Empat Puluh Dua

3.1K 123 33
                                    

Assalamu'alaikum

[Ketika Kau Hadirkan Dia| Empat Puluh Dua]

Happy Reading❤❤

***

Kepalanya masih terasa berat saat Hara terbangun. Entah kejadian apa yang baru saja menimpanya. Hara tidak ingat. Yang dia tahu sekarang dirinya terbangun di sebuah ruangan bernuansa putih. Perempuan itu memegang kepalanya. Menoleh ke arah pintu dan mendapati sang Ibu di sana. Namun, ada hal lain yang berhasil membuat dirinya mematung. Di sana, ada Brahma. Laki-laki itu bahkan melempar senyum ke arahnya.

"Bunda tinggal sebentar. Brahma, tolong jaga Hara." Ibunya pergi. Meninggalkan mereka berdua.

Kesunyian membungkus. Belum ada yang mau membuka mulut untuk memulai percakapan. Seolah-seolah, keduanya merasa sungkan untuk melakukan. Padahal sebelumnya Brahma merasa sangat antusias bertemu dengan perempuan itu.

Hingga  ..., "Keluar, yuk. Kita lihat pemandangan dari balkon. Aku nggak enak sama orangtua kamu kalau kita berdua di dalam ruangan tertutup."

Hara mengukir senyum. Brahma sudah berubah. Laki-laki itu tidak lagi menaruh dendam. Tidak ada lagi emosi karena harga dirinya yang terluka hari itu. Dan Hara merasa bersyukur karenanya. Perempuan itu mengangguk. Melangkah pelan keluar dari ruangan. Mendahului Brahma yang mempersilakan dirinya lebih dahulu.

"Ke balkon bagian barat saja." Brahma memberi komando. Laki-laki itu mengekor Hara. "Angin sedang bersahabat malam ini, bukan?" Sekarang dia tersenyum.

Hara mengangguk. Membenarkan ucapan itu. Dia menatap langit dengan taburan bintang yang kini tampak indah. Dan  ... kapan terakhir kali dirinya melakukan hal ini? Menikmati hidup dengan lupa akan beberapa kesedihan yang datang. Perempuan itu lantas memejamkan kelopak mata, menarik napas dalam-dalam. Menikmati suasana malam yang temaram.

"Ra?" Brahma memanggilnya tanpa aba-aba. "Sejak kapan pernikahanmu tidak lagi membawa bahagia?" Laki-laki itu menatap dengan serius.

Kini, Hara mematung. Kelopak matanya sudah kembali terbuka. Namun, mulutnya enggan melakukan hal yang sama. Perempuan itu diam. Membisu.

***

Sebagian hati kecil Rayya merasa gelisah, sementara sebagian lagi dia sangat sedih. Bahkan kuliah pun dia tidak semangat. Perempuan itu memutuskan untuk pergi ke rooftop seorang diri. Berdiri di sana memandang langit yang mulai mengguratkan cahaya oranye di tubuhnya. Sore itu, rooftop sepi. Rayya hanya berteman dengan angin dan langit. Mereka menjadi saksi bisu saat bulir airmata mengalir pelan ke pipi perempuan itu. Satu tetes. Dua tetes. Hingga kian menderas.

Mungkin, bukan hidup yang terlalu berat. Namun, kita yang tidak siap untuk menghadapinya. Kita yang tidak mau belajar, bahwa suatu saat akan kehilangan banyak orang. Seharusnya kita sadar bahwa mau tidak mau, siap tidak siap, hidup akan kita hadapi sendiri. Itulah yang Rayya rasakan sekarang. Selama ini, dirinya hanya terfokus pada hal yang menyenangkan dalam hidup. Supaya dia bisa melupakan kesedihan tanpa seorang Ibu. Hingga akhirnya, dia lupa tanggungjawab untuk mengasah mental.

Hingga, setiap kesedihan yang hadir. Rayya akan selalu larut di dalamnya. Menyeret orang lain untuk masuk ke pusara yang sama. Pusara yang menarik dirinya dalam kegelapan dan rasa kecewa yang teramat sangat. Mungkin, selama ini, dia terlalu egois.

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang