Dua Puluh Dua

2K 100 3
                                    

Assalamu'alaikum
[Ketika Kau Hadrikan Dia| Dua Puluh Dua]

Happy Reading. ❤

***


Dzakki mengembuskan napas dengan gusar, usahanya tidak berhasil sama sekali. Bahkan sekarang ponsel perempuan itu malah tidak aktif. Dengan perasaan tidak nyaman, laki-laki itu memutar kursinya mengarah ke balkon dan menatap langit yang mulai menggunakan warna oranye pada tubuhnya. Di bawah sana, lalu lalang kendaraan terlihat.

Sekarang dia tengah berada di ruang kerja Pak Muntaz, meninggalkan Rayya yang mungkin tengah bergelung di balik selimutnya. Setidaknya perut perempuan muda itu sudah terisi tadi. Dzakki tidak perlu merasa khawatir lagi, sekarang dia hanya ingin menuntaskan perasaan rindunya kepada Hara. Sungguh, perasaan seperti ini ternyata sangat menyiksa. Dzakki mengembuskan napas lagi, menaruh ponselnya ke atas meja dan bangkit berdiri.

Ruangan itu cukup luas. Dulu Dzakki memang pernah beberapa kali masuk ke sini, berbicara dengan Pak Muntaz perihal pekerjaan. Masih sama seperti dulu. Tempat ini masih terasa nyaman. Bahkan barang-barang yang ada di tempat ini tertata dengan sangat baik. Sama persis seperti saat ada penghuninya.

"Apakah kamu tahu? Saya punya seorang putri," kata Pak Muntaz saat itu ketika Dzakki mulai menyeruput kopi hitam yang dihidangkan. "Dia sangat manis dan baik. Saya menyayanginya, sangat menyayangi melebihi nyawa saya sendiri."

Sementara saat itu Dzakki hanya mendengarkan. Bahkan saat Pak Muntaz memperlihatkan foto Rayya, laki-laki itu hanya mengulas senyum. Sungguh hatinya sudah terpaut dengan satu Hawa. Dan Dzakki sudah bertekad untuk bisa mendapatkannya. Bagaimana pun, hanya perempuan itu yang sudah mengisi relung hatinya sejak lama. Perempuan manis yang selalu ramah kepada siapa pun.

Dan ... perempuan itu yang memiliki bola mata paling indah di seantero kampus.

"Dia akan kembali ke Indonesia." Pak Muntaz kembali berbicara. "Saya memintanya untuk tinggal di sini. Lebih baik dia melanjutkan studinya di Indonesia," sambungnya. Beliau tersenyum singkat sebelum kembali berbicara, "Setidaknya, saya sudah mewujudkan impiannya. Rayya sangat ingin sekolah di luar negeri."

Dzakki mengembuskan napas, dulu mereka memang sangat dekat. Bahkan Pak Muntaz sudah beberapa kali mengatakan bahwa beliau telah menganggap Dzakki sebagai putranya sendiri. Laki-laki itu lalu memutuskan untuk keluar dari ruangan. Melangkah menuju kamar Rayya dan menemukan bahwa perempuan itu tengan tidur di balik selimut. Namun, ponselnya malah bergetar berkali-kali. Dzakki mendekati benda itu, melihat sebuah nama terukir pada layar; Sebastian.

Tepat saat itu, Rayya menggeliat dan bangun. Perempuan itu melirik ponselnya yang bergetar dan segera menyembunyikan benda itu. Rayya mengukir senyum dan memandang Dzakki. "Apakah kamu tidak mau istirahat, Mas?" Rayya menepuk sisi kasur di sebelahnya. "Tidurlah. Kamu pasti capai sekali. Biar aku buatkan teh hangat untukmu." Dia mendorong selimut untuk menjauh dan melangkah dengan cepat keluar dari kamar.

Entah apa yang disembunyikan oleh istrinya, Dzakki lebih memilih duduk di kasur. Sementara Rayya sudah melangkah ke tangga. Dia mengembuskan napas sebelum menekan layar ponsel. "Apa yang perlu dibicarakan lagi?" tanya perempuan itu. "Aku tidak ingin mendengar apa pun sekarang. Tolonglah berhenti untuk ganggu aku. Biarkan aku melupakan semuanya."

"Ray ..." Suara Sebastian terdengar. "Sekarang Agam dan Kirana ditahan oleh polisi. Jika gue memang terlibat dengan kejahatan ini, pasti gue juga ikut ditahan. Namun, kenyataannya nggak, kan? Gue benar-benar nggak ikut campur, Ray."

