Pov Ihsan
Aku sangat marah saat Mama memutuskan untuk aku menjauhi Lili. Perasaan cintaku pada wanita cantik itu tentu tak bisa hilang begitu saja, walau telah hadir seorang istri yang tak bisa kupungkiri dia begitu baik. Beberapa kali aku bersikap dingin, dengan harapan dia akan mulai jenuh dan berpikir untuk berpisah, tapi yang kulihat sejauh ini dia malah sangat gigih untuk bertahan.
Aku kasihan dengannya, tapi pernikahan tanpa cinta tentu saja hanya akan meninggalkan luka. Bagiku pernikahan ini adalah neraka dunia.
Berkali-kali aku mencoba menghubungi Lili untuk meyakinkannya bahwa masih dia yang ada di hati ini. Dia membuat jarak yang jauh, nomor handphoneku juga diblokir, sampai akhirnya kami bertemu lagi pada acara pernikahan salah seorang teman.
"Lili itu cantik, San," ucap Hawa.
Tentu saja. Wajah putih manis, hidung lurus mancung, mata yang teduh, dan bibir tipis yang selalu mengukir senyum itu selalu mampu membuat hatiku senang. Dia tidak hanya cantik, tapi juga dihiasi kepribadian yang baik. Bagiku, pesona Lili tidak ada duanya. Namun sayang, Mama masih tidak bisa terima profesi Lili sebagai model. Aku bisa saja meminta dia berhenti agar sambil bersama-sama meraih restunya Mama, tapi Lili adalah wanita mandiri dan kokoh dengan apa yang dia mau.
Sebelum pergi ke Bali, aku sempatkan pergi dulu ke Jakarta. Lili sedang ada urusan kerja di sana. Aku ke sana dengan tujuan untuk mengajaknya bicara lebih dalam mengenai hubungan ini. Aku masih tidak bisa untuk meninggalkannya. Pada makan malam itu juga aku tahu, bahwa ternyata dia juga masing menyimpan rasa yang sama. Akhirnya, seperti inilah kami, sama-sama memendam rasa, tapi tak pernah bisa bersama.
Dari saat itu, setiap pulang kerja atau akhir pekan, aku akan mengajak Lili jalan-jalan atau sekadar menonton. Kami seperti pasangan bahagia yang sedang memadu kasih. Namun percayalah, kami hanya sebatas itu. Aku tak pernah berbuat lebih kepada Lili. Bagaimana pun aku tahu batasan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahrom.
Semula semua berjalan lancar. Membagi waktu sebisa mungkin antara rumah dan juga luar. Semakin hari aku merasa berada di rumah hanya membuatku semakin tersiksa. Jika waktu libur tiba, aku lebih memilih keluar, daripada harus di rumah terus-terusan.
Sering sekali emosiku naik-turun tanpa sebab. Semua seakan-akan menjadi kacau. Benar kata Kak Yusuf tempo hari, bahwa berurusan dengan dua hati sekaligus akan mendatangkan kata rumit. Aku tak punya pilihan lagi. Selama menurutku hal itu menyenangkan hati, maka akan aku lakukan terus. Namun, semua mulai berubah saat Hawa mengatakan kebenaran tentang perasaannya, aku merasa dia sangat hebat memanfaatkan kesempatan. Wanita yang tak berperasaan karena mementingkan kebahagiaannya sendiri, tanpa peduli padaku.
Amarah yang mengepul, ditambah rasa frustasi atas semua yang terjadi, membuatku melakukan kekhilafan terbesar yang sangat aku sesali.
Astaga, betapa bodohnya aku.
Aku merutuki diri sendiri ketika melihat darah di sprei. Padahal aku berniat memberi efek jera, tapi kurasa hal ini .... Aku hanya berharap tidak ada sesuatu yang buruk nantinya.
Harapan tinggal harapan. Semenjak kejadian itu Hawa menjadi sosok yang lebih pendiam. Jiwa ceria yang selalu menyambutku di depan kamar dengan kalimat ajakan untuk sarapan, kini tak lagi ada. Dia menjadi pribadi yang berubah. Begitu betah mengurung diri di kamar.
Aku yakin, ini pasti berkaitan dengan kejadian pada malam itu.
Maafkan aku, Wa.
Aku sangat menyesal. Seandainya aku akan tahu kejadian menjadi seperti ini. Aku pasti meminta kejadian pada malam itu tidak pernah terjadi. Ah,nasi sudah menjadi bubur.
Aku yang sadar akan kesalahan, berusaha untuk berperilaku baik padanya. Namun, sikapnya malah sangat dingin. Seiring dengan perubahannya itu, aku merasa ada sesuatu yang aneh pada diri ini. Entahlah ....
Dulu, aku bisa begitu santai menatap mata sendu Hawa dan gurat sedihnya saat sarapan tak pernah kusentuh. Namun kali ini, mata yang menatapku dengan nanar itu seakan-akan menorehkan luka yang mendalam di jiwaku.
Ada apa ini?
Pada suatu waktu, dia diantar pulang oleh lelaki lain. Aku sangat tidak terima melihatnya. Berani sekali dia membawa laki-laki lain ke rumah. Memangnya, apakah dia tidak sadar kalau sudah menjadi seorang istri?
Perkelahian tak terhindarkan, dan sekali lagi kesalahanku dibuat. Aku tahu, Hawa juga manusia biasa. Dia akhirnya sampai juga pada keputusan untuk meninggalkan rumah. Seharusnya aku bahagia. Bukan kah itu yang aku inginkan sejak awal darinya, tapi sekarang ... aku malah mencegahnya pergi dengan kalimat ancaman talak. Kukira dia akan tetap pergi. Namun perkiraan itu salah, dia malah masih memilih bertahan pada rumah tangga yang tidak bisa dikatakan sehat ini.
Apakah dia memang setegar itu? Atau kah rasa cinta yang dulu dia utarakan memang sangat besar?
🌿🌿🌿🌿🌿🌿
"San, aku tidak bisa terus-terusan seperti ini," rengek Lili. Malam ini dia kembali mengutarakan keinginannya untuk mengakhiri hubungan, tapi aku malah menolak.
"Istrimu itu sangat baik. Kalau hubungan ini tetap berlanjut, apa bedanya aku dengan pelakor di luar sana?" Suara Lili sudah sedikit meninggi.
Aku lagi-lagi hanya bisa menatap jalanan dari balik kemudi, sesekali mengusap wajah kasar. Aku saat ini benar-benar kacau. Di satu sisi aku tidak ingin berpisah dengan Lili, tapi sisi keegoisanku yang lain untuk mempertahankan Hawa juga perlahan mulai tumbuh.
"Bermain api, akhirnya tanganmu yang terbakar." Kalimat Kak Yusuf kembali terngiang.
Apakah aku salah untuk mempertahankan keduanya?
"Aku sepertinya tidak bisa melepas kamu, Li. Kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu," ucapku setelah membukakan pintu untuk Lili.
Lili menutup pintu mobil lalu menatap wajahku lekat. "Tapi bagaimana aku? Bagaimana Hawa? Kemarin aku benar-benar takut melihat cara bicara dan tatapannya. Aku ini juga perempuan, San. Aku sadar, dia juga sangat sakit selama ini. Biarlah, kita akhiri saja hubungan ini. Aku mohon!"
"Biarkan aku berpikir dulu, ya, Li."
Kupacu kembali mobil untuk pulang. Jalanan mulai sepi karena mengingat ini memang bukan jam orang berkeliaran di jalan. Sepintas aku merasa, atau khayalanku saja, bahwa mobil hitam di belakang itu sedari tadi mengikutiku.
Penasaran yang berhasil menyelimuti diri, akhirnya kuinjak rem dan keluar dari mobil. Begitu pula dengan mobil di belakang. Seseorang keluar, wajahnya tak dapat kulihat jelas karena tercampur dengan silau lampu mobilnya.
Bari saja turun dan melangkah mendekat, dia malah mendaratkan pukulan tepat di wajahku. Sekitar tiga kali pukulan di wajah, lalu disusul dengan hantaman keras di perut menggunakan lutut.
"Siapa, lu? Kurang ajar banget!" teriakku.
"Lu pantas dapat. Dasar cowo brengsek!"
Kutatap wajahnya lebih jelas. Ah, ternyata dia. Lelaki yang beberapa hari lalu mengantar Hawa pulang. Roy.
"Ada masalah apa lu sama gue?"
"Gue punya masalah besar sama cowo yang gak tau diuntung."
Sekali lagi Roy melayangkan pukulan ke wajah dan membuat ujung bibirku berdarah. Mendapati itu, aku langsung membalas memukul tepat di pipi kirinya.
Roy sempat terdorong. Ada jarak yang tak jauh di antara kami. "Hawa itu terlalu baik buat lu. Kalau gue ngelihat lu masih jalan sama itu cewe tadi, lebih baik kembalikan Hawa ke keluarganya. Biar aku aja yang urus dia."
Apa-apan dia? Berani sekali mengatakan itu.
Roy berlalu masuk mobil, dan tancap gas meninggalkanku.
"Kurang ajar lu!" teriakku memaki seraya memandang mobilnya yang kini malah menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...