Assalamu'alaikum
[Ketika Kau Hadirkan Dia| Dua Puluh Enam]Sebelum baca, boleh vote dulu?
Happy Reading ya. ❤
***
Sekarang Hara tidak tahu harus melakukan apa. Rizka sudah dijemput oleh suaminya. Sahabatnya itu meminta maaf sebab tidak bisa menemani lagi. Hara mengerti itu, apalagi Rizka memiliki balita. Dia tidak mau rumah tangga sahabatnya ikut berantakan. Hara memilih untuk bangkit, tetapi Dzakki mencekal pergelangan tangannya."Saya ingin bicara." Ucapan Dzakki membuat suasana menjadi lebih tegang.
Setelah melirik Rayya, Hara mengangguk. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?"
"Tidak di sini."
Hara mengembuskan napas. Sebenarnya dia merasa bahwa hidupnya kini seperti drama. Memuakkan. Seandainya Hara bisa memutar lagi waktu yang dia punya. Mungkin dia akan memilih untuk terus berkarya daripada menikah. Oh, astaghfirullah! Hara menggeleng dengan cepat. Menunduk dan melangkah lebih dulu. Dzakki menyusulnya di belakang.
"Mau bicara apa, Mas?" tanya Hara, mereka berada di balkon kamar sekarang. Besi yang ada dalam genggamannya seharusnya terasa dingin. Namun, entah kenapa rasanya kebas. "Aku ingin sekali istirahat sekarang."
"Saya ingin mengajak kamu dan Rayya ke rumah Ayah." Dzakki meraih telapak tangan Hara. "Ra, saya tidak ingin dianggap laki-laki tidak baik oleh ayahmu. Saya ingin mengatakan yang sejujurnya kepada beliau sebelum beliau tahu dari orang lain. Sebab saya takut kehilangan kamu."
Air mata Hara menetes. Sesak yang ditahannya sejak tadi tidak dapat ditahan lagi. "Mas, kalau aku boleh jujur. Aku sangat sakit melihatmu menikah lagi dengan orang lain. Meskipun waktu itu aku yang memintanya." Dengan cepat perempuan itu mengapus cairan bening di pipi. "Aku hanya berusaha untuk tegar. Sebab aku masih sangat mencintaimu. Aku berharap ada keajaiban. Misalnya Rayya bertemu dengan seorang pria yang tulus mencintainya."
"Aku minta maaf." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Dzakki.
"Semuanya sudah terjadi, Mas. Aku juga tidak mungkin menyuruhmu untuk menceraikannya."
Dzakki menarik Hara ke dalam pelukan. Mendekap dengan sangat erat. Airmata Hara kembali keluar deras, membasahi dada bidang suaminya. Angin menjadi saksi bisu atas pecahnya hati mereka. Dan tanpa Hara tahu, Dzakki sering menangis di malam hari. Dia merasa gagal menjadi seorang suami yang baik untuk bidadari yang pernah dia minta dari yang Maha Kuasa.
"Saya ingin kita bertemu dengan orangtuamu, Ra."
"Sebaiknya jangan, Mas." Hara menggeleng. "Aku yakin Ayah akan sangat membencimu jika tahu akan hal ini."
"Tetapi cepat atau lambat mereka akan tetap tahu. Saya tidak ingin orangtuamu tahu dari oranglain. Saya ingin mengakui kesalahan saya."
"Mas, Ayah pasti akan memisahkanku darimu." Hara menggeleng lagi. "Meskipun aku sebenarnya sedang tidak ingin bertemu denganmu sekarang. Tapi aku tidak berniat untuk pergi darimu." Hara melepaskan pelukan. Membenarkan letak jilbab.
"Sekarang kita harus apa, Ra?"
"Biarkan semuanya berjalan dengan semestinya. Aku akan lebih banyak berdoa kepada Allah agar Dia mau memberikan keajaiban." Ada senyuman kecil menghias di bibir perempuan itu. "Aku yakin Allah pasti akan menolong kita."
"Saya tidak mau kehilangan kamu, Ra." Dzakki menggenggam telapak tangan istrinya dengan erat. Mendekatkannya ke bibir dan menciumnya.
"Aku tahu, Mas."
"Kamu percaya?"
Hara memandang suaminya, sebelum akhirnya mengangguk kecil.
"Terima kasih." Dzakki kelihatan sedikit lega. "Suatu saat kita bisa lakukan bayi tabung jika memang semua cara promil yang dilakukan tidak berhasil."
"Maafin aku."
"Tidak, Ra. Anak itu titipin Allah. Kita tidak tahu kapan akan diberi."
"Aku belum bisa menjadi istri seutuhnya. Mungkin karena itu Rayya muncul di hidup kita."
Dzakki menggeleng. "Kamu yang terbaik, Ra," katanya. "Sampai saat ini hanya kamu wanita yang saya cintai."
***
Rayya tidak tahu harus melakukan apa. Dia hanya duduk di sofa, sesekali memandangi hiasan di rumah itu. Seharusnya sekarang dia tidak ada di sini. Kehadirannya tentu hanya menggangu kebahagiaan orang lain.
"Kamu sudah makan?" Pertanyaan itu membuat Rayya menoleh, menemukan Hara yang sudah berdiri di dekatnya. Tidak lama kemudian, Dzakki muncul di belakangnya.
"Alhamdulillah sudah, Mba." Rayya mengangguk. "Aku mungkin sebaiknya pulang sekarang. Mas Dzakki dan Mba Hara pasti butuh waktu untuk berdua."
"Tidak, Ray." Hara menggeleng.
"Aku tahu Mas Dzakki pasti sangat merindukan Mba Hara."
"Kamu tetap di sini." Hara mendekati Rayya. "Mba ingin istirahat. Tolong temani Mas Dzakki."
"Tapi .... "
"Kamu juga istrinya Mas Dzakki, Ray." Hara lalu menoleh Dzakki. Tersenyum meminta maaf. "Aku ke kamar dulu," katanya sebelum pergi.
Rayya memandang suaminya. Tidak tahu harus mengatakan apa. Rasanya sangat canggung. Ini bukanlah pernikahan yang didambakan oleh seorang wanita. Di dalamnya tidak ada warna. Meskipun Rayya mengakui kalau dirinya menyukai Mas Dzakki.
"Kamu ingin membaca buku?" Pertanyaan Dzakki membuat Rayya menaikkan alis. "Hara punya banyak koleksi di perpustakaan. Kamu boleh membacanya."
"Oh ... iya." Rayya hanya mengangguk kecil. Dia bangkit berdiri. "Aku pergi dulu kalau begitu."
Sepertinya suaminya tidak ingin ditemani olehnya. Rayya mengembuskan napas. Dia mencoba untuk mengerti. Lagipula Rayya tidak bisa berharap lebih sebagai istri kedua. Apalagi dirinya sampai saat ini belum tahu apakah Mas Dzakki sudah mulai jatuh cinta dengannya? Tadi saat Rayya menanyakan hal itu, tiba-tiba saja mobil di depan mereka berhenti. Sehingga Mas Dzakki harus mengerem mendadak. Alhasil, pertanyaan itu terlupakan begitu saja.
Rayya melangkah menuju rak dan mengambil salah satu buku. Lalu memutuskan untuk duduk di sofa yang telah disediakan. Dia larut dalam bacaan sampai akhirnya ponselnya berdering. Ada nomor tidak dikenal yang tengah mencoba menghubunginya. Alis Rayya terangkat sebelah, lalu memutuskan untuk menandai halaman yang tengah dibacanya.
"Ha ...."
"Halo, Rayya." Suara itu menyela lebih dahulu. "Bisa kita bertemu?"
Leher Rayya terasa kaku. Bahkan rasanya tenggorokannya mendadak kering. Dia mengusap tengkuknya, merasa merinding mendengar suara itu. "Aku tidak tahu."
"Sebelumnya aku ingin meminta maaf," kata suara itu lagi. "Aku mengakui semua kesalahanku."
Yang bisa Rayya lakukan hanya diam. Untuk mendengar suara itu lagi bahkan rasanya dia belum siap. Setelah mengembuskan napas, akhirnya Rayya pun mematikan panggilan secara sepihak. Kemudian menaruh ponselnya jauh dari jangkauan. Benda itu berdering lagi, tetapi Rayya mencoba mengabaikan. Sampai akhirnya dia merasa kesal sendiri dan mematikan ponselnya.
Moodnya berantakan sudah. Rayya menutup bukunya, kembali menaruh di rak dan meraih ponsel. Memilih untuk keluar dari perpusatakaan. Mengapa sulit sekali untuk membuka lembaran baru dan menutup yang lama? Apakah mereka belum puas menyakiti Rayya?
Langkah kaki Rayya terayun menuju dapur. Mengambil gelas dan mendekati kulkas. Menuangkan air dingin, lalu meminumnya. Berharap dengan begitu pikirannya bisa menjadi jernih.
Satu yang ada dipikiran Rayya, apakah mereka dibebaskan?
***
Panda
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Kau Hadirkan Dia
RomanceNamanya Hara Azzahra, perempuan cantik nan shalehah yang rela melepas tawaran bekerja keluar negeri saat melihat keseriusan seorang laki-laki. Sebab bagi Hara, kodrat seorang istri lebih baik di rumah. Laki-laki itu bernama Dzakki Asla Muyassar. Dia...