Empat Puluh Satu

3.1K 143 24
                                    

Assalamu'alaikum

[Ketika Kau Hadirkan Dia | Empat Puluh Satu]

Happy Reading. ❤

***

Dzakki meraih tubuh Hara dengan segera. Namun, mertuanya datang dan mendorongnya. Ayah mertuanya itu mengambil alih Hara, wajahnya terlihat kesal. "Jangan pernah sentuh putri saya lagi!" katanya dengan nada ditekan. Membuat orang-orang menoleh ke arah mereka.

Tidak terkecuali Brahma. Laki-laki itu tampak bingung dengan apa yang terjadi di hadapannya sekarang. Apakah firasatnya benar bahwa perempuan itu memang tidak bahagia dengan pernikahannya?

"Saya akan urus surat perceraian dengan segera!" Ayah mertuanya tampak  sungguh-sungguh mengatakan itu. "Dan saya tidak akan sudi kamu mengambilnya lagi dari saya!" sambungnya lalu membawa tubuh putrinya pergi. Membopong Hara yang masih enggan membuka matanya.

Ibu mertuanya melangkah mendekat, menyentuh pundak Dzakki dengan pelan. "Nak, Ibu mohon kamu ikhlaskan Hara. Dia berhak untuk bahagia. Ibu minta tolong kepada kamu untuk lepaskan putri Ibu, ya? Ibu mohon." Bola mata perempuan itu tampak berkaca-kaca.

Dzakki hanya diam. Tidak bisa mengatakan apa pun. Bahkan sampai ibu mertuanya pergi, laki-laki itu tetap diam di tempatnya. Tidak peduli dengan tatapan semua orang yang kini tertuju ke arahnya. Pikirannya sudah kacau sekarang. Dzakki sadar bahwa dia telah kehilangan segalanya terhadap Hara sejak ijab qabul di rumah Rayya itu terucap. Ya, semuanya sudah hilang sejak itu.

"Lo  ... nggak apa-apa?" Brahma menyentuh pundaknya, Dzakki kenal dengan laki-laki itu. Orang yang pernah mengantarkan Hara pulang ke rumah. Sore itu. Dzakki masih ingat dengan jelas. Bagaimana Hara mengenalkan dirinya dengan sosok Brahma. "Yang pingsan tadi Hara, kan?"

Dzakki menoleh dengan pandangan dingin. Yang artinya sedang tidak ingin diganggu.

Dua orang laki-laki menepuk bahu Brahma. Menariknya menjauh dari jangkauan Dzakki dengan segera. Sangat tepat, sebab telat sedikit saja mungkin pukulan Dzakki akan melayang.

***

Brahma sempat mematung di tempat. Agak terkejut dengan apa yang dilihatnya. Apalagi ketika Pak Dhiaurrahman mendorong Dzakki seraya mengatakan kalimat dengan nada keras. Meminta Dzakki untuk jangan pernah mendekati Hara lagi. Bahkan, lelaki paruh baya itu berkata bahwa dia akan mengurus surat perceraian. Apa itu artinya Hara akan berpisah dengan Dzakki?

Saat melihat Dzakki yang tak kunjung bergerak dari tempatnya berdiri, Brahma menghampiri laki-laki itu. Menepuk pundaknya dengan pelan. "Lo  ... nggak apa-apa?" tanyanya dengan ragu. Takut menyinggung perasaan laki-laki itu. Tidak ada jawaban. "Yang pingsan tadi Hara, kan?" sambung Brahma. Merasa penasaran.

Namun, sesaat setelahnya dia ditarik ke belakang oleh seseorang. Ternyata Devan. Lalu Aryasa yang menganjurkan segelas air putih ke arahnya. Brahma sendiri hanya mengangkat alis. Bingung. Namun, dia memilih untuk mengikuti kedua temannya itu. Melangkah menjauh dari Dzakki yang masih mematung di tempat.

"Lo nggak lihat dia lagi kesal?" Devan menepuk bahunya dengan keras. "Saran gue lebih baik lo nggak usah ikut campur. Takutnya lo kira sebagai perusak rumah tangganya."

Brahma menggenggam gelasnya, sedangkan pikirannya melayang entah ke mana. Lalu dia meneguk air dan duduk di sebuah kursi. Ada masalah apa sebenarnya dengan pernikahan Hara? Apakah sudah ada masalah dari sejak mereka mulai dekat waktu itu? Namun, saat itu Hara dan Dzakki terlihat baik-baik saja.

Demi Allah, kenapa Brahma sulit sekali untuk tidak memikirkan hal yang berkaitan dengan Hara?

Brahma meneguk airnya lagi, sekali. "Gue mau cabut. Acaranya bakalan lama selesai, kayaknya. Duluan, ya." Dia lantas menaruh gelas dengan sembarang ke meja. Menepuk bahu Aryasa dan Devan, lalu pergi melangkah.

Dengan cepat Brahma melangkah masuk ke dalam lift, tetapi sesuatu di luar dugaan datang. Ketika pintu lift terbuka, tampak sosok Dzakki yang tengah berdiri dengan sebelah tangan bertumpu pada dinding. Laki-laki itu mengangkat wajah, menoleh ke arahnya dengan pandangan yang sulit untuk dideskripsikan. Brahma berpura-pura tidak peduli dengan terus melangkah masuk.

Sunyi. Pada awalnya, tetapi ketika Brahma ingin keluar dari lift setelah sampai di lantai dasar, Dzakki malah menahannya. Laki-laki itu menutup kembali pintu lift dan memencet tombol menuju ke lantai paling atas. Membuat alis Brahma tentu saja mengerut bingung.

"Kamu  ... ada hubungan apa dengan istri saya?" Pertanyaan yang tidak Brahma sangka akan keluar dari mulut Dzakki. Apa masalah rumah tangga mereka muncul karena Dzakki pernah melihat Hara pergi dengannya? Brahma menatap laki-laki itu, menaikkan alis lagi. "Berapa kali kalian ketemu tanpa sepengetahuan saya?" sambung Dzakki. Dengan wajah kelewat serius.

Brahma bersikap tenang. Dia balas menatap Dzakki dengan pandangan biasa saja. "Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Hara," katanya seraya mengangkat bahu. "Lo jangan salah paham dulu. Waktu itu, saat lo lihat gue antar Hara pulang, gue kebetulan habis dari butik. Nyokap pesan baju sama istri lo. Kami nggak ada hubungan apa-apa. Cuma itu."

"Saya nggak suka kamu care sama Hara. Mungkin di belakang saya, kamu ada sesuatu. Saya bisa lihat dari cara kamu mandang dia waktu itu."

"Oh, Man," kata Brahma seraya mengulas senyum tipis. "Gue tahu gue emang nggak seberuntung lo yang bisa dapatin Hara. Dia perempuan yang baik, shalehah," sambungnya. "Tapi gue masih punya harga diri, gue nggak bakal usik rumah tangga orang lain. Kecuali, lo yang sia-siain dia. Gue bakal maju." Dia menyeringai.

Tanpa Brahma sadari, perkataannya menyulut emosi Dzakki sehingga telapak tangan laki-laki itu terkepal. Bahkan sekarang Dzakki melangkah mendekatinya. Menggertakkan gigi. "Ulangi ucapan kamu sekali lagi. Saya pengen dengar." Dzakki mengangkat wajahnya. Menekan setiap kata yang diucapkan. Perasaan kesal menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Lo tahu gue nunggu Hara berapa lama? Sudah hampir lima tahun, Bro. Lalu lo datang dengan seenaknya merebut hati Pak Dhiaurrahman. Lo menghancurkan semua usaha gue."

"Kamu pikir begitu?"

"Dan sekarang gue lihat Pak Dhiaurrahman nggak suka sama lo. Gue rasa ini peluang yang bagus."

Saat kalimat itu baru selesai diucapkan, satu pukulan mendarat dengan mulus ke pelipis Brahma. Sedikit nyeri. Telapak tangannya lantas ikut terkepal. Emosinya mulai naik. Mereka pun saling pukul satu sama lain. Bahkan ketika pintu lift terbuka dan sampai di sebuah lorong, pukulan terus berlanjut. Hingga keduanya terluklai lemas di lantai. Masih saling menatap dengan sorot mata penuh amarah.

Tidak berapa lama langkah kaki terdengar. Ada Devan dengan Aryasa yang datang. Mereka segera menarik Brahma. Berusaha keras membawanya pergi karena Brahma yang terus memberontak. Sementara Dzakki masih berdiri di tempatnya. Dengan ujung bibir yang mulai mengeluarkan darah. Laki-laki itu melayangkan pukulan ke udara seraya mendengus kesal.

***

Alhamdulillah bisa update lagi. ❤

Makasih kalian mau baca cerita ini.
Terima kasih banyak.

Salam Hangat,
Saya

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang