Tiga Puluh

2.6K 109 4
                                    

Assalamu'alaikum
[Ketika Kau Hadirkan Dia| Tiga Puluh]

Happy Reading. ❤

***

Ibunya Brahma menciumi Hara berkali-kali. Wanita itu terlihat sangat bahagia. Bahkan saat Hara berpamitan ingin pulang, wanita paruh baya itu seolah tidak rela. Sampai Brahma bersusah payah membujuknya. Mengatakan bahwa Hara masih punya banyak pekerjaan yang belum selesai.

Dengan enteng, ibunya mengatakan, "Nanti kalau sudah menikah dengan kamu, Hara jangan kerja lagi. Pokoknya kamu harus lebih giat kerja, Brahma! Sementara istrimu di rumah."

Yang tentu membuat keduanya saling pandang dengan kikuk. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, Hara pun bisa mengembuskan napas lega sebab terlepas dari ibunya Brahma. Sekarang mereka sudah duduk di kursi mobil. Brahma menurunkan kaca, melambai kepada ibunya. Dan Hara melakukan hal yang sama.

"Tolong turunkan aku di halte  .... "

"Tidak." Brahma menyela cepat. "Aku akan mengantarkanmu kembali sampai butik."

"Aku mencegah hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi jika orang lain melihat kita bersama."

"Suamimu akan marah?" tebak Brahma. "Apakah dia selalu melarangmu pergi dengan laki-laki lain? Meskipun itu misalnya karyawan kamu sendiri?"

Hara menggeleng. "Dia tidak mengekangku," katanya. "Justru aku yang ingin menghargainya sebagai seorang suami."

"Masyaa Allah, betapa beruntungnya Dzakki memiliki kamu."

"Allah menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan."

"Tapi bisa saja Allah lupa dengan aku?" Brahma menaikkan alis. Melirik Hara sekilas.

Hara menggeleng. "Itu tidak mungkin, Brahma."

"Kenapa tidak?"

"Sebab Allah tidak pernah keliru. Ibumu bahkan mengatakan bahwa banyak wanita yang jatuh cinta denganmu." Hara merapikan kerudung. Lalu membuang pandangan keluar jendela. "Saranku, cobalah kamu untuk membuka hati."

Ada senyuman tipis di wajah Brahma. "Aku pernah membuka hatiku, tetapi sayangnya dipatahkan," sahut laki-laki itu dengan pandangan lurus ke depan.

Sekarang Hara berdeham, merasa sedikit tidak nyaman. Sebisa mungkin dia menjauhkan pandangan dari Brahma. Sampai tidak lama kemudian ponselnya berdering. Nama Mas Dzakki muncul di layar.  Hara menerima panggilan itu setelah mengembuskan napas pelan.

"Assalamu'alaikum, Mas? Ada apa?" salam Hara. Membuat Brahma yang duduk di sebelahnya pun menoleh.

"Wa'alaikumsalam. Sore nanti Mas ada rencana mau datang ke makan ayah Rayya. Kamu mau ikut, Ra?"

"Bagaimana nanti saja, Mas. Kalau pekerjaan aku sudah selesai, aku ikut. Jika belum, kalian pergi saja berdua."

Brahma menaikkan alis. Merasa penasaran.

"Baik. Jangan lupa makan, Ra. Jaga diri baik-baik saat berada di luar. Kabarin aku jika ada masalah."

Setelah perbincangan sebentar, Hara mematikan panggilan. Kembali menyimpan ponselnya. Entah kenapa, sekarang rasanya dia lebih senang untuk menghabiskan waktu di luar rumah. Padahal dulu Hara tahu bahwa tempat terbaiknya seorang istri ialah di dalam rumahnya. Sekarang, rumahnya seolah tidak lagi memberikan kenyamanan.

"Suamimu akan pergi dengan siapa?"

Hara menoleh dengan cepat, menaikkan alis memandang Brahma. Untuk beberapa saat dia diam, lalu berkata, "Jangan mau tahu urusan orang lain, Brahma." Yang tentu saja membuat Brahma mengangguk-angguk.

"Aku ingin mengantarmu sampai ke butik, Ra. Sungguh aku merasa tidak enak jika harus menurunkanmu di halte. Seperti bukan seorang pria sejati."

"Apakah kamu menaksir salah satu karyawanku?"

"Apa?"

Tertawa kecil, Hara berpikir sebentar hingga akhirnya memutuskan untuk berkata, "Baiklah. Kamu terlalu memaksa."

Brahma tersenyum mendengar jawaban Hara. Mungkin, sebaiknya dia memang tidak terlalu ikut campur dalam masalah perempuan itu. Brahma takut hubungan mereka yang sekarang sudah membaik kembali merenggang seperti dulu. Tidak, dia bahkan butuh banyak kalimat dan tindakan untuk meluluhkan Hara agar perempuan itu mau memaafkannya.

***

Dzakki dan Rayya sampai di pemakaman. Suasana sunyi menyambut mereka. Rayya melangkah di belakang Dzakki, mengenakan selempang yang dijadikan sebagai jilbab olehnya. Mereka duduk di rerumputan yang hijau. Menikmati selimir angin.

"Papa  ... aku kangen bangat." Rayya mengusap tulisan pada batu nisan. "Sekarang aku sudah menjadi istri seorang laki-laki yang Papa sayangi. Dulu Papa pernah berkata kepadaku, agar kelak memilih orang yang baik. Jangan sampai aku dibutakan oleh cinta."

"Sekarang  ... aku mengerti." Menarik napas, Rayya diam sejenak. Bola matanya sudah mulai berair. "Aku  ... aku minta maaf sebab dulu tidak mau mendengarkan perkataan Papa. Aku minta maaf jika selama ini belum bisa menjadi anak yang baik untuk Papa."

Dzakki sendiri hanya diam. Membiarkan Rayya mengeluarkan semua perasaannya. Mungkin saja sebenarnya selama ini perempuan itu merasa tertekan. Bahkan  ... Dzakki belum melihat ada senyum tulus seperti dulu lagi di bibir Rayya. Seolah dengan perginya sang Papa, dunianya muram seketika.

"Rayya kangen, Papa. Rayya selalu berharap bisa bertemu dengan Papa suatu saat." Perempuan itu kembali berbicara. "Oh iya, Papa  ... maaf kalau Rayya sudah lancang membuka berkas-berkas Papa di lemari. Sekarang, Rayya tahu kalau ternyata Rayya ini anak angkat, kan, Pa?"

Dzakki menoleh mendengar hal itu. Terkejut.

"Rayya nggak akan marah sama Papa, kok." Ada senyum kecil di bibir Rayya. "Bahkan aku sangat berterima kasih kepada Papa sudah mau merawat dan membesarkan Rayya dengan penuh cinta. Rayya melihat semua video Papa, di mana Papa mengatakan bahwa Mama ingin sekali memiliki anak. Hingga kemudian Rayya kecil datang."

"Sungguh, rasanya Rayya sangat bahagia. Sebab bisa menjadi alasan bahagianya seseorang. Rayya sayang Papa dan Mama. Rayya akan simpan semua video yang sudah Papa rekam."

"Dan  ... surat yang Papa titipkan kepada Rayya untuk Mas Dzakki, sudah Rayya berikan. Aku tidak membacanya, Pa. Sebab Papa melarang."

"Papa baik-baik di sana, ya. Aku ingin menyusul Papa. Tapi Mas Dzakki melarang." Sekali lagi, Rayya mengusap batu nisan. "I love you, Pa."

Barulah setelah itu Dzakki memimpin doa. Diiringi oleh airmata yang mengalir turun ke pipi Rayya. Setiap kali teringat dengan papanya, maka airmatanya akan sulit untuk di bendung. Laki-laki itu adalah cinta pertamanya, seorang laki-laki yang tidak pernah menyakitinya. Setidaknya Rayya sudah pernah merasakan cinta yang begitu tulus dari orangtua angkatnya.

Setelah selesai berdoa, ponsel Dzakki berdering. Ada panggilan dari kantor polisi, yang membuat laki-laki itu terkejut. Namun, ekspresinya berubah setelah mendengar beberapa penuturan. Dzakki membawa Rayya untuk kembali ke mobil. Dia juga menyempatkan diri untuk memberikan kabar kepada Hara lewat pesan. Tidak ingin istrinya itu menunggunya nanti.

"Kita mau kemana, Mas?" Rayya heran dengan arah yang mereka lalui sekarang. Sama sekali bukan menuju ke rumah.

"Kantor polisi."

"Apa? Untuk apa ke kantor polisi?" Dengan pelan, Rayya menyeka sisa airmatanya.

"Agam  ...."

"Agam? Kenapa kita harus kembali membahas masalah itu, Mas? Apakah pihak polisi berniat untuk membebaskannya?"

"Tidak. Agam sakit, Ray. Kita di minta untuk datang menemui keluarganya. Tantenya meminta keringanan."

"Dan Mas mau membebaskan dia?"

"Mas belum tahu."

***

Panda

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang