Dua Puluh

2.3K 127 8
                                    

Assalamu'alaikum
[Ketika Kau Hadirkan Dia | Dua Puluh]

Happy Reading. ❤

***

Sepeninggal suaminya, Hara menangis tersedu di sofa. Wanita itu meraih ponsel, menekan layarnya berkali-kali sampai sambungan terhubung  ...
"Halo?" Hara menggigit bibir bawahnya, menahan dengan kuat agar isakannya tidak terdengar. "Aku ingin ketemu kamu sekarang, Riz," sambungnya.

"Lo nggak apa-apa, kan, Ra?" Nada suara Rizka terdengar khawatir. Bunyi klakson dan suara kendaraan menjadi latar belakang, sampai telinga Hara tidak lagi mendengar keramaian, sepertinya Rizka mencari tempat yang sepi. "Oke, oke kita ketemu sekarang. Kamu share lokasi aja ke aku."

"Jemput aku di butik, bisa?"

"Oke, Ra." Terdengar suara yang lain. Sepertinya Rizka tengah berbicara dengan seseorang. Hingga kemudian wanita itu kembali memanggil nama Hara dan berkata, "Aku akan sampai di sana sepuluh menit lagi, oke?" Dengan nada terkesan terburu. Wanita itu mungkin sedang sibuk.

Panggilan terputus. Hara meraih tas tangannya dan bergegas pergi. Dia ingin melupakan rasa sedihnya sekarang. Berada di rumah lama-lama, memandang foto suaminya yang berada pada bagian sudut rumah, hanya akan membuat luka itu tergores semakin dalam. Hara ingin pergi jauh sekarang, sejauh yang dia bisa. Ingin membiarkan beberapa masalah terlepas sejenak dari bahunya.

Butiknya selalu ramai seperti biasa. Mutiara yang pertama kali menyambutnya saat memasuki butik. Gadis itu bahkan menanyakan kabar Hara. Yang ditanya hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Bahkan mungkin sekarang Hara sudah terlihat seperti seonggok mayat hidup. Wanita itu duduk di kursi putar dengan pandangan kosong.

"Wah, ada Mba Hara," celetuk Elyana setelah selesai melayani pembeli. "Tapi tumben bangat nih nggak bawa makanan," sambungnya.

Mutiara sampai tepuk dahi dan menggeleng pelan. Apakah Elyana tidak bisa melihat ada awan mendung yang menggantung di wajah atasannya?

"Aduh, lo itu badan udah mirip gajah masih aja mikirin makanan terus," sahut Keeyla, dia bahkan menggerakkan tangan dan memutar bola mata. "Ayo mending lo nabung, terus nanti beli skincare sama make-up kayak punya gue." Sekarang dia menggigit pulpen dan menatap langit-langit. "Oh iya hari minggu gue ada jadwal nge-gym. Lo ikut sama gue, yuk? Bakar lemak gitu."

"Ema gue pernah bilang, ya. Dari kecil gue dikasih makan supaya gede, lalu pas udah gede gue diet gitu? Itu namanya gue nggak bersyukur! Huh!"

Keeyla memutar bola mata lagi, kali ini dengan wajah sedikit jengah. "Yah, gue sih yakin ema lo juga pengen anaknya punya pacar, kan? Pasti beliau juga kepengen lah punya menantu terus gendong cucu?" sahutnya tidak mau kalah. "Ya kali ema lo masa tuanya cuma ditemanin sama anak yang gembul bangat kalau makan ini. Pasti pengen lah ditemanin sama cucu, bercanda kalau sore. Gue sih yakin bangat!"

Hara hanya mengembuskan napas pelan. Tidak peduli dengan perdebatan karyawannya. Bunyi ponselnya membuat wanita itu segera meraih. Menemukan satu pesan masuk dari Rizka, dia lantas memutar kepala dan melihat sahabatnya itu tengah melangkah masuk ke dalam butik. Langkahnya terkesan tergesa. Dengan lesu Hara mengukir senyum tipis kepada Rizka.

"Mau pergi ke mana, Ra?" tanya Rizka, setelah mereka berpelukan sebentar. "Oh iya aku beli ini untuk kamu. Enak banget deh," katanya seraya menyerahkan macaron cokelat.

Mengukir senyum tipis lagi, Hara memanggil Mutiara dan memberikan makanan itu. "Nanti tolong dibagi ke yang lain juga," ucapnya. "Ayuk kita pergi sekarang. Aku yang pilihin tempatnya."

"Are you oke?" Rizka menaikkan alis. "Dan bukannya kamu suka bangat sama macaron?"

Dan sekali lagi, Hara mengulas senyum tipis. Dia menggerakkan dagu ke arah pintu keluar, lalu meraih lengan Rizka. Mengajak sahabatnya itu untuk segera pergi dari sana sekarang. Sungguh, meskipun macaron itu sangat enak seperti yang Rizka katakan, tetapi Hara yakin tidak akan bisa membuat perasaannya membaik.

"Mba Hara?" panggil Agni, telapak tangannya sibuk menulis sesuatu di atas notes kecil. "Hari ini ada pelanggan yang pengen ketemu, Mba. Dia mau pesan banyak pakaian muslim untuk anak-anak." Agni menutup notesnya dan menatap ke depan dengan tubuh tegak.

"Mba minta tolong kamu aja yang ketemu, ajak Agreea." Telapak tangan Hara bergerak membuka tas tangan, mengeluarkan uang beberapa lembar. "Ini untuk pegangan kalau ada yang diperlukan," katanya sebelum pergi.

***

Sejak pagi hingga sekarang, yang Rayya lakukan hanyalah melamun. Seharusnya, pernikahan menjadi hal yang sangat didambakan oleh setiap perempuan. Namun, saat kenyataan menampar Rayya berkali-kali bahwa kini dia hanyalah perusak rumah tangga orang lain, bahkan senyum tipis pun rasanya enggan untuk terlukis.

Rayya menekuk lutut, menaruh dagunya di sana. Pernikahannya baru saja selesai. Dia sendiri tadi memutuskan untuk pulang lebih dulu. Bahkan sekarang Rayya pun tidak tahu suaminya ada di mana. Apakah nanti Mas Dzakki bisa mencintai dirinya sama besar seperti cinta untuk Mba Hara?

Seharusnya Rayya tahu, bahwa dirinya sama sekali tidak pantas disamakan dengan wanita sholehah itu. Dia bahkan sudah tidak suci lagi sekarang. Papa, rasanya Rayya sangat ingin dipeluk olehnya. Seharusnya dia memang sudah mati sekarang. Seharusnya Mas Dzakki tidak usah menolongnya.

Suara ketukan di pintu membuat dirinya menoleh. Ada ucapan salam yang terdengar lembut. Suara itu, entah kenapa selalu terasa menenangkan untuk didengar oleh telinganya. Rayya menoleh, melihat Mas Dzakki yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya. Dengan segera, Rayya pun menghapus sisa airmata yang masih ada di pipi.

"Kamu sudah makan?" Mas Dzakki duduk di sisi kasur. Mereka berjauhan. Rayya sendiri sama sekali tidak mengharapkan ada perlakuan manis dari laki-laki itu. Cukup sampai di sini saja dia membuat Mas Dzakki menderita. "Mau makan di luar sama saya?" sambungnya.

Rayya mengembuskan napas, lalu menggeleng. "Aku belum lapar, Mas." Dia membuang wajah lagi. Sungguh, ketika melihat laki-laki itu rasanya Rayya sangat merasa bersalah kepada Mba Hara, wanita yang sudah sangat baik terhadap dirinya.

"Kalau begitu, saya yang memintamu untuk menemani saya makan."

Menoleh lagi, Rayya memandang suaminya dengan sorotan sendu. "Kenapa kamu tidak menemui Mba Hara saja, Mas? Dia pasti sudah membuatkanmu sarapan sekarang." Untuk bukan jawaban. Sebab Rayya masih merasa tidak berhak mendapatkan perlakuan manis dari suaminya.

"Jika menyebut namanya hanya membuatmu merasa sakit, saya mohon jangan lakukan." Dzakki berdiri, mengusap pipi Rayya dengan pelan, lalu berlalu pergi. Namun, sebelum tubuhnya benar menghilang di balik pintu, laki-laki itu menoleh, "Saya akan minta asisten rumah tangga untuk siapkan makanan. Kamu tunggu di sini."

Airmata Rayya kembali menetes. Berapa lama dia akan bertahan dalam drama rumah tangga ini? Apakah dia akan berhasil menanam benih cinta di hati suaminya nanti?

***

Panda

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang