Tiga Puluh Tujuh

2.6K 148 58
                                    

Assalamu'alaikum

[Ketika Kau Hadirkan Dia| Tiga Puluh Tujuh]

Happy Reading❤

***


Hara merasa sedikit lega sebab ibunya berkata bahwa beliau tidak akan mengatakan apa pun kepada Ayah. Hara tidak bisa membayangkan jika ayahnya sampai tahu perihal pernikahannya yang sangat toxic ini.

Pukul enam sore, Mas Dzakki pulang. Namun, anehnya Rayya sama sekali tidak terlihat sejak tadi. Entah mengapa perempuan itu mengurung dirinya di dalam kamar.

"Mas mau makan dulu atau mandi?" tanya Hara seraya membukakan dasi.

"Saya mau bicara sama kamu, Ra." Dzakki malah menatapnya dengan serius.

Membuat Hara menahan napasnya sejenak.

"Ra, saya ingin kamu berhenti ke butik dulu. Saya nggak mau kamu terlalu capek."

Saat itu, telapak tangan Hara berhenti bergerak. Bola matanya fokus menatap sang suami.

"Mas tahu usaha butik itu memang hasil kerja keras kamu selama ini. Membuat gaun memang hobi kamu. Oke, Mas nggak masalah selama ini. Tapi ... Mas rasa cukup Mas saja yang sibuk kerja sedangkan kamu di rumah."

"Mas?" Hara ingat, memang beberapa kali suaminya itu memintanya untuk berhenti bekerja. Hara sudah berhenti mengelola Blog, tetapi untuk butik selama ini masih sulit untuk dia lepaskan. "Aku rasa, aku bisa dapatkan kebahagiaanku di sana. Mendesain baju, membuat pola dan ... yah, menjahitnya. Aku senang dengan itu semua."

"Kamu tidak mau fokus promil, Ra?"

Tentu Hara tertegun. Untuk pertama kalinya Mas Dzakki mulai serius membahas masalah ini. Yang Hara tahu, selama ini Mas Dzakki selalu berusaha untuk tidak mengungkit-ungkitnya karena tidak mau melukai perasaan istrinya. Dan sekarang ... apakah sudah berada di titik bahwa laki-laki itu sangat merindukan penerus jabatannya lahir ke dunia?

"Mas tidak akan memaksa, Ra."

Dan selalu begitu. Bahkan Hara sendiri bingung harus bersikap bagaimana.

"Mas tidak mau kamu merasa terbebani."

Tepat saat itu, pintu masuk rumah mereka terbuka. Sosok yang paling disegani oleh Hara muncul, tetapi sorot matanya tampak berbeda. Di belakang, ibunya menatap Hara dengan sedih. Hingga Hara mengangkat alis, mencoba bertanya kepada ibunya dengan bahasa tubuh.

"Assalamu'alaikum, Ayah," salam Hara tidak dijawab oleh Ayah, tetapi laki-laki itu membiarkan telapak tangannya dicium oleh putrinya. Namun, ketika menantunya yang ingin bersalaman, segera ditepis dengan kasar. "Dimana wanita simpanan kamu itu?!" teriak Ayah dengan wajah memerah.

Ibu segera mendekati Hara, memeluknya dengan erat. "Demi Allah, Bunda tidak mengatakan apa pun kepada Ayah, Nak," bisiknya.

Sementara Ayah mencekal kerah kemeja Dzakki dengan kuat. "Berani kau berkhianat dari purtriku! Kutanya dimana wanita simpanan itu?!"

Dzakki hanya diam. Bahkan laki-laki itu pasrah saat pelipisnya dihantam oleh mertuanya. Dia tahu bahwa rasa sakit yang baru saja didapatnya tidak sebanding dengan rasa sakit yang ditahan oleh Hara selama ini. Meskipun perempuan itu selalu mengatakan baik-baik saja, bahkan pernah menyuruhnya untuk menikahi Rayya waktu itu.

"Dasar menantu tidak tahu diri?!" Ayah melayangkan pukulan sekali lagi. Sampai Hara menjerit, meminta ayahnya untuk berhenti, tetapi tidak didengar sama sekali. Ayahnya sudah lepas kendali sekarang.

Mendengar suara keributan, Rayya keluar dari kamar dan melangkah turun ke tangga. Sosoknya segera membuat pukulan Ayah terhenti, segera mengalihkan pandangan ke arah perempuan yang sekarang tengah berdiri di tangga dengan raut wajah terkejut.

"Apakah dia wanita simpananmu itu?!" Suara Ayah kembali menggelegar.

Sudut bibir Dzakki sobek, mengalirkan darah di sana. Ayah mertuanya benar-benar sangat marah.

Mendapati semua mata menatap ke arahnya, bahkan salah seorang dari mereka mengarahkan jemari telunjuk ke arahnya, Rayya tergugu di tempat. Perasaan takut segera membanjiri dirinya. Apakah itu orang tua Mba Hara? Rayya sungguh takut bahwa hal ini akan terjadi. Mimpi buruknya kembali tiba.

Dzakki sendiri diam, tidak mengatakan apa pun.

"Ayah, tolong maafkan mereka." Hara melangkah mendekati ayahnya, bersimpuh memeluk kaki seorang laki-laki yang paling disayanginya selama ini. Airmatanya sudah tidak bisa dibendung.

"Aku bisa jelasin semuanya ke Ayah." Melihat ayahnya hanya diam. Hara berdiri perlahan. Dia mengusap airmata dan kembali berkata, "Jadi Rayya itu anak yatim-piatu. Awalnya dia hanya nggak punya Ibu, sampai kemudian ayahnya juga pergi. Dia sangat rapuh karena merasa nggak punya siapa-siapa. Ditambah masalah percintaan yang menyakitkan." Kalimat itu terhenti

Suasana hening. Rayya yang berada beberapa meter dari mereka menggigit bibir bawahnya. Menahan isak. Ibunya menatap sedih ke arah sang putri. Sedangkan Dzakki menatap istrinya dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Pacarnya menghamili sabahat dekat Rayya sendiri." Hara berbicara lagi. "Hingga sahabatnya itu bunuh diri karena merasa dunianya hancur. Setelahnya, Rayya sangat terpukul. Dia beberapa kali mencoba bunuh diri. Dan Mas Dzakki berhasil mencegahnya. Namun, dengan syarat bahwa Mas Dzakki harus menikahinya. Ayah, suamiku bahkan waktu itu menolaknya."

"Tidak sampai di situ, mantan pacarnya meneror Rayya dengan kekasih barunya. Mereka menculik gadis itu. Lalu, si mantan pacarnya bahkan ... melecehkan Rayya. Dia pasti sangat terpuruk Ayah. Dia benar-benar merasa tidak berharga."

Rayya tahu, bahwa dirinya tidak akan pernah menemukan perempuan yang lebih baik dari Mba Hara. Perempuan itu sangat lembut hatinya.

"Tapi pernikahan tetap bukan jalan keluarnya!" Rupanya Ayah masih tetap tidak terima. "Dulu dia yang memintamu dari Ayah. Dan sejak hari itu Ayah menyerahkan semua tanggungjawab ke pundaknya, termasuk membuatmu bahagia."

"Aku yakin Allah tidak akan tidur, Ayah."

Ayahnya menjauhkan tubuh sang putri, menatap menantunya. "Ceraikan wanita itu atau kau akan kehilangan putriku?!" katanya dengan nada tegas.

"Jangan!" Untuk pertama kalinya Dzakki bersuara lagi. "Saya sangat mencintai Hara, Ayah. Saya mohon jangan jauhkan saya dengan dia," sambungnya.

Hara diam. Hanya menatap suaminya yang sudah mulai menangis, meskipun laki-laki itu berusaha keras menutupinya.

Rayya melangkah pelan mendekati mereka. "Boleh aku mengatakan sesuatu?" Namun, pertanyaannya itu sama sekali tidak dijawab. Bahkan seorang laki-laki paruh baya yang sedang ditatapnya itu tidak mau menoleh ke arahnya. "Sebenarnya ... sekarang saya sedang hamil."

Dan ... perkataan itu mengejutkan mereka semua. Tidak terkecuali Hara yang segera menutup mulut dengan telapak tangan. Sedih sekaligus haru. Sedangkan Dzakki menatap dengan tidak percaya. Mengapa bukan Hara yang hamil?

Ayahnya terkekeh sumbang. "Ayo pergi dari sini, Ra!" ucapnya kepada sang putri. "Ayah tidak sudi menginjakkan kaki di rumah ini!" sambungnya. Laki-laki itu menarik Hara untuk keluar, meskipun putrinya itu memberontak.

"Aku nggak mau pergi, Ayah."

Kalimat itu seolah angin lalu. Tidak didengar sama sekali oleh ayahnya.

Ibu manatap putrinya, mencoba menenangkan. "Turuti saja perkataan Ayah, Nak," bisiknya seraya mengusap puncak kepala Hara dengan lembut.

***

Selamat hari Minggu.
Semoga bahagia untuk kita semua.
Sehat-sehat yah.

Sayang kalian.
Luv❤

Salam,
Panda❤

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang