Permintaan Roy yang Aneh

5.2K 321 0
                                    

Aku patut bersyukur karena perjalanan menuju Bandung dari Jakarta tidak mengalami hambatan yang berarti. Sepanjang perjalanan Ghaida begitu fokus menatap jalanan, sembari kami isi udara di dalam mobil ini dengan gelak tawa dan candaan yabg rasanya tak pernah bisa berhenti.

Pada kesempatan ini tidak aku buang begitu saja dengan percuma. Aku gunakan untuk sedikit mengulik cerita seputar percintaan dia dan Bang Faris. Aku masih begitu penasaran dengan cerita mereka.

"Da, ceritakan dong, gimana bisa kamu dekat abangku?" tanyaku.

"Kenapa tidak menanyakannya pada Bang Faris?" tanya Ghaida balik sembari mata yabg tak lepas menatap jalanan dari balik kemudi.

Mencari tahu dari Bang Faris? Ah, mustahil.

Lelaki itu irit bicara. Yang ada dia hanya akan kabur dengan dalih ada kesibukan. Terlalu dibuat-buat alasannya itu. Padahal aku tahu pasti, memang dia saja malas meladeni setiap pertanyaanku, Mira, dan juga Tante Sarah.

Beruang Kutub menyebalkan!

Semenjak mengetahui sosok di balik panggilan itu, aku semakin sering memanggil Bang Faris begitu. Awalnya dia tentu marah. Lama-kelamaan Mira malah ikut-ikutan, sekarang panggilan itu seperti melekat erat padanya. Bahkan aku pernah sekali waktu mendengar Kakek memanggilnya dengan nama itu. Aku hanya bisa terkekeh melihat wajah Bang Faris yang tiba-tiba memerah. Mungkin, dia syok dan menahan marah. Mau marah? Kurasa dia masih sadar dengan istilah: jangan durhaka pada orang yang lebih tua.

"Kaya gak tahu Bang Faris aja. Dingin dan sedikit bicara gitu," balasku bersungut-sungut. Ghaida langsung terkekeh mendengar kalimatku.

Pada detik berikutnya, "Baiklah, akan aku jelaskan. Saat pertama kali aku ke rumahmu, di saat itu, kan, aku menunggumu keluar kamar. Entah kenapa abangmu keluar, mengajak bicara. Pembicaraan kami sangat mengasyikkan saat itu, tapi aku juga tidak menutupi bahwa saat itu sangat canggung."

"Lalu?" tanyaku penasaran.

Ghaida menarik napas dalam-dalam lalu mulai menceritakan lagi. "Beberapa waktu berikutnya, kamu dapat tugas ke luar kota selama seminggu, di saat itulah Bang Faris malah mengajakku untuk makan siang bersama setiap harinya."

"Yang benar?" Aku sungguh tak menyangka Bang Faris ternyata bisa sedikit agresif juga mendekati wanita. Padahal baru beberapa kali bertemu.

"Masa aku bohong," balas Ghaida cepat, "aku juga sedikit heran. Kamu selalu cerita dia orang yang jarang bicara, tapi di depanku dia malah sering bicara. Dia orang yang sangat asyik untuk diajak bicara, open minded, diskusi dengannya pun juga tidak terlalu kaku. Aku suka.

Yang membuat aku yakin dengannya adalah karena dia berbeda dengan laki-laki lain. Saat orang di luar sana hanya menghabiskan waktu dengan pacaran yang tak jelas, dia malah menawarkan sebuah masa depan yang menjanjikan. Bukan janji semata, tapi memang berani datang ke rumah. Karena dia juga aku akhirnya bisa mengubah penampilan seperti saat ini."

Aku hanya bisa ber-oh ria, dengan kepala yang masih mencoba mencerna cerita itu dengan baik, walau logika sungguh sangat menolak.

Sulit kupercaya.

"Kamu jangan bilang tentang kalimat terakhir sama dia, ya! Entar tingkat PD-nya mendadak selangit."

"Baiklah."

Usai mengatakan itu aku langsung tertawa. Aku sungguh bingung bagaimana nanti rumah tangga mereka. Yang satu dingin, sedang yabg lainnya malah usil dan jail. Aku jamin suasana rumah mereka akan sedikit heboh. Eh, ralat. Sangat heboh. Bagaimana tidak? Ghaida selalu mampu memecah suasana.

Beberapa hari yang lalu, Bang Faris dan Ghaida sudah membuat keputusan bahwa mereka akan tinggal di rumah Kakek. Aku sedikit terkejut, kukira Bang Faris akan memilih hidup mandiri dengan membangun rumah hanya berdua dengan calon istrinya. Ternyata mereka sepakat untuk tetap di rumah Kakek. Usut punya usut, ide itu berasal dari Ghaida.

Suatu sore Ghaida bercerita bahwa tak tega memisahkan Bang Faris dengan seluruh keluarganya. Dia tahu, bahwa Bang Faris sangat menyayangi kami. Ghaida hanya tidak ingin, kehadirannya malah menjadi pembatas antara Bang Faris dan keluarga, terlebih pada Tante Sarah yang tak lain adalah ibunya Bang Faris.

"Bang Faris itu masih milik keluarganya. Kalau dia memilih bersikeras untuk membangun rumah sendiri, aku takutnya itu akan menciptakan batas antara kalian dan Bang Faris."

Kalimat Ghaida saat itu langsung menyadarkanku bahwa Ghaida adalah wanita yang pada dasarnya punya sikap dewasa, hanya saja selama ini tertutupi oleh segala sikap konyol dan jailnya.

Bersyukurlah Bang Faris mendapatkannya sebagai istri. Tante Sarah patut hatinya dipenuhi ketenangan karena memperoleh calon mantu yang begitu pengertian.

****

Perjalanan akhirnya sampai juga. Kami sudah sampai di sini, tempat resepsi adiknya ibu Haura berlangsung.

Kedatanganku dan Ghaida langsung disambut Ibu Haura dengan hangat. Suara dan cara bicara yang sangat panjang tiada henti seperti langsung memecah suasana. Ghaida yang pada dasarnya suka bicara saja hanya bisa bergeming mendengarkan setiap kalimat Ibu Haura, apalagi aku. Aku hanya tersenyum sesekali. Jujur saja, aku sudah merindukan sifat cerewet wanita satu ini.

"Ibu Hawa sama temannya makan dulu. Saya mau ke sana sebentar." Ibu Haura menunjuk ke arah dekat pelaminan. "Nanti saya ke sini lagi. Entar kalau dirasa kurang, ambil aja lagi makanannya." Ibu Haura setelah itu meninggalkanku dan Ghaida yang sedang duduk sambil memakan makanan yabg tersedia di atas meja.

Kutatap punggung Ibu Haura yang mulai menjauh, lalu mengalihkannya pada Ghaida. Kulihat dia geleng-geleng setelah kepergian wanita itu.

"Oh, jadi itu yang kamu ceritakan. Orangnya baik, tapi telingaku seperti tumpah ruah karena dijejali banyak kalimat," ucap Ghaida.

Aku terkekeh sejenak. "Kalau udah lama, pasti terbiasa." Sempat ada jeda dalam kalimatku. "Emang kamu gak cerewet apa?"

"Levelku masih di bawah dia, Wa," balas Ghaida berapi-api.

Aku kembali tertawa kecil. Memang benar, Ghaida levelnya masih di bawah sedikit, tapi tipis sekali

Waktu terus berlalu. Tak terasa sudah satu jam lebih aku dan Ghaida berada di sini. Rencananya usai dari acara ini, kami akan pergi ke beberapa tempat untuk mencari oleh-oleh buat keluarga kami.

Baru saja ingin menjauh pergi, langkahku terhenti saat Roy, Ayu, dan kakak iparnya Roy datang. Kami sempat berbasa-basi dulu sebentar.

"Apakah kalian ingin langsung pulang?" tanya Roy.

"Kami rencananya mau jalan-jalan dulu. Sayang, kan, sudah jauh-jauh ke sini, tapi hanya sebentar," balas Ghaida.

"Syukurlah."

Aku mengernyitkan dahi. Apa maksud kalimat Roy.

"Emangnya ada apa?"

Roy melirik jam yang melingkar di pergelangannya. "Nanti siang, tepatnya pukul dua, kalian tunggu aku di salah satu restoran. Selepas dari sini akan aku beri tahu tempat kita bertemu. Apakah kalian bisa?"

🌿🌿🌿

Insya Allah, part berikutnya akan menjadi part terakhir.

Btw, sorry agak lama up-nya. Si penulis yang sok sibuk ini lagi kelelep sama tugas 😆

Barabai, 25 Desember 2020

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang