Ulyssa's POV
"Diego rise and shine. Today is our big day. Dan kau perlu bersiap diri untuk pergi bekerja." kataku sambil berusaha memangil Diego bangun.
"5 menit lagi, Sya." sanggah Diego.
"Tidak bisa, Diego. Kau harus mandi. Sekarang bukan waktunya untuk bersantai ria. Kau punya hal yang harus kau selesaikan dan kita perlu gerak cepat sebelum semuanya terlambat. Wake up! Bila kau tidur terus, lama-lama kau bakal mirip seperti babi." ejekku.
"Biarlah aku menjadi babi. Biar kamu bisa lebih sayang sama aku. Daripada sekarang? Sudah jadi pacar, tapi perhatian sama sekali tidak diberikan." ungkap Diego.
"Perhatian apalagi yang kau inginkan, Diego? Aku sudah memusatkan seluruh perhatianku pada dirimu. Hingga aku rela setiap harinya membangunkan dirimu yang sudah hampir sama seperti sleeping beauty. Susah sekali untuk dibangunkan." gerutuku.
"Mana my morning kiss-ku? Mana pelukan hangat yang dulu sering kau berikan saat kita masih pacarana 8 tahun lalu? Terus biasanya kau selalu membangunkanku dengan lembut. Kini semua itu sirna begitu saja. Sekarang kau layaknya nenek lampir kalau sedang berusaha membangunkanku." rengek Diego yang langsung mendapat helaan nafas dariku. Akupun kemudian berbaring di sampingnya, lalu memeluknya sambil berkata, "Wake up, honey. Kau sudah hampir terlambat."
"Mau dicium di bibir dulu baru aku bangun." rengeknya.
"Hell no! Kalau memang kau tidak mau bangun, ya sudah. Aku pergi masak dulu." gertakku karena melihat sikap Diego yang semakin merajalela. Saat aku berjalan pergi meninggalkannya, aku merasakan tanganku digenggam oleh seseorang lalu dirinya berkata, "Jangan pergi! Iya, iya aku bangun. Tapi mandi bareng ya?"
"Aku sudah mandi dari tadi, Diego. Mending kamu sendiri sana mandi. Baumu sudah sangat menyengat hingga membuat kepalaku jadi pusing." sindirku.
"Kalau begitu cuciin saja rambutku ya?!" rengeknya.
"Kenapa hari ini kau manja sekali? Biasanya juga mandi sendiri." balasku.
"Kemarin-kan kamu sudah janji bakal sayang-sayangan dengan aku hari ini. Aku-kan disini cuma menagih janji saja. Tapi yang aku dapat penolakan darimu terus. Ya sudah kalau memang kamu tidak sayang lagi sama aku. Aku cari cewek lain saja yang mau merawatku dengan kasih sayang." tukas Diego merajuk.
Karena aku merasa sedikit bersalah dengan dirinya, akhirnya mau tidak mau akupun menerima permintaannya. Untung saja, kompor sudah kumatikan tadi sebelum kesini. Kalau tadi aku tetap nyalain, bisa-bisa rumah ini ludes termakan api. Melihat diriku yang mengangguk, raut wajah Diego langsung berubah antusias. Diapun segera turun dari tempat tidur dengan bantuan tongkat dan diriku yang memapahnya, lalu dirinya bergegas menuju kamar mandi. Belakangan ini memang fisioterapi yang dijalankan Diego cukup berhasil. Syaraf-syaraf kakinya mulai bisa digerakkan sedikit demi sedikit.
Memang untuk perjalanan yang panjang masih perlu menggunakan kursi roda. Tetapi menurutku ini sebuah perkembangan yang cukup baik, dimana Diego mulai bisa berjalan dengan bantuan tongkat. Ini menunjukkan bahwa sendi dan syaraf kaki Diego berhasil dirangsang dengan terapi. Dengan melihat perkembangan, itu sontak memberikan kami harapan bahwa cepat atau lambat Diego akan bisa berjalan lagi.
Sesampainya kita di kamar mandi. Akupun mengambilkan kursi yang biasa digunakannya untuk mandi, lalu mendudukkan disana. Aku kemudian beranjak mengambil peralatan untuk mencuci rambutnya. Saat setelah aku meraih barang-barang yang aku perlukan, aku lantas berbalik dan pemandangan yang didepanku langsung membuatku membolakan mataku. Diego kini tidak menggunakan apa-apa selain pakaian dalamnya. Kapan dirinya membuka semua bajunya? Kenapa aku tidak menyadari hal itu.
"Apa yang kau lakukan sampai kau telanjang begitu, Diego?" tanyaku teriak.
"Ya apalagi kalau bukan mandi, Sya. Bukankah kalau kita mandi memang harus membuka seluruh baju kita dan telanjang? Apa kau sedang mengajariku cara baru untuk mandi dengan memakai baju?" tanyanya sarkas.
"Tapi kau tidak perlu juga telanjang dihadapanku, Diego. Kau bisa melakukannya setelah nanti aku selesai mencuci rambutmu. Apa kau tidak malu telanjang dihadapanku?" tanyaku lagi.
"Untuk apa malu? Toh kamu sudah lihat semuanya? Malah kau sudah pernah menyentuh dan merasakannya ini semua. Kalau tidak, mana mungkin Alex bisa terlahir ke dunia?" balasnya yang sontak menyebabkan pipiku memerah.
"Tapi tidak begitu juga....." bantahku.
"Sudah, Sya. Apa kita akan terus berdebat begini hanya untuk urusan pakai-memakai baju? Lagipula aku tidak benar-benar telanjang 100%. AKu masih mengenakan pakaian dalam, okay? Kecuali kau ingin melihatnya, aku akan dengan sukarela menunjukkannya pada dirimu." ledek Diego yang langsung membuatku menutup wajahku dengan kedua tanganku.
"Jangan lakukan itu, Diego!" sahutku yang mendapat kekehan dari Diego.
"Makanya kerjakan tugasmu atau kau mau aku membuatmu tidak bisa berjalan selama 1 minggu disini?" candanya.
"Hentikan pikiran vulgarmu itu, Diego! 8 tahun benar-benar telah mengubah seluruh kepribadianmu menjadi orang mesum!" hinaku.
"Tidak masalah. Lagipula yang aku mesumin juga calon istri sendiri." ledeknya.
"Diego!" bentakku.
"Okay, okay. Aku hanya bercanda saja. Kalau mau itu terealisasikan-pun, aku juga tidak masalah." candanya lagi.
"Mimpi jangan terlalu ketinggian di pagi hari." sindirku berusaha untuk tak terpengaruh oleh ucapannya padahal sebenarnya aku sudah sangat tersipu malu. Aku kemudian memfokuskan diriku untuk mencuci rambut Diego. Pertama-tama, aku membasahinya dengan air hangat, lalu sedikit mengurut kepalanya berharap hal itu bisa sedikit berhasil merilekskan dirinya. Aku merasakan betapa lembutnya rambut Diego hingga membuatku tak bisa melepakan tanganku dari rambutnya.
"Aku tahu rambutku bagus, tapi jangan dipegang terus begitu. Nanti kalau aku botak, bagaimana?" canda Diego yang langsung mendapat pukulan pada perutnya oleh diriku.
"Kau ingin shampoo rasa apa? Apa kau tidak masalah menggunakan shampoo milikku?" tanyaku sambil mengambil shampoo yang biasa aku gunakan.
"Tentu saja. Aku ingin aromamu terus berada pada diriku sepanjang hari ini." gombalnya sedikit mesum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound to Ex
Romance"Ditempat inilah aku menginginkan suatu permulaan hidup yang baru. Tanpa adanya masa lalu yang terus menghantuiku setiap malamnya. Namun sayangnya takdir menghendaki kita untuk kembali bersama. Disaat aku berusaha untuk pergi menghindar, aku malah d...