Dua Puluh Lima

2.3K 112 6
                                    

Assalamu'alaikum.
[Ketika Kau Hadirkan Dia| Dua Puluh Lima]

Happy Reading. ❤

***

Brahma mengantarkan mereka pulang.  Meskipun harus melewati proses tawar menawar yang cukup panjang. Sebab sepertinya Hara memang merasa sungkan diantar olehnya. Oleh karena itu Brahma berusaha keras membujuknya sampai akhirnya perempuan itu luluh.

Sebelum memutuskan untuk kembali ke Jakarta, Brahma mengajak mereka untuk makan di restoran lebih dahulu. Mereka duduk di kursi. Brahma berhadapan dengan Hara, sedangkan Rizka di sebelah sahabatnya. Ada senyum di wajah Brahma ketika melihat Hara yang sesekali terlihat kikuk. Seolah-olah perempuan itu tahu sedang diperhatikan olehnya.

"Aku izin ke toilet sebentar, Ra."  Rizka bangkit berdiri.

Hara mencekal pergelangan tangan sahabatnya. Namun, setelahnya dia melirik ke arah Brahma. Merasa tidak enak meninggalkan laki-laki itu sendirian.

"Ada apa, Ra?" tanya Rizka seraya menaikkan alis.

"Tidak apa-apa." Hara menggeleng. "Jangan lama-lama perginya."

Rizka tersenyum geli. "Oke, Bos!" katanya sebelum pergi.

Sekarang hanya ada mereka berdua. Hara merasa sangat kikuk. Dia bahkan malu untuk menyuap makanan. Brahma sendiri asyik menyantap steak, tidak kelihatan canggung sama sekali.

"Suamimu pasti sangat beruntung," kata Brahma, laki-laki itu meletakkan garpu dan mendorong tubuh ke belakang. "Setiap makan mendapatkan bonus memandangi wajah istrinya yang cantik," sambungnya.

Hara menggerakkan lehernya yang terasa kaku. Berpura-pura mengalihkan pandangan dengan menatap sekitar. Jika seperti ini terus, dia tidak akan menyantap makanannya.

"Seandainya aku yang menjadi suamimu, aku pasti akan sangat bahagia." Brahma masih terus berbicara tanpa diminta. "Aku bahkan tidak akan pernah membiarkan ada airmata yang mengalir di pipimu. Sungguh. Kamu sosok wanita yang cantik luar dalam. Sulit untuk ditemukan pada diri wanita lain."

"Aku tidak suka caramu menatapku."

Brahma tersenyum. "Maaf," katanya. Laki-laki itu kembali meraih garpu. "Aku ingin sekali bertemu dengan suamimu jika boleh, Ra."

"Kenapa tidak?" sahut Hara kalem.

"Apakah dia laki-laki yang baik?"

Hara terdiam. Dia mengangkat kepala untuk menatap Brahma. Jika dulu, tanpa perlu berpikir panjang Hara pasti akan mengatakan bahwa Dzakki laki-laki terbaik di dunia. Namun, entah kenapa sekarang lidahnya menolak. Yang bisa Hara lakukan hanya mengangguk pelan. Seolah dia sendiri juga tidak yakin.

"Aku harap dia tidak akan pernah menyakitimu."

Udara di sekitar rasanya semakin membuat Hara kian sesak. Untunglah Rizka kembali bergabung dengan mereka. Sehingga dia bisa mengganti topik pembicaraan dengan hal lain. Kepergiannya ini upaya untuk melupakan rasa sakit. Hara tidak mau ada yang membahas tentang suaminya dulu.

"Habis ini mau belanja dulu nggak?" Hara sengaja mengalihkan pandangan ke arah Rizka.

"Belanja apa, ya." Rizka berpikir sejenak. "Kalau aku sih pengen bangat ke Jogja nih." Sekarang dia sudah duduk. "Kapan-kapan, yuk!"

"Boleh tuh, Malioboro!"

"Aku nggak diajak nih?" Brahma menyela obrolan keduanya. Laki-laki itu meraih tisu, mengelap sudut bibir dan tersenyum. "Aku hanya bercanda."

Hara mengembuskan napas. Sebab laki-laki itu sudah lupa dengan topik pertama  mereka. Dia tersenyum kepada Brahma, lalu berceletuk ringan, "Kalau ditraktir sih nggak apa-apa ya, Riz?" Ada derai tawa setelahnya.

Brahma melongo. Selain karena tawa perempuan itu yang terdengar indah di telinganya, juga karena ucapannya baru saja direspon dengan baik oleh Hara. Sampai Brahma menepuk pipinya sendiri dan meringis.

"Kamu kenapa?" Hara menaikkan alis.

Brahma hanya menggeleng. Laki-laki itu tersenyum saat melihat Hara mengibaskan telapak tangan, tertawa seraya mengobrol dengan Rizka di sebelahnya. Rasanya steak tidak lagi menggoda dibandingkan dengan senyum perempuan itu. Brahma mendorong piringnya, melipat kedua lengan di depan dada.

Nikmat mana lagi yang aku dustakan?

***

Mereka sampai di rumah Hara. Tadi Rizka sudah mengabari suaminya agar menjemputnya di sana. Sebab rasanya tidak enak jika Brahma harus bolak-balik mengantarkan mereka. Dan tentu saja dengan keberadaan Rizka sekarang membuat Hara bisa mengembuskan napas lega saat melihat mobil suaminya terparkir di dalam. Setidaknya dia tidak terlihat seperti istri yang ketahuan jalan dengan selingkuhan.

"Terima kasih." Hara segera keluar dari mobil. Menarik tangan Rizka. "Aku akan mengganti uangmu." Dia melangkah menjauh.

Sayangnya, Brahma ikut keluar dari mobil. Bertepatan dengan Dzakki yang muncul dari balik pintu. Hati Hara rasanya remuk redam saat melihat Rayya berada di belakang suaminya. Oh, sekarang sudah menjadi suami perempuan itu juga. Hara menarik napas banyak-banyak. Rasanya sangat sesak.

"Hara?" Suara Mas Dzakki. Sungguh, Hara sangat merindukan suara itu. Namun, sekarang rasanya berbeda. Bukan lagi getaran bahagia yang muncul di hatinya.

"Assalamu'alaikum, Mas," salam Hara. Dia segera bersalaman dengan suaminya.

"Wa'alaikumsalam. Kenapa kamu mematikan ponsel?" Dzakki merengkuh tubuh istrinya dengan sangat erat. "Apakah kamu tidak tahu bahwa saya sangat merindukanmu?"

Di belakang mereka, Rayya menahan napas.

"Aku yang mengajaknya keluar. Maaf tidak meminta izin kepadamu." Rizka beralibi. Lagipula tidak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya, bahwa Hara sengaja menghindar. Dia tidak mau rumah tangga sahabatnya itu hancur, kecuali jika Hara sendiri ingin mengakhirinya.

"Ya sudah tidak apa-apa." Dzakki tersenyum. "Apakah kamu sudah makan? Saya akan belikan lauk untukmu sekarang juga jika belum."

"Mas?" Hara melangkah mundur, dia menoleh ke belakang dan melihat Brahma yang masih berdiri di sana. "Kenalin, itu Brahma, teman aku."

Kedua laki-laki itu saling pandang. Semakin sesak rasanya. Namun, melihat keduannya kini saling menyapa dan berjabat tangan, Hara rasa dia bisa mengembuskan napas lega.

"Dzakki, suami Hara."

"Brahma."

Rayya melangkah mendekatinya. Sungguh Hara tidak ingin melihat wajah perempuan itu di sini. Hatinya sangat teriris. Namun, yang dia bisa lakukan hanya balas memeluk saat tubuhnya direngkuh. Rayya menangis, dengan isakan yang cukup hebat. Rizka sendiri berdiri di belakang Hara, mengusap punggung sahabatnya itu untuk memberikan kekuatan.

"Kamu sangat beruntung bisa mendapatkan Hara," kata Brahma, yang membuat Dzakki menaikkan alis ke arahnya.

Hara memejamkan kelopak mata, dia mengajak tubuh Rayya untuk melangkah menjauh. Tidak ingin perempuan itu mendengar kalimat yang mungkin saja akan melukai hatinya keluar dari mulut Brahma. Sedangkan Rizka masih berdiri di antara kedua laki-laki itu. Mendengar percakapan mereka.

"Aku tidak berhasil mendapatkannya dulu." Brahma kembali berbicara. Laki-laki itu menepuk bahu Dzakki sekali. "Tolong sayangi dia. Jangan sampai perasaannya terluka," katanya.

Dzakki kelihatan bingung, tetapi mengangguk. "Oh, tentu. Dia istriku, bukan? Seorang suami pasti akan menyayangi istrinya."

Brahma ikut mengangguk. "Aku pamit pulang," katanya. Menoleh Rizka yang berdiri di sana.

"Terima kasih." Rizka tersenyum.

"Semoga kita ketemu lagi," ucap Brahma kepada Dzakki sebelum membalikkan tubuh.

Dzakki mematung di tempat. Sungguh, dia masih bisa melihat ada cinta di bola mata laki-laki itu. Sepertinya  ... Brahma masih menyukai istrinya.

***

Panda

Ketika Kau Hadirkan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang