih dengan diriku yang tidak rela dia keluar dari pekerjaan ini lalu pergi ke perusahaan lain dan menjadi asisten bos lainnya. Apalagi dia meminta pertolongan pada William lagi? Tidak akan pernah aku biarkan hal itu kembali terjadi.
"Apa yang akan kau lakukan bila aku memang tak lagi ingin bekerja dengan dirimu, Diego?" tanya Ulyssa dengan raut wajah bertanya-tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound to Ex
Romance"Ditempat inilah aku menginginkan suatu permulaan hidup yang baru. Tanpa adanya masa lalu yang terus menghantuiku setiap malamnya. Namun sayangnya takdir menghendaki kita untuk kembali bersama. Disaat aku berusaha untuk pergi menghindar, aku malah d...