Rayya diam, duduk di anak tangga dengan pandangan mata kosong. Bibirnya tidak lagi mengeluarkan suara dan kalimat. Tidak, dia memang perlu mendengarkan apa yang terjadi sebenarnya. Meskipun lidahnya menolak, tetapi hatinya merasa ingin tahu.

"Tapi ... gue memang udah tahu rencana mereka. Gue tahu, iya. Oleh sebab itu gue melarang lo berkali-kali untuk datang, kan?" Sebastian berbicara lagi. "Kenapa gue nggak bilang ke lo kalau gue udah tahu rencana ini sebelumnya? Percuma gue bilang, sebab lo tetap akan pergi. Lo terlalu lugu, Ray. Selain itu, ada hal lain yang gue takutkan. Gue takut kalau lo tahu bahwa gue ini sepupu Kirana. Gue takut lo menjauhi gue."

"Bastian," lirih Rayya mengatakan itu. "Tolong berhenti mengutarakan fakta bahwa kamu sebenarnya menyukaiku. Itu sangat mustahil. Sebab kita bahkan baru kenal. Dan aku minta kamu untuk lupain aku sekarang."

"Gue memang jatuh cinta sama lo," sahut Sebastian dengan ringan. "Dan ... gue benci bangat dengan Agam saat tahu apa yang udah dia lakukan terhadap lo. Sekarang wajahnya babak belur karena gue. Mungkin, seandainya nggak ada polisi, gue udah habisin dia sejak kemarin."

Rayya memutuskan untuk mengakhiri panggilan itu secara sepihak. Dia mengembuskan napas berkali-kali. Ponselnya tentu bergetar lagi, tetapi Rayya mengabaikannya. Perempuan itu segera mematikan benda tersebut dan menyurukkannya ke dalam saku piyama. Rayya melangkah ke dapur. Seperti perkataannya tadi, dia akan membuatkan teh untuk suaminya.

Iya. Untuk suaminya.

***

"Berapa totalnya? Biar saya yang membayar." Brahma menyela ucapan Hara. Laki-laki itu sudah mengeluarkan dompet dari sakunya, ada kartu di sana. Saat Hara berusaha untuk meraih kartu itu, Brahma menyerahkannya dengan cepat kepada si pelayan. Sedangkan Rizka berdiri di belakang mereka dengan tatapan heran.

Hara mengembuskan napas, kesal melihat wajah Brahma yang tampak bahagia sebab telah berhasil membayarkan makanan. "Aku akan ganti nanti," kata perempuan itu, lalu menarik lengan Rizka dan membawanya bersama untuk melangkah.

"Aku bisa mengantar kalian untuk pulang." Brahma mengabaikan kalimat Hara. Sekarang laki-laki itu melangkah di sebelah Hara, sesekali melirik perempuan yang masih berhasil membuat jantungnya berdebar itu. "Dengan senang hati aku akan memberikan tumpangan. Sepertinya kalian juga kelelahan."

Namun, Hara mengabaikannya. Perempuan itu terus melangkah tanpa menoleh sedikit pun. Rizka yang justru sempat melirik nya dan menaikkan alis dengan bingung. Sampai saat ini belum ada suara yang keluar dari mulut perempuan itu.

"Sekarang sudah cukup malam. Ah, sepertinya sebentar lagi juga akan turun hujan." Laki-laki itu menatap ke langit dan berkata, "Lihatlah ke atas. Awannya sudah mendung." Setelahnya kembali melirik perempuan yang berdiri di sebelahnya.

Sungguh, perempuan itu memiliki bola mata yang sangat indah. Yang dulu hingga sekarang berhasil membuatnya tenggelam.

"Aku berjanji akan mengantarkan kalian dengan selamat." Brahma masih berusaha membujuk. Sekarang laki-laki itu melipat kedua lengan di depan dada. Mereka sudah berada di halte. "Baiklah, aku akan menunggu kalian di sini." Laki-laki itu menjatuhkan dirinya ke bangku. Melihat Hara dan Rizka yang berkali-kali berusaha memberhentikan taksi, tetapi tidak ada yang mau merespon.

Brahma memutuskan untuk duduk dengan tenang. Tidak lagi bersuara seperti tadi. Hanya sesekali dirinya tersenyum saat melihat wajah gusar Hara setiap kali taksi menolaknya. Ah, ternyata perempuan itu juga keras kepala. Dan ... entah kenapa, meski dalam keadaan gusar sekali pun, perempuan itu tetap manis.

***

Panda

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang