Empat Puluh Enam

3.3K 136 17
                                    

Assalamu'alaikum.

[Ketika Kau Hadirkan Dia | Empat Puluh Enam]

Happy Reading.

***

Rayya sudah kembali dengan seorang suster yang mengekor di belakangnya, tetapi mereka terkejut saat melihat Dzakki yang nampak kesakitan. Dengan cepat suster mengambil tindakan, dibantu oleh rekannya yang segera datang. Rayya diminta untuk keluar. Perempuan itu melangkah mundur. Namun, dia berdiri memantung di depan pintu. Menatap dengan nanar.

Hingga sebuah tepukan mendarat di bahunya. "Rayya?" Sebastian. Pria dengan sweater hijau tosca serta sepatu sneakers itu menatapnya. "Lo kenapa ada di sini? Nggak kuliah?"

Rayya diam. Seolah seluruh organ tubuhnya tidak berfungsi. Saraf sensorik dan motoriknya tidak merespon dengan baik. Terpukul. Itulah yang dia rasakan sekarang.

"Lo sakit?" Sebastian kembali berbicara. "Gue antar lo pulang, ya? Sudah selesai periksanya? Atau lo periksa kandungan di sini?" Pertanyaan yang seharusnya masuk dalam draft hitam itu terlontar begitu saja. Dan setelahnya Sebastian menyesal karena melihat Rayya menangis pelan.

Sebastian menuntun Rayya untuk duduk. Perempuan itu menurut. Diam. Untuk sesaat, keheningan menyelimuti mereka. Padahal di dalam hati Sebastian mati-matian menahan semua pertanyaan yang ingin dia lontarkan. Sebastian menunggu. Biarlah Rayya terisak. Hingga perempuan itu merasa lega. Setelahnya, Sebastian baru akan menanyakan banyak hal yang mengganjal pikiran. Sungguh, demi apa pun, Rayya masih berarti di dalam hatinya.

"Dia sedang kesakitan," ujar Rayya. Pelan. Bahkan nyaris tidak terdengar. Kepalanya tertunduk. "Dia sedang kesakitan," ulangnya sekali lagi.

Sebastian hanya mengerutkan kening. Tidak mengerti maksud dari perkataan Rayya. Dia siapa yang dimaksud oleh perempuan itu? Sebastian menghela napas. Mengusap bahu Rayya. Berharap bisa membuat perempuan itu merasa sedikit lebih tenang. Sebastian menunggu Rayya hingga selesai mengeluarkan perasaan sedihnya. Dia senang bisa menjadi tempat menampung rasa sedih perempuan itu.

Hingga beberapa waktu berlalu dan Rayya masih sibuk dengan isaknya, membuat hati Sebastian membiru. Hentikan. Nyatanya mendengar suara sedih yang keluar dari mulut perempuan itu berhasil membuat Sebastian tertekan. Akhirnya Sebastian mengangkat kepala Rayya, mengusap airmata yang membekas di wajah.

"Kita cari tempat lain, ya? Yang lebih nyaman. Bagaimana?" Sebastian menatap Rayya. Hening. Entah apa yang ada di dalam pikiran perempuan itu. Bola matanya masih berair. "Gue siap untuk dengar semua curhatan lo."

Rayya masih membisu. Memandang Sebastian dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan. "Aku harus nunggu dia sini. Aku nggak mau ninggalin dia. Ini semua salah aku. Dia sakit seperti ini juga mungkin karena aku."

"Ray?"

"Suamiku. Mas Dzakki. Dia ada di dalam."

Sebastian menghela napas. Meraih puncak kepala Rayya lalu menyandarkan ke bahunya. Diam. Dia tidak mengatakan apa pun selain tangan yang terus bergerak mengusap kelapa Rayya. Orang yang dia sayangi. Bahkan hingga kini. Aneh sekali rasanya. Ternyata, melihat Rayya sedih jauh lebih sakit dari pada kehilangan perempuan itu.

"Dia harus cuci darah, Sebastian." Suara Rayya terdengar memprotes. Sebab tidak mendapat respon yang berarti selain usapan lembut di puncak kepalanya. "Mas Dzakki gagal ginjal."

"Semua akan baik-baik saja."

"Tapi Mba Hara belum tahu hal ini. Bagaimana kalau mereka akhirnya tidak bisa bertemu?" Rayya menatap Sebastian, dengan bola mata yang masih berair. "Aku nggak akan bisa maafin diri sendiri. Atau bahkan mungkin seumur hidup aku akan dihantui oleh perasaan bersalah. Sebastian, aku mohon tolong aku."

Sebastian menatap Rayya dengan lembut, lalu bertanya, "Gue bisa apa, Ray?" Bahkan gue nggak bisa milikin hati lo. Gue nggak bisa ada di dalam otak lo. Dan gue nggak bisa mendapatkan perasaan lo.

"Bantu aku." Suara itu nyaris memohon.

Dan kali ini, Sebastian menatap Rayya dengan tatapan pasrah. Tapi  .... gue nggak bisa juga lihat lo sedih.

***

Hara melangkahkan kaki dengan pelan di sebuah koridor gedung. Ini adalah hari kedua persidangan dan Mas Dzakki masih belum juga datang. Entah kenapa, tebersit perasaan sedih dalam hatinya. Apakah harus seperti ini akhir dari rumah tangga yang dibina oleh mereka? Mengapa sesakit ini?

"Ayah?" Laki-laki yang dipanggilnya menoleh. "Aku mau ke restoran sebentar. Mau makan. Boleh?" Sebab Ayah selalu melarangnya untuk keluar sendiri. Hara menatap dengan penuh harap. Dia ingin keluar sebentar. Menikmati suasana ramai. Sudah cukup kesepian yang terus menemaninya.

Laki-laki paruh paya itu tidak menjawab. Namun, kepalanya menoleh ke arah sang supir. "Tolong temani dia pergi. Biar saya pulang dengan taksi," katanya. Lalu melangkah lebih dahulu.

Ibunya menatap Hara dengan sendu. Mengusap pipi anaknya. "Ibu selalu doakan yang terbaik untuk kamu. Semoga bahagia ya, Nak." Lalu ikut menyusul langkah sang suami.

Dan Hara hanya bisa mengembuskan napas. Pasrah dengan keadaan mungkin lebih baik. Dia menatap Pak supir yang berdiri di sebelahnya. "Antar aku ke restoran seafood ya, Pak."

Pak supir mengangguk. Tidak banyak komentar.

Di perjalanan, pikiran Hara tidak lagi sikron.

Apa kabar dengan Mas Dzakki? Apakah laki-laki itu baik? Dia sudah makan atau belum?

Dan segala pertanyaan sejenis berterbangan di dalam kepalanya. Hara mengembuskan napas. Memilih untuk menatap bulan dari balik kaca. Pemandangan yang indah. Yang seharusnya bisa membuat perasaannya terasa lebih baik, tetapi ternyata tidak. Masih ada sesak yang menekan dengan kuat.

Langkahnya terayun anggun memasuki pintu restoran. Hingga seseorang menabrak bahunya. Hara meraih tas tangannya yang jatuh ke lantai. Lalu, saat dia sudah kembali berdiri dan menatap orang itu, sarafnya seolah kaku. Diam.

"Mba Hara?" Suara itu terdengar manis. Bahkan pemilik suaranya. Namun, entah mengapa malah membuat Hara menjadi tidak nyaman. "Ini beneran Mba Hara, kan? Oh, thank you God. Aku benar-benar nggak percaya bisa ketemu sama Mba Hara." Dia Rayya. Ada airmata di pipinya. Dan ada orang lain. Seorang pria dengan sweater yang berdiri tepat di belakangnya.

Hara diam. Otaknya merespon dengan lambat.

"Aku mohon Mba ikut aku sekarang, ya?"

Dan Hara mengertukan kening. Seriously?

"Sekarang Mas Dzakki ada di rumah sakit. Aku ingin membawa Mba Hara ke sana. Aku mohon." Rayya meraih telapak tangannya. Bola mata perempuan itu kembali dipenuhi oleh cairan bening. Bahkan telapak tangannya terasa dingin.

Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa Mas Dzakki masuk rumah sakit? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan laki-laki itu?

"Mas Dzakki sakit?" Itu kalimat pertama yang terlontar dari bibirnya. Kalimat singkat, tetapi dipenuhi oleh ribuan rasa khawatir. "Bagaimana dengan kondisinya sekarang? Apa dia baik? Tolong jawab pertanyaan saya, Ray."

"Mas Dzakki harus melakukan cuci darah."

Tubuh Hara mematung, menggigil. Seolah disiram oleh air es. Kalimat Rayya terus berputar di dalam kelapanya. Membuat perasaannya tidak karuan.

"Dia  .... menderita gagal ginjal."

***

Sebentar lagi mau puasa, ya.
Saya mau mengucapkan selamat berpuasa bagi yang menjalankan. 💜

Selamat bertemu di bab selanjutnya.
Semoga masih setia baca.

Salam Hangat,
Novita

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang