Dua Puluh Tiga

2K 92 4
                                    

Assalamu'alaikum
[Ketika Kau Hadirkan Dia| Dua Puluh Tiga]

Happy Reading. ❤

***

Mungkin saat itu Brahma sedang beruntung, sebab hujan turun sebelum mereka berhasil mendapatkan taksi. Kedua perempuan itu yang merasa sudah lelah, akhirnya menerima tawaran Brahma. Sekarang mereka duduk di mobil. Ada senyum terlukis di bibir Brahma, meskipun dia duduk sendirian seperti seorang supir yang tengah mengantar dua penumpangnya. Namun, rasanya itu tidak masalah sebab yang diantarnya adalah perempuan yang masih berhasil membuat napas dan detak jantungnya menjadi tidak normal.

"Tolong antarkan kami ke villa terdekat." Suara Rizka memecahkan hening.

"Villa?" Brahma mengerutkan kening.

Hara melirik laki-laki itu. Melihat Brahma yang tampak heran. Namun, dia bersikap untuk tidak peduli. Memilih mengalihkan pandangan ke luar kaca dan menatap kegelapan. Hujan masih belum mau berhenti. Justru bertambah deras.

"Kami sedang ingin jalan-jalan." Rizka menimpali kalimat Brahma. Dia menganggukkan kepala dan mengulas senyum. "Rasanya seperti nostalgia bisa menikmati hari berdua lagi. Bukankah begitu, Ra?"

"Apa?" Hara menoleh saat bahunya disikut oleh Rizka, lalu mengangguk pelan. "Ah, iya. Rasanya menyenangkan sekali. Kita jadi bisa mengulang masa remaja seperti dulu."

Brahma sendiri mengangguk. "Kalian bisa menghubungiku jika membutuhkan bantuan," katanya dengan nada ramah. "Misalnya kalian ingin tahu tempat makan yang bagus di sekitar sini, aku bisa merekomendasikan untuk kalian."

"Terima kasih, Brahma." Sekali lagi Rizka yang menyahut. Sedangkan Hara masih asyik diam.

Tidak lama kemudian, mobil meluncur memasuki kawasan villa. Sebagai seorang laki-laki yang baik, Brahma membukakan pintu mobil dan melangkah di belakang kedua perempuan itu. Namun, saat telah berada di dalam dia dengan cepat menuju tempat administrasi dan membayar lebih dahulu. Hara yang kalah cepat lagi, mengembuskan napas. Mereka melangkah menyusuri koridor. Dan pada setiap langkahnya, hati Hara terasa sangat ngilu.

"Bisakah kita bicara sebentar?" Brahma membuka suara. Kedua perempuan di hadapannya menoleh dengan bingung. "Ah, maksudku bisakah kita berbicara sebentar, Hara?" Dia mengulanginya dengan senyuman ramah. Sebenarnya Brahma sangat lelah selepas pulang dari tempat proyek. Namun, melihat wajah Hara rasa lelahnya berganti  semangat. Bahkan Brahma ingin menatap wajah itu lebih lama. Jika boleh, dia juga ingin melukis ciptaan Tuhan itu di dalam hatinya. Memeluknya dengan erat di sana.

Rizka menoleh Hara dan melangkah pelan setelah melihat sahabatnya mengangguk. Brahma tentu tersenyum senang, dia mempersilakan Hara untuk melangkah lebih dulu. Mereka menuju ke balkon, semilir angin yang sejuk tidak bisa menghapus luka di hati Hara. Dan perempuan itu berusaha keras untuk menyembunyikan pedihnya. Brahma memintanya untuk duduk dan mereka berhenti di sana. Dengan jarak yang terpaut cukup jauh. Itu semua dilakukan oleh Brahma demi menghargai lawan bicaranya.

"Aku  ... boleh minta tolong sesuatu?" Ekspresi wajah Brahma terlihat sangat mewanti-wanti. Laki-laki itu duduk di kursi yang lain. Namun, pandangan keduanya sama tertuju ke satu arah; langit yang sudah gelap. "Ibuku sakit komplikasi sudah cukup lama. Berkali-kali beliau berkata kepadaku bahwa harapannya adalah ingin sekali melihatku menikah."

Perasaan Hara tersentil, dia menunggu dengan gugup. Skenario apakah ini? Apakah Brahma akan meminta tolong kepadanya untuk mau dinikahi? Tidak, jangan konyol. Sekarang dirinya bahkan masih menjadi istri sahnya orang lain. Apakah ini memang salah satu cara Brahma agar dirinya mau menerima laki-laki itu?

Terdengar embusan napas. "Aku belum bisa untuk memenuhi harapannya." Brahma menoleh Hara. Menangkap bahasa tubuh perempuan di sebelah dirinya. Mereka bersitatap sebelum akhirnya Hara mengalihkan pandangan. "Oleh sebab itu, beliau kemudian mengganti harapannya. Katanya, beliau ingin dibuatkan gaun yang indah oleh perempuan yang aku cintai." Jeda sejenak, Brahma sendiri merasa bahwa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Laki-laki itu berdeham. "Iya  ... sampai saat ini aku masih mencintaimu."

Embusan angin menelisik wajah Hara. Kelopak mata itu terpejam, menutupi keindahannya. Sebenarnya Tuhan punya rencana apa untuk hidupnya? Mengapa Yang Maha Kuasa tidak menghapus rasa dalam perasaan Brahma? Serta ikrar suci yang diizinkan untuk terucap dua kali dari mulut Dzakki. Apakah pernikahan ini hanya sebatas pengenalan? Apakah sebenarnya mereka tidak berjodoh? Seharusnya mereka tidak pernah saling singgah dan berbagi rasa.

"Tetapi aku tidak akan memaksamu."

Meresapi kesunyian yang membungkus, rasa nyeri di hatinya masih sangat menyiksa. "Aku mau," kata Hara dengan anggukkan kepala. "Secepatnya akan ku buatkan untuk beliau. Semoga lekas sembuh dan bahagia." Namun, rasa sakit itu cukup sudah dirinya yang merasakan. Dia tidak boleh membalasnya kepada orang lain. Perasaan kecewa atas sebuah pengharapan, biar dia saja yang menelan pahitnya.

Brahma kelihatan tidak percaya. Laki-laki itu menoleh Hara dengan cepat. Ada sesuatu yang merekah di dalam lubuk hatinya. Meskipun bukan pernyataan cintanya yang terjawab, tetapi baginya itu sudah lebih dari cukup untuk membasahi tanah yang sebelumnya tandus. Sekarang bahkan perahunya tidak lagi karam.

"Apakah kamu tidak ingin berubah pikiran?"

Hara tersenyum simpul dan menggeleng. Namun, tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Pandangan Hara kembali lurus menatap langit. Ada banyak sekali bintang di sana. Juga suara deburan ombak yang terdengar samar di telinga. Namun, pikirannya tetap melayang jauh. Meski sesakit apa pun, seorang istri tetap mencemaskan suaminya. Ah, dulu rasanya dunia sangat indah. Mengapa sekarang berubah? Apakah sebab Hara kurang bersyukur? Mungkinkah dia harus bahagia dengan pernikahan suaminya?

Brahma berdeham, memecahkan fokus pikiran Hara. Laki-laki itu melipat kedua lengan di dada. "Kamu terlihat sedih. Apakah ada masalah?" Dia menggerakkan kepalanya. Berusaha membaca raut wajah yang terlukis. Bola mata itu sangat jelas tengah menyimpan luka.

Gelengan kepala menyembunyikan segalanya. Satu yang harus Brahma ingat sekarang, bahwa dirinya baru saja mendapatkan lampu hijau. Jangan sampai rasa penasarannya membuat Hara berubah pikiran. Sebagai gantinya, Brahma pun memutuskan untuk berdiri. Menepukkan kedua telapak tangan dan tersenyum.

"Sebaiknya sekarang kamu istirahat," ucap Brahma, mempersilakan Hara untuk segera melangkah. Anggukan kepala didapatkannya. "Jangan sungkan untuk meminta bantuanku," sambung Brahma, saat mereka sudah melangkah kembali memasuki villa.

Dan, sekali lagi hanya anggukkan kepala yang menjadi jawaban. Meskipun begitu, berhasil memporak-porandakan perasaaan Brahma. Mereka berdiri di depan sebuah pintu. Awalnya dengan pandangan yang saling menghindar. Namun, setelahnya Brahma memberanikan diri untuk menatap. Membuat getaran dalam dadanya kian terasa.

"Hara?" panggil Brahma, yang membuat mereka akhirnya bersitatap lagi. "Selamat malam," sambungnya dengan senyuman.

Perempuan di hadapannya hanya mengangguk lagi. Namun, senyuman yang terlukis di bibir itu sungguh sangat manis. Brahma bahkan hampir lupa cara bernapas. Laki-laki itu mematung di tempat. Telapak tangannya memegang dada. Sementara tubuh perempuan yang tadi berdiri di hadapannya kini menghilang di balik pintu.

***

Panda

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang