Empat Puluh Sembilan

3.6K 149 13
                                    

Assalamu'alaikum

[Ketika Kau Hadirkan Dia | Empat Puluh Sembilan]

Selamat membaca. 💜

***

Ruangan itu dingin, sunyi.

Hara memutuskan untuk mengambil wudhu. Salat malam mungkin bisa menyejukan hati serta pikirannya sekarang, seraya kembali berdoa untuk kesembuhan sang suami. Lalu membaca Al-Qur'an dengan suara yang lembut. Mencium pipi Mas Dzakki, dengan jemari yang bertaut pada tangan suaminya.

Kepalanya perlahan terjatuh ke atas kasur. Berada tepat di sisi sang suami. Kapan laki-laki itu mau membuka matanya? Sudah 24 jam lebih dia tidur. Apakah bebannya seberat itu sampai dia sangat kelelahan lalu tidak sanggup untuk menggerakkan kelopak mata? Hara mengembuskan napas. Dia harus tidur sekarang, supaya besok bisa bangun dalam keadaan baik-baik saja.

Namun, saat dia memutuskan untuk menutup mata, sebuah gerakan berhasil menahanya untuk terlelap. Iya, dia merasakan bahwa telapak tangan Mas Dzakki bergerak pelan. Lalu, sebuah usapan lembut hinggap di kepalanya. Sontak Hara segera mengangkat kepala. Melihat Mas Dzakki yang tersenyum sayu ke arahnya. Rasanya  ... Hara ingin mencubit pipinya sendiri sekarang.

"Hara?" Suara itu kembali dia dengar. Namun, kali ini sangat berbeda. Suara itu terdengar lirih. "Saya meminta maaf karena telah melukaimu dengan sangat banyak. Saya telah mengingkari janji untuk selalu menjagamu. Ra, saya sadar bahwa saya bukan suami yang baik. Maafkan saya." Laki-laki itu menangis sekarang. Tidak lagi menutupi rasa yang menekannya. Kini, laki-laki itu bersuara.

"Mas?" Hara meraih telapak tangan suaminya. "Aku tidak pernah membencimu." Dan dia ikut menangis. Mendekatkan punggung tangan suami ke pipi, memejamkan mata. "Aku tidak pernah terpaksa menikah denganmu. Jadi tolong jangan menghukum dirimu sendiri. Aku memaafkanmu, Mas."

Bunyi pintu didorong, Rayya muncul di sana. Dengan plastik berisi makanan. Dia melangkah mendekat dengan sinar wajah bahagia. Sebab Allah SWT telah mengabulkan doanya agar kedua orang baik itu bisa kembali bersua. Bisa kembali memandang. Dan bisa kembali menggenggam.

"Alhamdulillah. Terima kasih Ya Rabbi." Rayya bersujud di tempatnya saat itu juga. Airmatanya tidak bisa terbendung lagi. "Aku minta maaf ya, Mas." Rayya dengan cepat mendekati suaminya. Menaruh kepala ke atas kasur seraya memegang lengan sang suami yang bebas.

Mas Dzakki mengusap kepala Rayya. "Saya akan memaafkanmu, Ray. Terima kasih karena sudah bersedia membawa Hara ke sini. Saya sangat bahagia," katanya, lalu menoleh Hara yang masih duduk di sisinya. Terlihat mengulas senyum kecil.

Rayya mengangkat kepala. "Aku bawa makanan. Mba Hara pasti lapar, bukan?" tanyanya seraya berdiri, lalu melangkah mundur. Tersenyum saat melihat Hara mengangguk.

Selesai makan, Rayya memutuskan untuk pergi. Membiarkan Hara berdua kembali dengan Mas Dzakki di dalam ruangan. Sungguh, perasaan yang sudah nyaris akan tumbuh itu telah dia patahkan sebelum semakin membesar. Rayya sadar, bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan, yaitu sebuah perasaan. Masalah hati. Ini tidak bisa untuk kita paksakan. Mungkin bibir bisa saja berbohong, tetapi hati selalu tahu bagaimana perasaan yang sesungguhnya. Dan Rayya tidak mau memaksakan kehendak orang lain.

"Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Apakah kau mau melihat sun set?" Pertanyaan itu terlontar setelah seharian mereka menghabiskan waktu bersama. "Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kita duduk sedekat ini, Mas," sambungnya.

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang