Tiga Puluh Empat

2.3K 106 30
                                    

[Ketika Kau Hadirkan Dia Tiga Puluh Empat]

Maaf lama up, ya.
Saya lagi kurang sehat.
Kalau kalian semua apa kabar? Semoga sehat-sehat, ya.

Ada yang kangen saya   ... eh, Hara maksudnya. Atau, ada yang kangen Dzakki? Cieeee.

Oiya, follow ig saya kalau mau:
Novitavitaa19

Udah, ah. Yok selamat membaca.
Jangan lupa vote dan komentar ya. ❤

***

Rayya mengembuskan napas, termenung di kursi. Suasana kelas sedang sepi sebab para mahasiswa tengah menjalani praktek di laboratorium. Hanya dirinya sendiri yang tidak ikut. Entah kenapa, tadi dia merasakan pusing dan mual yang hebat. Bahkan hingga sekarang dirinya masih merasa lemas. Apakah Rayya sakit? Jika iya, menyebalkan sekali sebab ada banyak tugas kuliah yang belum diselesaikannya.

"Gue antar ke UKS, yuk?" Sebastian mendadak muncul di sebelahnya. "Atau, mau gue ambilin obat di sana? Gue nggak tega tauk liat lo begini. Yaaa, walaupun lo udah nyakitin perasaan gue."

Rayya menaikkan alisnya. Mengembuskan napas dengan asal. Oiya, dirinya lupa sifat asli Sebastian seperti apa. Pria itu memang selalu blak-blakkan. "Nggak usah," tolak Rayya halus.

"Cukup perasaan gue aja kali yang lo tolak, niat baik kayak gini tuh jangan. Lagian gue masih teman lo, kok."

Rayya hanya menggumam. Lalu mengernyit ketika Sebastian menempelkan telapak tangan pada dahinya.

"Lo nggak panas. Kayaknya lo nggak sakit deh."

"Hmmm."

"Lo beneran sakit?"

Sekali lagi Rayya mengembuskan napas. "Sebastian, apakah kamu pikir saya pura-pura?" tanyanya dengan wajah sedikit jengah.

"Tapi badan lo nggak panas." Sebastian masih keukeuh. Pria itu melipat kedua lengan di dada.

"Saya mual sama pusing, bukan demam. Oke?"

Sebastian menegakkan tubuh. Menatap Rayya dengan bola mata melotot sempurna. "Ray, jangan-jangan lo  .... " Ucapannya terhenti, ada sesuatu yang kembali patah di balik dadanya. Sakit. Menyesakkan. Sebastian mengulas senyum. "Gue keluar, ya," katanya dengan nada yang lirih.

Rayya mengerutkan kening. Bingung.

Tidak lama ponselnya berbunyi. Rayya meraihnya dan mengerutkan kening. Sebuah nomor baru. Diangkatnya panggilan itu dan sebuah suara serak segera menyambut indera pendengarannya. "Halo, Rayya. Apa kabar? Baik-baik saja, bukan? Salam kenal dari saya, orang yang akan meneror kamu mulai dari sekarang."

Kerutan di kening Rayya semakin menjadi. Dia segera mematikan panggilan itu dengan sekali tarikan napas, tetapi tidak lama kemudian ponsel tersebut kembali berbunyi. Dari nomor yang sama. Rayya memutuskan untuk memblokirnya dengan segera dan menyurukkan ponsel ke dalam tas.

Sementara itu, rasa mual dan pusingnya semakin menjadi. Rayya memutuskan untuk merebahkan kepala ke atas meja. Mengembuskan napas sekali lagi. Oh, siapa orang aneh tadi? Mengapa dia mau meneror Rayya? Apakah orang itu kenal dengan dirinya? Rayya memijat pelipisnya sekarang, rasa pusing yang sangat kuat menyiksa dirinya.

Akhirnya Rayya memutuskan untuk bangkit. Dia harus pergi ke UKS mencari obat. Atau setidaknya dia bisa berbaring dengan nyaman di sana. Namun, saat dia mencoba untuk bangkit berdiri, tubuhnya limbung. Sebastian yang entah sejak kapan sudah kembali ke ruang kelas, menahan tubuh Rayya untuk tidak terjatuh.

"Lo beneran sakit, Ray. Ayo gue antar ke UKS." Wajahnya bahkan terlihat sangat khawatir.

Rayya meringis pelan. Rasa pusingnya semakin menjadi. Dia hanya bisa memejamkan kelopak mata saat Sebastian mengangkat tubuhnya dan membawanya menuju UKS seperti yang dikatakan oleh pria itu tadi.

***

Hara tengah membuka lembaran berkas yang berisi catatan omset butik. Perempuan itu lantas mengulas senyum, mengucapkan banyak rasa syukur kepada Allah SWT di dalam hatinya.

Agreea muncul dari balik pintu. "Ada Mas Brahma, Mba," katanya. "Oiya, kemarin aku ketemu Mutiara. Dia titip salam ke Mba sekaligus minta maaf. Untuk sementara waktu nggak bisa datang ke butik dulu."

Mengangguk pelan, Hara melangkah keluar dari butik. "Semoga masalah keluarga Mutiara lekas membaik. Katakan sama dia nggak apa-apa cuti dulu sampai semuanya selesai," katanya sebelum berlalu pergi.

Para karyawannya tengah sibuk melayani pembeli dan Hara melihat Keeyla yang tengah mengobrol dengan Brahma. Entah membicarakan apa, bahkan keduanya terlihat tertawa sesekali. Baru saat Hara berada sudah cukup dekat, Brahma melambaikan tangan ke arahnya dan tersenyum, sedangkan Keeyla mengangguk dan melangkah menjauh. Tidak, bahkan Hara tidak mengusirnya.

"Assalamu'alaikum." Brahma mengucapkan salam lebih dahulu. Laki-laki itu tampak rapi, sepertinya baru saja bercukur. "Ibu menanyakan kepadaku perihal gaunnya. Apakah sudah selesai?" Ada senyum mengembang di bibirnya yang besar.

"Wa'alaikumsalam," sahut Hara dengan pelan. "Ah, ya. Sudah selesai, Brahma. Aku akan ambil sebentar di belakang. Kamu silakan menunggu di sofa dulu, ya?"

"Ra?" Panggilan Brahma menghentikan langkah Hara. "Ibu ingin kamu yang mengantarkannya langsung ke rumah. Apakah kamu punya waktu?"

Hara termenung. Diam di tempatnya.

"Aku akan membayar gaun itu dengan harga berapa pun, Ra," sambung Brahma.

Baru Hara ingin mengatakan sesuatu, seseorang memanggilnya. Akhirnya perempuan itu pamit sebentar untuk menemui pelanggan.

Brahma mengembuskan napas, takut sikapnya telah kelewatan dan membuat perempuan itu risih. Dia menyenderkan tubuh di kepala sofa setelah meraih majalah islami tentang rumah tangga yang tergeletak di atas meja. Melihat covernya yang tampak manis, dengan gambar sepasang suami istri dan seorang anak kecil.

Akhirnya Brahma membuka majalah itu.

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula”.

Allahu Akbar!

Brahma mengembuskan napas lagi. Sebaik apa akhlaknya sendiri sampai pernah meminta wanita sholehah seperti Hara sebagai jodohnya?

Saat Brahma tengah termenung, Hara muncul dengan sebuah gaun dipegangnya. Ada senyum tipis di bibir perempuan yang berbalut gamis panjang itu. Allah, sungguh indah ciptaan-Mu.

Bahkan Brahma rasanya tidak bisa berhenti menganggumi.

"Aku bisa mengantar gaun ini langsung ke Ibu, tetapi tidak lama. Apakah tidak apa-apa?"

Kalimat sederhana itu tentu membuat Brahma termenung. Hampir tidak percaya dengan apa yang didengar oleh telinganya. "Alhamdulillah," ucapnya spontan. Brahma segera menegakkan tubuh dan mengembangkan senyum lagi. "Ayo kita berangkat sekarang," sambungnya.

Hara melambaikan telapak tangan ke arah Keeyla, memintanya untuk membungkus gaun itu dengan rapi. "Aku ambil tas tangan dulu," katanya kepada Brahma sebelum berbalik pergi.

Brahma mengangguk. Entah kenapa belakangan ini dirinya merasa sangat beruntung. Namun, Brahma sadar bahwa setelah ini mereka akan seperti biasa lagi. Bahkan mungkin Hara tidak akan lagi mau diganggu olehnya. Menyadari hal itu, membuat hati Brahma rasanya tidak rela.

Sungguh, sulit sekali itu melupakanmu.

Hara.

***

Mohon maaf bangat baru bisa update satu bab.
Jangan lupa vote dan komentar ya supaya saya tambah semangat buat nulis. ❤

Atau  ... share ke temannya untuk sama-sama baca cerita ini juga boleh bangat. 🤗

Salam,
Panda

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang