Empat Puluh

3.5K 157 16
                                    

Assalamu'alaikum

[Ketika Kau Hadirkan Dia | Empat Puluh]

Happy Reading.

***

Seharian Dzakki tidak menyapa Rayya. Namun, ketika mendapati perempuan itu tidur di sofa dengan wajah lelah, Dzakki mencarikan selimut. Ingin sekali membangunkan Rayya dan menyuruhnya pindah ke kamar, tetapi diurungkan. Masih ada perasaan kesal. Namun, Dzakki sudah memesan Macaroni Bolognaise, Spaghetti Bolognaise, Cone Creme Brule, Fudge Chocolate Marshmallow dan Fruit Tea. Dia takut Rayya kelaparan. Sebab dirinya akan pergi keluar menghadiri sebuah acara.

Semua aksesnya kepada Hara ditutup habis. Dzakki sama sekali tidak bisa menghubungi istri pertamanya. Namun, dirinya bersyukur karena hingga detik ini setidaknya tidak ada panggilan dari Kementerian Agama.

Dzakki kembali masuk ke kamar, mengambil dasi yang terlupakan. Saat melewati ruang tamu, ternyata Rayya sudah terbangun. Perempuan itu hanya diam, tidak mengatakan apa pun. Mungkin Rayya juga masih kesal terhadapnya.

"Saya mau pergi," kata Dzakki tanpa menoleh. "Saya sudah pesanan makanan kalau kamu lapar. Jangan tidur terlalu larut," sambungnya sebelum berlalu pergi.

Tidak ada acara pemakaian dasi atau pun bersalaman. Mereka seperti orang asing. Dan mungkin memang seperti itu sejak dulu. Kenapa Rayya tidak pernah sadar selama ini?

Ketika Dzakki sudah keluar dari rumah, Rayya baru melangkah menuju jendela. Membukanya dan mengamati mobil Avanza Veloz berwarna hitam itu meluncur keluar dari gerbang. Setelah itu Rayya termenung. Pikirannya berkelemut. Yang seharusnya dia lakukan ialah memeriksakan kandungan. Yang harus dia lakukan ialah bahagia atas kehadiran sang buah hati. Yang harus dia lakukan sekarang ialah bersyukur.

Namun ... mengapa yang terjadi malah kebalikannya?

***

Hara masih termenung di depan cermin. Tidak bersemangat untuk pergi. Dia menunggu kabar gembira dari Rizka, tetapi tidak kunjung datang. Apakah sudah ada yang mengambil pekerjaan itu? Hara mengembuskan napas pelan, bahunya merosot. Di samping itu, tentu dia tahu bahwa cepat atau lembat Ayah pasti akan mengurus perceraian dirinya dengan Mas Dzakki. Itu pasti!

"Putriku?" Ibunya memanggil dari ambang pintu. Ada senyum lembut di wajahnya. "Ayo keluar, Sayang. Ayah sudah menunggu di mobil."

"Bolehkah aku tidak ikut, Bunda?"

Ibunya mengembuskan napas.

"Aku tidak bersemangat untuk pergi. Aku sedang tidak ingin bertemu dengan orang lain, Bunda."

"Ayahmu tidak mau dibantah, Sayang."

"Apakah aku harus menuruti perkataan Ayah kalau pada akhirnya Ayah akan tetap mengurus surat perceraianku?"

"Hara?" panggil ibunya seraya melangkah mendekat. "Kamu tahu bahwa setiap Ayah selalu ingin yang terbaik untuk putrinya?" Beliau mengajak Hara untuk berdiri, lalu menariknya melangkah. "Apa pun yang terjadi di dalam hidup, jangan pernah membenci. Jangan pernah berputus asa. Kita harus selalu yakin bahwa akan ada jalan keluar di setiap masalah."

"Apakah Ayah membenciku?"

Ibunya menggeleng, menempelkan telunjuk di depan bibir Hara. "Jangan berkata seperti itu."

"Berarti Ayah membenci Mas Dzakki."

"Ra?"

"Ayah bahkan tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Bunda."

Di depan mereka, berdiri megah mobil Vellfire hitam. Jendelanya terbuka, tampak Ayah di sana dengan pandangan lurus ke depan. Sama sekali tidak menoleh ke arah mereka. Hara tahu bahwa sekarang saatnya untuk menghentikan argumen. Jadi dia hanya diam. Ikut masuk ke mobil. Duduk di sebelah ibunya dengan perasaan yang sedang tidak baik-baik saja.

Di tengah perjalanan, Agreea sempat menelepon dirinya. "Ada pesanan banyak, Mba. Ohya, masa sekarang Mas Brahma udah nggak pernah datang ke butik lagi sih. Dan  ... Agreea ingat kalau tadi pagi Mas Dzakki yang datang ke butik nyariin Mba. Kok tumben bangat Mas Dzakki begitu?"

Yang tentu segera Hara putuskan panggilan itu. Mas Dzakki datang mencarinya ke butik? Mengapa setelah dirinya pergi laki-laki itu baru bergerak mencari? Mengapa tidak menjaganya selagi masih ada? Pikiran Hara sudah tidak sinkron sekarang.

"Ayah akan urus perceraian kamu secepatnya." Perkataan itu seperti petir yang menyambar perasaan Hara dengan cepat. "Kamu boleh pergi ke Singapura setelah perceraiannya selesai."

"Ayah?"

Tidak ada sahutan lagi. Ayahnya bahkan tidak menoleh. Apapun yang terjadi di dalam hidup Hara sekarang, bukanlah skenario yang dia inginkannya. Namun, mungkin sekarang adalah akhir dari segalanya. Hara harus ikhlas menerima itu. Mungkin selama ini semesta tidak pernah ridho akan perasaannya kepada Mas Dzakki. Mungkin dirinya hanya sebuah persinggahan.

Mereka sampai di gedung pencakar langit yang tampak megah. Hara tidak bersemangat untuk datang ke sini. Yang ingin dilakukannya hanya berada di kamar, berselimut malam dan indahnya rembulan. Di persimpangan koridor, tubuhnya tidak sengaja bersinggungan dengan seseorang yang ternyata Brahma.

"Hara? How are you? " katanya dengan nada seperti orang terkejut. "Senang bisa melihatmu lagi. Datang dengan siapa ke sini? Suamimu?"

Hara menggerakkan kepala dengan gugup. "Aku datang dengan Ayah dan Bunda," sahutnya. "Kamu sendiri dengan siapa?"

"Oh ini kantorku. Aku bekerja di sini."

"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Hara. Dia mengangguk pelan. "Kalau begitu aku duluan. Ayah dan Bunda pasti sudah menunggu." Dengan segera dia mengambil langkah.

"Tunggu!"

Langkah Hara terhenti. "Ya?"

Brahma mendekat. "Aku cuma ingin mengatakan kalau Ibu menitipkan salam untukmu."

Hara mengangguk sekali lagi dan mengulas senyum tipis. "Terima kasih. Sampaikan salam balik untuk beliau. Semoga lekas sembuh dan sehat selalu," katanya sebelum benar-benar pergi berlalu. Sungguh Hara sedang tidak mau berbicara dengan siapa pun sekarang.

Ayahnya tampak tengah berdiri dengan gagah bersama para rekan kerjanya. Mereka memotong sebuah pita sebagai lambang peresmian. Ayahnya tersenyum dihadapan semua orang dengan raut wajah yang terlihat bangga atas pencapaiannya. Ya, memang perusahaan yang sedang diresmikan sekarang adalah sebuah bentuk kerja sama dari dua perusahaan ternama.

Sementara ibunya tampak mengobrol dengan beberapa istri para kolega Ayah. Mereka tertawa seraya sesekali mengambil makanan yang tersedia di atas meja. Dan Hara? Apa yang harus dilakukan olehnya sekarang? Dia seperti orang asing diantara banyak orang. Mengapa Ayah tidak membiarkan dirinya di rumah saja?

Hara melihat Brahma yang melambai singkat ke arahnya, lalu bahu laki-laki itu ditinju oleh salah seorang rekan kerjanya. Mereka tertawa.

Dan ketika Hara ingin mengambil minuman ke sebuah meja, dirinya tidak sengaja bersinggungan dengan seseorang. Kali ini, orangnya berbeda. Orang yang berhasil membuat Hara menahan napas dengan segera. Orang yang membuat Hara kesulitan untuk menutup mulutnya. Orang yang bahkan membuat kaki Hara rasanya empuk seperti jel dan mungkin sebentar lagi dia akan pingsan. Oksigen di ruangan itu rasanya semakin menipis dengan begitu cepat.

"Assalamu'alaikum  ... Hara?"

Dan hanya satu kalimat singkat saja, pandangan Hara langsung mengelap sekarang. Perempuan itu kehilangan kesadarannya. Gelap. Gelap. Dan semakin gelap.

***

Apa kabar?
Masih ada yang nunggu gak, ya? :(

Maaf lama banget update karena tugas kuliah numpuk.

Tetap jaga kesehatan, ya! ❤

Salam,
Panda

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang