Ulyssa's POV
Hari ini benar-benar hari yang meletihkan. Sejak aku menginjakkan kaki di resto, aku sama sekali tidak ada waktu untuk sekedar duduk dan melepas kepenatan. Hari ini Tony memberitahukan bahwa ada 2 pegawaiku yang tidak masuk kerja, ditambah dengan beberapa peralatan yang harus rusak karena terkena air hujan kemarin.
Untung saja semua mesin itu masih bisa diperbaiki jadi aku tidak perlu merogoh kocek lagi untuk membeli mesin baru. Biarpun memang biaya reparasinya tidak terbilang murah karena ada 3 mesin yang rusak sekaligus, tapi daripada membeli baru mesinnya dan mengeluarkan biaya yang lebih besar, jadi aku putuskan untuk memperbaikinya saja.
Dan karena pegawaiku juga tidak masuk hari ini, mau tidak mau aku turut membantu pekerjaku yang lain dengan menjadi pelayan yang menerima pesanan dari pelanggan. Pertamanya, aku berharap pelanggan yang datang tidak terlalu banyak, tapi nyatanya, pelangganku hari ini datang silih berganti. Saat satu pergi, yang lain datang menempati tempatnya. Hal itu terus berlanjut sampai aku harus pergi kesana-kemari untuk menerima pesanan mereka.
Aku tidak tahu apa aku harus bahagia atau tidak dengan banyaknya pelanggan yang datang dan pergi hari ini. Aku senang restaurant-ku bisa ramai pengunjung, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa ini sangat melelahkan. Baik secara fisik dan mental. Karena tidak sedikit juga yang marah-marah karena lambatnya pelayanan yang kuberikan. Aku memang tidak bisa menyalahkan mereka, tapi ini semua diluar kendaliku. Hari ini 2 pegawaiku tidak masuk disaat bersamaan. Dan tentunya aku tidak bisa mengantikan tugas mereka berdua.
Untungnya saja restaurant buka dengan rentang waktu yang singkat. Hanya pada breakfast jam 07.00-09.00, lalu pada lunch jam 11.00-13.00 dan pada dinner jam 18.00- 22.00, jadinya di sela waktu itu aku punya sedikit waktu untuk beristirahat. Akupun akhirnya bisa bernafas lega sedikit saat aku telah berhasil melewati 2 shift kerja restaurant hari ini. Meski begitu, aku tetap harus menyiapkan diri untuk kembali bekerja saat dinner nanti.
Saat aku sedang menikmati waktu santaiku sambil meminum kopi yang dihidangkan oleh pegawaiku, tiba-tiba Iphone 11-ku berbunyi begitu keras yang sontak mengejutkanku. Saat aku melihat identitas dari penelponnya, akupun langsung tersenyum. "Diego pasti sangat merindukanku makanya dia menelponku saat aku mendapatkan waktu luang." pikirku. Aku lalu mengangkat teleponnya sambil berkata, "Halo."
"Sya..... Tolong.... Sakit... Sya..." rintih Diego yang sontak membuat senyumanku memudar.
"Kau kenapa Diego? Apa yang sakit? Kakimu sakit lagi?" tanyaku khawatir.
"Kakiku, Sya. Aku habis terjatuh dari tangga." jawabnya sambil berteriak kesakitan.
"Kenapa bisa kau jatuh? Okay, okay. Aku langsung pulang sekarang." balasku sambil dengan tergesa-gesa mengambil tas dan coat-ku dan bergegas pulang. Tak lupa aku juga memberitahu semua pegawaiku bahwa aku harus pulang terlebih dahulu karena ada urusan.
Aku lalu segera menancapkan akselatorku dengan kecepatan tinggi dan meng-klakson setiap mobil yang menghalangi jalanku. Tidak peduli aku mendapat umpatan dan klaksonan dari berbagai mobil, aku fokus untuk cepat sampai di rumah dan melihat keadaan Diego. Aku benar-benar khawatir sekarang. Aku tahu keadaan kakinya masih belum terlalu sembuh, memang dia sudah bisa berjalan sedikit, tapi dokter masih belum menyatakan bahwa dia telah sembuh total. Masih ada kemungkinan kakinya tiba-tiba tidak bisa bergerak.
Selang 30 menit akhirnya aku bisa sampai di rumah dengan selamat. Aku berterima kasih kepada Tuhan yang tetap menjagaku walau aku telah melanggar semua aturan lalu lintas. Lampu merah aku terobos, bahkan aku menancapkan gas-ku dengan kecepatan 100km/ jam. Hal yang tentunya tidak boleh kita lakukan di jalan raya. Tapi bukan itu yang menjadi fokusku sekarang, yang terpenting adalah aku bisa sampai di rumah dengan cepat.
Setelah memarkirkan mobilku di basement rumah, aku langsung berlari memasuki rumah dan berteriak memanggil nama Diego untuk mencari keberadaan. Namun saat aku sampai di ruang tamu, aku tak melihat keberadaan Diego sama sekali. Padahal ruang tamu berada sangat dekat tangga dan tentunya bila Diego jatuh, dia tidak akan jauh dari ruang tamu.
Akupun lalu mencarinya di dapur, kamarnya Alex, sampai kamar mandi tamu, tapi aku sama sekali tidak menemukannya. Hingga tersisa hanya satu tempat yang belum aku periksa yaitu kamarku dengan Diego. Aku kemudian menuju kesana, dan ternyata yang terjadi sangat di luar dugaanku. Aku sudah berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana bila Diego terluka hingga dirinya harus kehilangan darah saat aku sampai disana? Atau dia yang terbaring pingsan di atas lantai yang dingin karena diriku yang terlalu sampai.
Tenyata, semuanya tidaklah seperti itu. Yang tersuguh di hadapanku adalah lilin yang terpasang di sisi kiri dan kanan kamarku dengan kelopak bunga yang bertebaran di seluruh jalan dan di ujung kamar dekat jendela terlihat Diego yang sudah memakai jas sambil memegang sebuah bucket bunga mawar yang terbungkus rapi dengan kertas hitam dan pita gold dan tersenyum ke arahku. Aku yang masih kalut dan cemas sontak segera melangkahkan kakiku mendekati dirinya dan langsung memeluknya erat.
"Aku pikir kau benar-benar terluka, Diego. Aku takut kalau misalnya aku harus kehilanganmu lagi." racauku sambil menempatkan wajahku di ceruk leher Diego hingga tanpa terasa air mata kekhawatiran mulai bercucuran satu per satu.
"Kau tidak akan kehilanganku lagi, Sya. Aku akan selalu berada disisimu dan takkan pernah melepaskanmu." balas Diego melepas pelukan kita,
"Sya, kau adalah wanita yang tersempurna yang pernah aku temui. Aku tidak pernah berhandai bahwa aku masih diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu dan bersamamu kembali. Aku takkan pernah tahu bagaimana hidupku tanpa dirimu dan aku tak ingin membayangkannya, Sya. Kaulah satu-satunya wanita yang ingin kujadikan istri. Hanya denganmu saja aku mau mengubah status lajangku menjadi menikah. Kisah cinta kita dulu mungkin harus berakhir karena kesalahpahaman."
"Tapi untuk saat ini, aku tidak ingin mengakhiri cerita cinta kita, Sya. Aku menginginkannya terus berlanjut hingga maut memisahkan kita berdua. Aku mau terus merangkai untaian kebahagiaan bersama dirimu. Jadi maukah kau menikah denganku? Menjadi istri sekaligus pendampingku disaat senang dan susah. Menjadi ibu dari anak-anak kita nanti?" tanyanya sambil berlutut dihadapanku dengan sebuah cincin permata yang terukir dengan begitu indah dengan inisial diriku dan Diego.
"Aku tidak bisa menjawabnya sebelum kau bisa mendapatkan restu dari Mamamu, Diego." jawabku sambil tersenyum getir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound to Ex
Roman d'amour"Ditempat inilah aku menginginkan suatu permulaan hidup yang baru. Tanpa adanya masa lalu yang terus menghantuiku setiap malamnya. Namun sayangnya takdir menghendaki kita untuk kembali bersama. Disaat aku berusaha untuk pergi menghindar, aku malah d...