Tiga Puluh Sembilan

2.7K 123 9
                                    

Assalamu'alaikum

[Ketika Kau Hadirkan Dia | Tiga Puluh Sembilan]

Happy Reading

***

"Malam ini Ayah akan pergi. Kamu harus ikut."

Hara mengembuskan napas dan mengangguk. Apa yang bisa dilakukannya sekarang? Bahkan ponselnya disita oleh sang Ayah. Setiap panggilan yang masuk akan diperiksa. Dan Hara hanya boleh mengangkat panggilan dari teman atau pun karyawannya. Jika ada nomor yang mencurigakan segera ditolak oleh sang Ayah.

Ibunya meminta Hara untuk bergabung di meja makan. Sudah ada sandwich isi sayuran dan daging. Beliau lalu mengangkat botol plastik berisi saus dan menatap Hara, segera menuang saat putrinya mengangguk. "Sebaiknya kamu sarapan yang banyak." Beliau tersenyum seraya mengusap kelapa putrinya dengan sayang. "Oh, Rizka bilang kamu mau pergi ke Singapura. Apa benar, Sayang?"

Hara melirik Ayah, agak takut. "Dulu Rizka pernah menawarkan aku bekerja dengan sepupunya," katanya dengan anggukan kecil. "Aku sempat menolaknya karena  ... yah, sekarang aku rasa ingin mengambil kesempatan itu. Mungkin ini waktu yang tepat."

"Kau tidak akan bertemu dengan laki-laki brengsek itu?"

Meskipun Hara merasa sakit hati, tetapi dia tidak pernah menghina suaminya sendiri. Mendengar sang Ayah berkata seperti itu, membuat hati Hara terasa ngilu. "Aku hanya ingin menyayangi diriku sendiri dengan melakukan hal yang kusukai. Lagipula di sana aku akan disiapkan tempat tinggal dan kemungkinan besar Rizka pun akan menyusul ke sana." Hara menunduk, menatap sandwich sedangkan ibunya hanya diam.

"Ayah akan kirimkan orang untuk mengawasimu selama di Singapura."

Mengembuskan napas. Hara menusuk sandwich dengan tidak semangat. Haruskah dirinya diawasi terus oleh sang Ayah? Rasanya seperti anak kecil saja. Perempuan itu mengunyah makanan dengan pelan. Laparnya menghilang dalam sekejap.

"Mulai sekarang, apa pun yang Ayah katakan, kamu tidak boleh membantahnya!"

Tidak ada yang bisa Hara lakukan selain mengangguk.

Ayahnya menarik tas kerja dari atas meja setelah membenarkan letak dasi di lehernya. Laki-laki itu segera menderapkan langkah untuk menjauh dari meja makan. Tidak menyentuh sarapannya sama sekali. Sepertinya Ayah benar-benar marah.

Ibu bergerak cepat menyusul langkah suaminya, sedangkan Hara memilih untuk tetap di meja. Menatap sandwich yang tidak lagi menggoda. Dia tidak selera makan. Lantas mengembuskan napas sekali lagi dan menyandarkan punggung ke belakang.

Maafkan aku, Ayah.

***

Brahma sibuk sekali dengan pekerjaan. Namun, sepertinya bukan itu yang membuatnya merasa pusing. Melainkan ibunya yang menanyakan kabar Hara berkali-kali. Bahkan menyuruh agar Brahma mengajak Hara untuk main lagi ke rumah.

Apa yang bisa dilakukan oleh Brahma? Mencoba menghubungi perempuan itu?

Urusan mereka sudah selesai dan itu artinya tidak ada lagi kesempatan untuk menghubungi Hara dengan berpura-pura menanyakan gaun. Bagaimana kalau perempuan itu kesal dan kembali sinis kepadanya? Bagi Brahma, setidaknya Hara sudah mau berkomunikasi dengannya itu lebih baik daripada Hara yang selalu bersikap sinis dan menjauhkan diri seolah Brahma orang yang berbahaya.

"Malam ini ada acara di lantai 4, seluruh staff diharapkan hadir."

Sebuah pengumuman terdengar di speaker ruang kerjanya. Acara pengesahan perusahaan baru. Brahma mengembuskan napas. Yang ingin dia lakukan malam ini adalah pergi ke kafe, meminum segelas kopi pahit. Sebenarnya rokok obat yang paling ampuh untuk menenangkan pikirannya. Namun, beberapa bulan yang lalu dirinya sudah berjanji kepada sang Ibu untuk tidak menyentuh benda itu lagi. Padahal, kopi dan rokok adalah perpaduan yang sangat sempurna.

Seseorang menimpuknya dengan kertas dari belakang sehingga Brahma menoleh. Tampak Mario yang menyeringai ke arahnya. "Jangan lupa datang, Bro. Barangkali lo bisa dapat gebetan!" teriaknya yang mengundang cekikikan kecil beberapa orang di sana.

Sungguh menyebalkan sekali. Brahma tahu di umurnya yang sekarang, seharusnya dia sudah menikah. Sebenarnya dulu Brahma memiliki kekasih, tetapi meninggal karena gagal jantung. Sulit sekali untuk melupakan cinta pertamanya itu hingga kemudian dirinya bertemu dengan Hara. Sayangnya, cinta Brahma malah bertepuk sebelah tangan.

"Sebentar lagi Jonathan mau tunangan. Jangan sampai lo keduluan lagi lah."

Brahma ingin meremukkan berkas yang ada di atas mejanya dan menyumpal mulut Mario. Namun, hal itu tentu tidak dilakukannya. Sebagai gantinya dia bangkit berdiri dan keluar dari kubikel. Devan menyusul di belakangnya.

"Udahlah, Bro, nggak usah didengar omongan si Mario." Devan melemparkan flashdisk ke udara, lalu ditangkapnya lagi. "Semakin lo kepancing, malah semakin senang dia. Udahlah anggap aja cuma kumbang yang lagi berdengung."

Brahma tidak menanggapi. Mereka melangkah menuju kantin dan melihat Aryasa yang tampak lahap menyantap mie. "Telat lima menit. Bayarin gue makan," kata laki-laki dengan postur tubuh besar itu. Lalu menyeringai saat Brahma menaruh ATM di atas mejanya.

"Lo inget nggak waktu si Daniel nembak Mia anak devisi informasi dan ditolak, kemudian seruangan jadi rame? Itu ulah Mario." Devan mengangkat daftar menu, menatapnya dengan santai. "Waktu Aryasa jatuh di eskalator lobi dan yang lain tahu padahal lagi sepi, itu ulah Mario."

Brahma menyadarkan tubuh ke belakang. "Gue rasa sekali-kali dia harus dikasih pelajaran," katanya seraya melipat kedua lengan di depan dada. "Supaya dia tahu bagaimana rasanya dipermalukan di depan umum."

"Lo terlalu mudah kepancing emosi, gue yakin dia malah senang."

"Nggak peduli. Dia udah berani usik gue."

Aryasa mendorong piringnya yang sudah kosong. "Gue dukung lo, Brahma. Sebenarnya agak geram sama Mario. Tapi kalau gue mengundurkan diri dari sini, sayang bangat karena nyari kerja nggak gampang. Gue butuh uang buat bayar apartemen Steffany setiap bulannya."

"Pacar lo matre. Dengar omongan gue!" Devan melambaikan tangan kepada waitress dan memesan makanan. "Daripada uang lo hamburin buat wanita yang belum tentu akan menjadi istri lo, lebih baik lo tabung buat masa depan."

"Gue cinta bangat sama dia, Bro."

"Ah elo kayak wanita di dunia cuma Steffany aja."

"Gue nggak minat datang nanti malam." Brahma memotong ucapan kedua temannya. "Nggak akan ada hal yang menarik, kayaknya."

Devan menatap Brahma dengan senyum aneh. "Lo yakin?" Dia menaikkan alis. "Gue dengar sih Pak Dhiaurrahman Wahid bakalan datang dengan keluarganya. Ya, termasuk putrinya. Mereka tamu VIP di acara nanti malam."

Segera Brahma menatap Devan. "Lo nggak lagi bohong?"

Ada senyum kecil di bibir Devan. "Ah, ternyata lo masih suka sama dia sampai sekarang."

"Bukannya Hara udah nikah, ya?" Aryasa menatap kedua temannya secara bergantian. "Gue harap lo nggak jadi pebinor, Man," sambungnya seraya menepuk pundak Brahma.

Devan terkekeh kecil. "Masih ada peluang buat dapatin istri orang, kok. Cari celah-celah dikitlah."

Aryasa melempar tisu ke arah Devan. "Steffany pernah hampir kegoda sama bos batu bara. Sakit bangat, Bro! Gue nggak dukung lo jadi pebinor, Brahma!"

Sedangkan Brahma termenung. Apakah dia harus datang nanti malam dan menyampaikan salam ibunya kepada, Hara?

Apakah perempuan itu akan menyambutnya dengan baik?

***

Hai.
Maaf baru bisa update lagi ya. Kuliah udah mulai masuk lagi. Juga ada kerjaan lain selain menulis.

Semoga masih setia baca. ❤

Salam,
Panda

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang