Assalamu'alaikum
[Ketika Kau Hadirkan Dia| Dua Puluh Satu]
Happy Reading. ❤
***
Ponselnya terus bergetar sejak tadi, tetapi Rayya malas untuk meraihnya. Dia tengah bergelung dengan nyaman di dalam selimut. Sampai pada getaran ketiga, akhirnya Rayya mendengkus dan meraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas itu. Menempelkannya ke telinga dengan wajah malas. "Halo ... " Suaranya terdengar serak, Rayya segera berdeham. Lalu mengulang kalimat yang sama tanpa semangat.
"Rayya?" Satu kata, tetapi berhasil membuat Rayya mematung di tempat. Suara familiar itu, dia menggertakkan gigi. Tanpa sadar sebutir air mata mengalir ke pipi. "Gue ... lo nggak apa-apa?"
Rayya memejamkan mata. Mengembuskan napas. Dia mengusap cairan bening itu dan berusaha untuk baik-baik saja. "Ada apa, Sebastian?" Tidak ada getar dalam suaranya. Perempuan itu berusaha untuk tegar. Sekarang, semuanya sudah baik. Rayya tidak perlu menaruh dendam pada mereka.
"Gue pengen ketemu lo, Ray," kata suara itu lagi. "Gue mohon lo share lokasi sekarang, ya."
"Maaf, aku nggak bisa." Rayya menarik selimut, membungkus tubuhnya lebih erat. "Aku minta kamu hapus nomor aku sekarang. Tolong jangan ganggu aku lagi. Aku mohon," sambungnya.
"Tapi gue mau jelasin sesuatu ke lo." Suara itu terdengar lagi, kali ini dengan nada ditekan. "Ray, gue sama sekali nggak bermaksud ... gue bahkan udah sayang sama lo semenjak kita ketemu." Sunyi sejenak, hanya terdengar detak jarum jam di dinding kamar. "Gue ... gue jatuh cinta sama lo."
Tanpa berpikir panjang, Rayya segera memutus panggilan itu. Dia melempar ponselnya ke sisi kasur dan menarik selimut hingga menutupi wajah. Tidak peduli dengan suara ponselnya yang memanggil-manggil ingin diangkat. Semuanya sudah cukup. Rayya ingin menutup buku lamanya yang sangat kotor dan membuka lembar baru.
Hingga pada dering ke sembilan, ponsel itu pun diam. Dan Rayya terisak pelan. Bayangan kejadian pada malam itu, membuat kekuatannya mencair. Saat Kirana menekan wajahnya dengan kuat. Kalimat yang diucapkan olehnya sangat melukai hati Rayya. Juga saat nama Sebastian turut terlibat. Dan puncaknya, saat Agam menarik tubuhnya ... Rayya ingin dunia runtuh saat itu juga. Dia berharap esok tidak lagi bernapas.
***
"Demi apa?!" Suara Rizka menggema. Wanita itu sangat terkejut mendengar penuturan Hara. Untungnya suasana sangat sepi. Semilir angin meniup rambut mereka. Seharusnya suara alam bisa menyejukan perasaan Hara sekarang, tetapi nyatanya nihil. Rasa perih itu masih sangat terasa. "Aku turut prihatin atas kejadian ini, Ra."
Mengembuskan napas pelan, Hara mengangguk. "Meskipun sebelumnya memang aku yang meminta, tetapi rasa sakitnya tidak menghilang." Perempuan itu mengusap airmata yang mengalir ke pipi, membiarkan angin membelai wajahnya. "Aku ... aku cuma nggak tahu mau melakukan apa sekarang. Semua kewajibanku sebagai seorang istri sudah terbagi. Mas Dzakki bisa mendapatkan semuanya dari Rayya."
"Apakah dia bisa mendapatkan ketulusan dan cinta dari Rayya?"
"Allah Maha Membolak-balikan hati." Hara menoleh sahabatnya, yang menatap penuh ke arahnya seraya mendengarkan. "Mereka akan sering bertemu setelah ini. Menghabiskan waktu bersama. Aku yakin, cepat atau lambat perasaan itu pasti akan muncul."
Rizka sekarang yang mengembuskan napas. "Aku akan menemani kamu seharian ini, Ra." Mengulas senyum tipis, Rizka meraih telapak tangan Hara dan menggenggamnya erat. "Kalau kamu mau menginap di villa untuk menenangkan pikiran, aku akan telepon suamiku untuk minta izin."
Hara menatap Rizka, mengucapkan terima kasih tanpa suara. Ponselnya berdering pelan, Hara mengeluarkan benda itu dari dalam tas dan menemukan nama suaminya tertera pada layar. Sungguh dia sedang tidak ingin berbicara dengan laki-laki itu. Lukanya masih sangat basah. Hara membiarkan layarnya terus menyala, hingga akhirnya deringan itu berhenti dengan segera dia pun mematikan ponselnya. Biarlah untuk kini Hara berteman dengan sepi dan ... lukanya.
Tahu dari siapa panggilan itu berasal, Rizka memutuskan untuk tidak bertanya. Dia malah mengulas senyum tipis dan berkata, "Kamu sudah makan belum, Hara?" Mendapati sahabatnya menggeleng, Rizka mencubit bahunya dengan pelan dan mengajaknya berdiri. "Ayo kita cari makanan," katanya, menarik lengan Hara.
Pilihan mereka jatuh pada sebuah restoran kecil dengan gaya klasik. Mereka memutuskan untuk berpetualang. Menghabiskan waktu bersama seperti masa remaja dulu. Hara baru sadar, bahwa ternyata masa remajanya lebih menyenangkan daripada sekarang. Dulu mereka sering pergi ke luar, mencari tempat wisata. Mencoba berbagai wahana. Mencicipi aneka macam kuliner yang memanjakan lidah. Mungkin, inilah salah satu hikmah di balik cobaan itu.
"Aku ke toilet sebentar." Setelah meletakkan sendok dan garpu, Hara berdiri seraya merapikan gamisnya. Rizka hanya mengangguk.
Hara mencuci telapak tangannya di wastafel. Nafsu makannya menguap. Rasanya semua makanan itu hambar. Bahkan sekarang dia merasakan bahwa airmatanya kembali menetes. Namun, Hara memutuskan untuk segera mengapusnya. Dia melangkah dari toilet dengan cepat karena takut Rizka mencarinya sebab terlalu lama pergi. Selama berjalan, Hara memutuskan untuk menundukkan kepala demi menghindari tatapan orang di sekitar.
Mendadak seseorang menabrak tubuhnya, membuat Hara terdorong ke belakang. Namun, untunglah laki-laki itu dengan sigap meraih tubuhnya. Sampai kemudian Hara tersadar dan menjauhkan tubuh. Dia segera menundukkan kepala. Mengucapkan maaf beberapa kali seraya membungkuk.
Namun, sebuah sentuhan hangat hinggap di bahu. Hara memutuskan untuk mengangkat kepala, mendapati Brahma tengah berdiri di hadapannya sekarang. Ada senyum tipis di bibir laki-laki saat tahu siapa perempuan yang ditabraknya. Hara sendiri hanya tersenyum canggung. Mereka baru bertemu lagi sekarang setelah insiden mobil mogok itu. Hara bahkan belum sempat berkata terima kasih secara langsung sebab yang mengantar mobilnya pulang adalah montir.
"Kamu ... habis menangis?" Senyum di wajah Brahma lenyap, laki-laki itu terlihat serius sekali. "Ada masalah apa, Hara?" sambungnya. Dia bahkan memajukkan wajah untuk melihat Hara dengan lebih jelas.
Hara kembali menundukkan kepala, memutus pandangan di antara mereka. Tanpa perlu merasa menjawab pertanyaan dari Brahma, dia pergi begitu saja. Sebaiknya memang tidak perlu ada yang tahu masalah ini. Dan bagaimana pun, seorang istri yang baik tidak boleh membicarakan suaminya sendiri kepada orang lain. Brahma adalah orang lain dalam hidupnya.
"Hara?" Panggil Brahma lagi. Bahkan terdengar langkah kaki. Sepertinya laki-laki itu mengejar Hara. "Bisakah kita berbicara sebentar? Aku minta maaf apabila sudah bersikap lancang sebab ingin tahu tentang privasi dirimu." Dengan pelan dia melanjutkan ucapannya.
Hara masih enggan menjawab. Langkahnya pun masih enggan berhenti. Sampai beberapa orang menatap ke arah mereka. Hara sendiri tidak peduli, perasaannya terlalu kusut untuk sekadar memperhatikan orang lain. Dia mengembuskan napas lagi dan melangkah dengan cepat. Saat Rizka menatapnya dengan tanda tanya, Hara segera meraih tas tangan dan menarik sahabatnya itu untuk berdiri.
Mereka melangkah menuju kasir.
***
Panda
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Kau Hadirkan Dia
Roman d'amourNamanya Hara Azzahra, perempuan cantik nan shalehah yang rela melepas tawaran bekerja keluar negeri saat melihat keseriusan seorang laki-laki. Sebab bagi Hara, kodrat seorang istri lebih baik di rumah. Laki-laki itu bernama Dzakki Asla Muyassar. Dia...