Ghaida memelukku erat. Aku pun membalas dekapan sahabatku itu dengan perasaan yang hangat. Sehangat mentari yang masih bersinar menuju peraduan di ufuk barat itu.
"Suruh mereka untuk jangan khawatir tentangku." Aku yakin, mereka--keluargaku--akan syok dan khawatir dengan keputusan--terkesab mendadak--yang aku ambil ini.
"Yang lain mungkin bisa. Tapi ... kamu tahu sendiri, kan, bagaimana calon suamiku itu?" Ghaida terkekeh saat mengucapkannya.
Aku tersenyum sekilas lalu mengangguk. Ah, biarlah. Laki-laki satu itu terkadang memang berlebihan. Mau sok menjaga, gaya seperti super hero untuk keluarga, tapi malah bikin ribet.
"Kamu tenang, bagaimanapun mereka pasti akan senang. Bang Faris biar jadi urusanku," ucap Ghaida sebelum menutup pintu mobil.
Aku melepas kepergian mobil Ghaida dan Roy yang mulai meninggalkan halaman parkir. Aku harus banyak berterima kasih pada lelaki itu. Dia memang laki-laki yang baik. Aku bersyukur mengenalnya. Ya, walau kuakui dulu aku sempat memberi jarak bahkan tembok besar di antara kami. Tapi yang aku tahu sekarang, dia itu tulus.
"Yuk, pulang." Ihsan membukakan pintu mobil untukku. Rasa-rasanya baru kali ini dia melakukannya. Baiklah, satu sikap yang cukup manis, menurutku.
Lima menit awal perjalanan tak ada yang membuka percakapan. Hmmm ... aku bingung ingin bicara tentang apa. Aku yakin Ihsan pun demikian. Ini adalah pertemuan kami setelah dua bulan yang lalu di Yogya. Ada banyak momen yang terjadi. Tapi entah, bagaimana memulai kisah itu.
Aku hanya memilih melihat-lihat kaca mobil yang menampilkan cahaya matahari dan awan jingga. Indah betul. Ah, aku ingat sekali beberapa tahun yang lalu ada perempuan muda yang menangis dengan jalan terseok sembari menatap senja. Saat itu dia membenci sore. Namun sekarang, perempuan itu mengaguminya.
Sesekali aku alihkan tatapan pada wajah Ihsan. Bahkan sampai saat ini aku masih takut-takut untuk curi pandang dengan suamiku ini.
"Pandang aja lama-lama. Gak ada yang larang, kok." Ihsan mengangkat salah satu sudut bibirnya.
Hah? Sebentar ... aku pandangi lekat dirinya. Apakah Ihsan punya mata bonus di lain sisi? Padahal jelas sekali kalau dia sedari tadi fokus menatap jalanan dari balik kemudi. Tapi kenapa ....
"Aku baru sadar kalau kamu sekarang kurusan ya, San."
"Ya, habis gak ada yang ngurusin sih."
"Kan ada Bi Minah? Masakannya juga lebih enak dari aku."
"Wa," Ihsan memutar kepala sembilan puluh derajat, lantas menatapku serius, "aku serius."
Baru juga mulai baik, eh dia mulai menggunakan nada bicara itu. Menakutkan. Seandainya saja sikap manisnya itu bertahan lebih lama, aku pasti lebih suka.
"Iya, paham." Pasrah.
🌿🌿🌿
Suasana malam ini kurasa sangat menenangkan. Sama, seperti lantunan suara Ihsan dalam membacakan doa usai salat isya ini.
Suara yang aku rindukan ini telah kembali. Tuhan, Kau memang baik.
Aku baru saja selesai melepas mukena, melipatnya, dan sekarang duduk di atas ranjang. Aku merasa lelah setelah seharian dengan kaki palsu ini, jadi aku putuskan untuk melepasnya lalu meletakkannya tepat di samping ranjang.
Ihsan baru saja duduk di sampingku setelah mengambil sesuatu dari nakas.
"Masih aneh ya lihat kakiku?"
"Apa? Enggak, kok. Kebiasaan deh, kamu, apa-apa dibikin lebay."
Aku hanya menunduk. Kakiku memang tak seperti dulu, tapi bukan berarti semua harus diratapi. Benar kata Ihsan, aku berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...