Tiga Puluh Enam

2.5K 121 46
                                    

Assalamu'alaikum

[Ketika Kau Hadirkan Dia| Tiga Puluh Enam]

Happy Reading. ❤

***

Hara tengah berada di butik saat ayahnya menelepon dan mengatakan bahwa beliau akan main ke rumah, datang bersama dengan Ibu. Sungguh, hal itu membuat Hara panik bukan main. Pasalnya Rayya masih ada di sana, satu atap dengan dia dan Mas Dzakki.

Apa yang ada dalam pikiran Ayah nanti?

Berkali-kali dia mencoba menghubungi Mas Dzakki, tetapi tidak diangkat oleh laki-laki itu.

"Yah Allah, bagaimana ini?"

Dengan panik, Hara meraih tas tangannya dan melangkah ke luar. Mengabaikan tatapan heran para karyawannya. Namun, sebelum menghilang di balik pintu kaca, dia berbalik. "Agreea, tolong nanti cek berkas saya di ruang kerja. Oh ya, saya pulang duluan ya. Kuncinya siapa aja yang pegang nanti tinggal info saya lewat WhatsApp. Oke?"

Tanpa menunggu Agreea atau karyawan yang lain mengangguk, Hara sudah lebih dulu melangkah. Pikirannya sudah melayang jauh. Bagaimana jika Ayah sampai tahu? Hara tidak ingin rumah tangga yang dibinanya dengan penuh kesabaran hancur begitu saja. Ada begitu banyak keikhlasan yang telah dia relakan. Ada airmata yang beberapa kali tumpah ke pipinya. Ada begitu banyak doa yang sering diucapnya.

Untunglah begitu sampai di halte, sebuah taksi melintas. Sehingga Hara bisa lebih cepat sampai ke rumah. Dengan terburu dia melangkah masuk setelah Pak Satpam membukakan pintu gerbang. Bahkan dia sama sekali tidak membalas sapaan lelaki paruh baya itu.

Rasanya jantung Hara seperti akan keluar dari rongga dada. Dan langkahnya terhenti ketika dia melihat ibunya tengah duduk dengan Rayya di sofa. Ya Allah, sekarang kaki Hara sudah seperti jel rasanya. Perempuan itu mengukir senyum tipis.

"Assalamu'alaikum," sapanya kepada dua orang yang tengah duduk. "Bunda sudah lama datang?" Dengan ragu dia bertanya. Mencoba bersikap biasa saja supaya sang Ibu tidak curiga.

"Wa'alaikumsalam." Ibunya segera bangkit berdiri, memeluk putrinya dengan erat. "Bunda bawain oleh-oleh untuk kamu. Kurma, minyak zaitun dan air zam-zam. Dapat dari Paman yang baru pulang haji." Wanita paruh baya itu mengukir senyum.

Hara hanya membalasnya dengan anggukan kecil. So, apa yang harus dilakukannya sekarang? Terus menebak-nebak. Padahal dirinya sama sekali bukan cenayang. Sulit untuk membaca pikiran ibunya saat ini setelah melihat Rayya.

"Ayah  .... "

"Ayah kamu pulang. Tadi di jalan sempat ada yang telepon. Terus langsung putar arah. Bunda naik taksi ke sini."

Oh, begitu. Tanpa disadari Hara mengembuskan napas pelan. Lega. Yah, sedikit lega rasanya.

"Oh iya, Bunda kenalin itu Rayya." Meskipun di dalam hati dia gelisah, tetapi rasanya tidak sopan jika tidak mengenalkan keduanya. "Dia anaknya Bos Mas Dzakki waktu dulu. Ayah pasti kenal dengan mendiang almarhum Pak Muntaz," sambungnya.

Ibunya mengangguk seraya mengukir senyum. Tidak mengatakan apa pun.

Dan  ... sekali lagi Hara mengembuskan napas tanpa sadar. Lalu dia pamit untuk ke belakang sebentar. Hara melangkah menuju dispenser. Mengambil air minum, membasahi tenggorokan yang terasa kering.

"Ada yang ingin kamu ceritakan kepada Bunda?"

Suara itu membuat Hara tekejut dan hampir tersedak air. Namun, tidak lama setelahnya dia membalikkan tubuh dan melihat ibunya sudah berdiri tepat di depannya. Sorot mata wanita paruh baya itu sangat lembut. Penuh keibuan.

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang