Empat Puluh Delapan

3.3K 138 8
                                    

Assalamu'alaikum.

[Ketika Kau Hadirkan Dia | Empat Puluh Delapan]

***

Dear Suamiku,

Maaf aku tidak sekuat Siti Khadijah. Tidak selembut Siti Fatimah. Dan tidak secerdas Siti Aisyah.
Sebab aku, hanyalah aku.
Makmummu yang biasa saja.

Ruangan putih. Hara menatap suaminya yang terbaring di sana. Ada banyak selang terhubung ke tubuh laki-laki itu. Kakinya menuntun Hara untuk duduk di dekat sang suami. Mengamati siluet wajah yang selalu tampak sempurna di bola matanya. Meraih telapak tangan yang dulu pernah menggenggamnya dengan erat.

Sekarang, tubuh itu diam tidak bergerak. Terlihat begitu lelah dan rapuh. Hara menyentuh wajah itu, lalu menciumnya dengan penuh perasaan. "Aku merindukanmu, Mas. Aku minta maaf selama ini selalu berprasangka buruk terhadapmu. Bukalah matamu sekarang. Sebab aku sudah di sini." Perkataan itu hanya dibalas oleh suara mesin pendeteksi denyut jantung. Diringi oleh airmata yang menetes dari pelupuknya.

Setelah mencium pipi suaminya sekali lagi, Hara bergerak ke kamar mandi untuk berwudhu. Dia memutuskan untuk salat di ruangan itu. Tepat di sebelah ranjang suaminya. Dia memohon. "Ya Rabb, maafkan hamba yang belum bisa menjadi makmum yang baik bagi suami. Sesungguhnya hamba tidak pernah marah kepadanya. Hamba tidak menaruh dendam sedikitpun. Jadi tolong sembuhkan dia. Maafkan segala salahnya."

"Ya Rabb, sesungguhnya hamba masih sangat mencintainya. Hamba tidak pernah berpikir untuk melupakannya. Hamba mohon, semoga Engkau memberikan ridho untuknya. Ampuni segala dosanya dan berkahi kehidupannya." Jeda, Hara mengembuskan napas dengan lelah. "Ya Rabbi, hamba mencintainya," sambungnya dengan airmata yang terus mengalir ke pipi.

Terdengar langkah telapak kaki. Hara menoleh dan mengulas senyum kepadanya. Itu Rayya, yang kini berdiri dengan kikuk di ambang pintu.

"Aku  ... aku mau ke toilet sebentar," katanya seraya mengusap hidung.

Hara bergerak merapikan sajadah, melipatnya. "Ada toilet di dalam ruangan ini? Kamu mau pergi ke toilet yang mana?" tanyanya.

Rayya diam. Terlihat sedikit malu.

Sedangkan Hara mengulas senyum sekali lagi. "Ayo ke sini, Ray. Kita berdoa bersama untuk kesembuhan Mas Dzakki. Dia masih suamimu, bukan?" katanya, lalu memberikan mushaf kepada Rayya. Hara lantas mencarikan kerudung untuknya. Dan kembali tersenyum saat melihat Rayya tampak anggun.

Namun, Rayya yang duduk di kursi sebelahnya terlihat tidak nyaman. "Tidak, Mba. Aku tidak pandai membaca Al-Quran," tolaknya dengan lembut. Rayya menggeleng pelan.

"Tidak apa, Ray. Kamu bisa ikuti Mba."

Akhirnya, Rayya pun menuruti perkataan itu. Mereka berdoa bersama untuk kesembuhan sang suami. Dengan penuh keikhlasan. Dengan penuh harapan. Dan dengan penuh permohonan. Hingga waktu berlalu dengan cepat. Rayya pun meraih tangan Hara dan menatapnya. Mereka saling pandang.

"Aku ingin mengatakan sesuatu, Mba," kata Rayya dengan pelan.

"Kamu mau mengatakan apa, Ray?"

Mengembuskan napas. "Aku mau minta maaf kepada Mba Hara. Maaf yang teramat sangat. Aku sadar bahwa kehadiranku menyakiti perasaan Mba secara perlahan. Kehadiranku menggoreskan luka di hati kalian. Maafkan aku." Rayya lantas menunduk dan Hara meraih dagunya. "Mba, setelah Mas Dzakki sadarkan diri nanti. Aku ingin meminta cerai. Aku bersyukur Allah telah mau membukakan pintu hatiku. Mungkin, ini semua berkat doa Mba Hara yang tidak pernah putus berharap kepada-Nya."

"Aku tidak pernah menaruh dendam kepadamu, Ray. Meskipun aku akui, bahwa kehadiranmu menggoreskan luka yang sangat perih di hatiku. Namun, aku sudah memaafkan itu." Hara menatap Rayya dengan sorot lembut. Lalu mengembuskan napas dan memeluk perempuan itu. "Semoga kamu bahagia dengan laki-laki pilihanmu nanti," sambungnya dengan sungguh-sungguh.

***

Brahma melangkah dengan cepat keluar dari kantor. Hari ini dia meminta izin untuk pulang lebih dulu setelah mendapat kabar kalau ibunya jatuh dan sekarang masuk ke rumah sakit. Laki-laki itu menuju meja administrasi dan bertemu dengan Hara di sana. Namun, kali ini perempuan itulah yang menyapa lebih dulu.

"Assalamu'alaikum," katanya dengan nada sopan. "Siapa yang sedang sakit?" Dengan alis bertaut, perempuan itu menatap ke arahnya.

"Wa'alaikumsalam," jawab Brahma setelah meraih struk pembayaran dari petugas administrasi. Pria itu melangkah ke samping dan memandang Hara. "Ibuku," ucapnya seraya menggerakan tangan. "Kamu sendiri kenapa ada di sini?" Brahma pun mengajak Hara untuk duduk di kursi.

Namun, Hara menggerakkan telapak tangan dan menolaknya dengan halus. "Suamiku sakit. Aku harus cepat kembali ke ruangannya sekarang."

Brahma menggangguk, membiarkan perempuan itu melangkah meninggalkannya. Hingga tidak terlihat lagi di tikungan koridor. Brahma lantas kembali melangkah ke ruangan ibunya. Namun, pikirannya tidak begitu tenang. Bukankah Hara akan bercerai dengan suaminya? Bahkan yang Brahma dengar bahwa ayahnya melarang ketat untuk mereka bertemu kembali. Dan sekarang?

Ketika Brahma sedang melamun di sofa seraya menunggu ibunya yang tengah tertidur, ponsel dalam sakunya bergetar pelan. "Woi, lama banget angkat teleponnya!" sambur Devan begitu saja saat panggilan sudah tersambung.

"Iya, sori. Ada apa?"

"Gimana kondisi Nyokap lo?" Entah benar atau tidak, suara Devan terdengar khawatir. Namun, belum sampai Brahma menjawab, Devan kembali berbicara, "Eh ntar lo balik lagi ke kantor nggak? Masa gue yang harus selesaiin pekerjaan lo? Udah gitu baru dikerjain dikit banget pula!"

Brahma tersenyum geli. "Ya minta dibantuin si gendut lah kalau nggak keburu," jawabnya dengan santai.

"Si Aryasa udah cabut duluan ke kantin!" seru Devan dengan nada jengah.

"Emang dasar ya Aryasa perutnya nggak bisa dikondisikan." Brahma terkekeh pelan. "Tenang, gue udah izin langsung ke Ketua Divisi kita. Nanti malam pekerjaan baru bisa gue kerjain. Gue udah bawa salinannya. Lo kalau udah jam istirahat ke kantin aja."

Devan mengembuskan napas. "Eh tapi Nyokap lo gimana sekarang?"

"Udah lebih baik. Gue langsung bawa ke rumah sakit dan alhamdulillah dapat penanganan yang cepat di sini."

"Alhamdulillah," sahut Devan di seberang sana. "Oke udah dulu ya, Bro. Perut gue mulai demo."

Panggilan berakhir. Brahma mengamati ibunya masih tertidur di atas ranjang. Pria itu melangkah mendekat, lalu mencium puncak kepala wanita paruh baya yang telah membesarkannya itu. Ada perasaan hampa yang dengan segera datang ke dalam hatinya. Perasaan bersalah yang tiba-tiba menyerangnya.

Seharusnya, sekarang dia sudah mengabulkan permintaan ibu. Wanita itu sangat ingin melihatnya menikah. Wanita itu sangat ingin melihat Brahma bahagia dengan seseorang.

Brahma meraih telapak tangan ibunya, lantas menggenggam dengan erat. Menciumnya. "Bu, aku minta maaf belum bisa menjadi seorang putra yang baik. Sampai saat ini, aku belum mampu mengabulkan permintaan Ibu," katanya seraya memandangi wajah ibunya. "Brahma sayang Ibu. Cepat sembuh. Nanti Brahma ajak Ibu jalan-jalan. Brahma janji akan menjadi anak yang baik, Bu," sambungnya, lalu mencium punggung tangan ibunya sekali lagi.

Sementara itu, di luar jendela rumah sakit, senja sudah mulai terlihat. Langit sudah menggunakan cahaya oranye ke tubuhnya.

***

Terima kasih banyak untuk kalian yang masih mau baca cerita ini. 💜
Mungkin sebentar lagi akan ending, tetapi saya kepikiran untuk buat sekuelnya. Semoga terlaksana. Aamiin.

Salam Hangat,
Novita

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang