Assalamu'alaikum
[Ketika Kau Hadirkan Dia| Sembilan Belas]
Happy Reading. ❤
***
"Apakah suamimu sering pergi tanpa permisi seperti ini?" Ayah membuka percakapan saat mereka berada di ruang makan. "Jika Dzakki tidak bisa memperlakukanmu dengan baik, seharusnya kamu beritahu Ayah," sambungnya.
Hara menunduk. "Tidak," katanya. "Mas Dzakki suami yang baik, Ayah."
Tidak ada jawaban lagi. Ayahnya diam, sibuk melahap nasi goreng. Hara melirik ibunya, beliau hanya tersenyum menenangkan. Acara sarapan pagi itu pun menjadi sedikit canggung. Ketika mereka sudah selesai sarapan dan orang tuanya bersiap-siap pulang, sebuah mobil meluncur memasuki gerbang. Dzakki keluar dari sana, melangkah dengan tergesa.
"Ayah mau pulang?" tanya laki-laki itu, tetapi mertuanya sama sekali tidak menjawab. Beliau bahkan terlihat enggan melihat wajah menantunya.
"Kamu jaga diri baik-baik," kata Ayah kepada Hara, mengabaikan pertanyaan menantunya. "Jangan sampai telat makan dan kecapaian." Laki-laki itu mencium puncak kepala putrinya sebelum berlalu pergi. Beliau bahkan tidak peduli dengan Dzakki yang hendak mencium punggung tangannya.
Ibunya memeluk Hara dengan erat. "Nanti Ibu akan datang lagi ke sini, Sayang," katanya. Hara mengangguk, tanpa sadar bola matanya mulai berkaca-kaca. "Sttt .... kamu nggak boleh nangis," bisik ibunya. Beliau mencoba menenangkan Hara lewat pelukan. "Ibu tahu kamu wanita yang kuat."
Hara sendiri hanya mengangguk-angguk.
Wanita paruh baya itu lalu berbalik, tersenyum saat Dzakki mencium punggung tangannya. Namun, suara klakson mobil membuat mereka tidak bisa berlama-lama di sana. Dzakki mundur, merasa bahwa Ayah mertuanya sedang tidak suka kepadanya. Dia hanya berdiri di belakang Hara saat istrinya itu melambaikan tangan kepada orangtuanya.
"Kamu dari mana, Mas?" tanya Hara, ketika mobil orangtuanya sudah keluar dari gerbang. Wanita itu membawa suaminya untuk masuk ke dalam rumah. "Sudah sarapan belum? Aku tadi bikin nasi goreng sosis untuk kamu. Tapi kayaknya sudah dingin. Mau dihangatkan atau aku buatkan lagi, Mas?" Dia mencium punggung tangan suaminya dan tersenyum manis.
"Semalam Rayya menghilang." Kalimat yang membuat Hara langsung mematung di tempat. Wanita itu menghentikan langkahnya, berbalik menatap Dzakki dengan wajah yang sulit untuk diartikan. "Maaf aku tidak izin kepadamu, Ra."
"Apa yang terjadi dengan Rayya?" Hara mengangkat kepala, memandang Dzakki lurus-lurus. "Apakah dia baik-baik saja, Mas?" Perasaan Hara menjadi tidak enak, tetapi dia berusaha mengontrolnya dengan bersikap biasa saja. Meskipun Hara sangat takut ada sesuatu yang terjadi tanpa dia ketahui.
"Saya ingin berbicara denganmu." Wajah Dzakki kelihatan serius.
Hara menelan ludah. Ya Tuhan, apa yang sudah terjadi? Wanita itu mengembuskan napas dan mengangguk. Hara menurut saat Dzakki menarik tangannya dan membawanya duduk di sofa. Ada raut bimbang dalam wajah laki-laki itu. Hara mengembuskan napas dan mengucapkan istighfar berkali-kali untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Mas?" Hara menyentuh lengan Dzakki, membuat suaminya itu tersentak pelan. "Apa yang ingin kamu katakan?" Dia memajukkan wajah.
"Ra, saya ... " Dzakki benar-benar kelihatan bimbang. "Kamu percaya kalau saya sangat mencintaimu, bukan?" tanyanya dengan wajah penuh harap.
Perasaan Hara kacau, dia memejamkan kelopak mata. Sudah mengerti kenapa arah pembicaraan mereka. Sampai akhirnya, Hara memberanikan diri untuk menatap sang suami, "Kapan hal itu terjadi, Mas?" Terlihat jelas bahwa sekarang dia berusaha untuk tetap tegar. Padahal, hati seorang wanita sangat rapuh.
Alis Dzakki terangkat. Kelihatan bingung. Dia meraih kedua telapak tangan sang istri dan menggenggamnya dengan erat.
"Pada akhirnya kamu akan tetap menikahinya kan, Mas?" Pertanyaan Hara seperti sembilu yang menyayat hati mereka. Hening sejenak. Entah kenapa rasanya pasokan oksigen dalam ruangan itu mulai menipis. "Atau ... kalian bahkan sudah menikah?" sambungnya.
Dengan segera Dzakki merengkuh tubuh Hara, memeluknya dengan sangat erat. Dia lupa bahwa insting seorang istri sangatlah kuat. Dzakki mencium puncak kepala Hara berkali-kali. Mencoba meminta maaf tanpa suara. Bahkan rasanya sekarang dia sangat malu. Dia juga sangat takut jika Hara akan meninggalkannya setelah ini.
"Kalian sudah menikah, Mas?" ulang Hara sekali lagi. Nada suaranya sendiri sudah bergetar.
Dan Dzakki mengangguk pelan, seraya masih memeluk istrinya. Merasakan bahwa sesuatu yang hangat menyentuh dadanya, tetapi tidak lama kemudian Hara malah menjauhkan tubuh dan mengulas senyum. Dzakki tahu, ada banyak luka yang tersimpan di balik senyum itu. Sekarang, rasanya Dzakki sangat ingin memukul kepalanya sendiri. Sebab dirinyalah yang telah membuat luka itu ada. Dirinya yang telah menggoreskan luka di antara mereka.
"Aku ... nggak apa-apa," kata Hara tiba-tiba. Wanita itu mengangkat kepala, seperti berusaha menahan agar airmata tidak lolos keluar dari kelopaknya lagi. "Sungguh aku tidak apa-apa, Mas." Dia mengulas senyum sekali lagi. Lalu mengusap pipi sang suami dengan lembut.
Dzakki meraih telapak tangan halus itu, menciumnya. "Apakah saya menyakitimu, Ra?" tanyanya. "Apakah kamu ingin menghukum saya sekarang?" Dia mengangkat telapak tangan Hara ke udara, lalu menatap sang istri. "Kamu boleh pukul saya, Ra. Pukul sekuat yang kamu mau."
"Tidak, Mas." Hara menggeleng. "Aku bahkan sudah mengizinkanmu dari awal, bukan?" Meskipun perkataannya terdengar sangat kuat, tetapi bola mata bening itu kini sudah dipenuhi oleh cairan bening. Membuat Dzakki bersimpuh ke lantai, merasa gagal menjadi seorang imam yang baik. "Aku sungguh-sungguh tidak marah." Hara ikut bersimpuh, dia memeluk tubuh suaminya.
"Andai saja Pak Muntaz bukan ayahnya. Andai saja beliau tidak menuliskan surat wasiat kepada saya. Dan andai saja Rayya tidak pernah berpacaran." Kalimat itu keluar secara bertubi-tubi dari mulut Dzakki, kepalanya tertunduk. "Saya bahkan masih menyimpan surat itu di dalam kamar, Ra. Dan setiap kali saya melihatnya, saya merasa dihantui oleh rasa bersalah." Tubuh Dzakki bergetar. Hara tahu, mungkin ini adalah titik terendah dalam hidup suaminya. Laki-laki itu pasti merasa sangat tidak berguna sekarang.
"Dan sekarang ... sekarang setiap melihatmu saya merasa bersalah, Ra," sambung Dzakki, laki-laki itu bahkan enggan mengangkat kepala padahal Rayya sudah memintanya.
"Lebih baik kamu menemani Rayya, Mas." Hara sendiri merasa tidak tega melihat suaminya menangis. "Dia pasti merasa bahwa kamu tidak sungguh-sungguh menikahnya sekarang sebab lebih memilih pergi di hari pertama."
Dzakki mengangkat kepala, memandang sang istri dengan bola mata yang masih basah. "Saya tidak mau meninggalkanmu, Ra. Meskipun saya merasa sangat tidak berhak untuk sekadar melihat senyummu lagi sekarang."
"Kembalilah, Mas." Hara menggerakkan kepala. "Temui Rayya dan berikan cinta untuknya." Sekali lagi, wanita dalam balutan gamis dan berjilbab itu mengulas senyum untuk sang suami. "Temui dia sekarang atau kamu tidak akan pernah melihatku lagi, Mas." Dan itu mungkin permohonan terakhir Hara kepada sang suami. Dia bahkan sekarang sudah melupakan niatnya yang ingin memiliki buah hati. Kepercayaan dalam dirinya sudah hilang.
"Ra .... "
"Aku sungguh-sungguh tidak ingin bertemu denganmu jika kamu tidak menuruti permintaanku sekarang, Mas." Hara memalingkan wajahnya.
Dan dengan sangat berat hati, Dzakki pun pergi.
****
Panda
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Kau Hadirkan Dia
RomansNamanya Hara Azzahra, perempuan cantik nan shalehah yang rela melepas tawaran bekerja keluar negeri saat melihat keseriusan seorang laki-laki. Sebab bagi Hara, kodrat seorang istri lebih baik di rumah. Laki-laki itu bernama Dzakki Asla Muyassar. Dia...