Perkelahian

5.6K 423 1
                                    

"Aku aja yang turun. Kamu tunggu di sini," ucapku sebelum turun dari mobil.

Di dalam apotek, aku bergegas membeli apa yang aku inginkan. Kasihan juga kalau Ihsan menghabiskan waktu yang lama untuk menungguku.

"Sudah selesai?" tanya Ihsan setelah aku duduk tepat di sampingnya.

Kututup pintu mobil. "Sudah. Ayo, pulang!"

Sepanjang perjalanan kupegang erat tas jinjing berwarna abu-abu yang ada di pangkuan. Semoga saja apa yang aku beli tidak diketahui oleh Ihsan.

"Mungkin Ibu Hawa sedang hamil."

Ah, kalimat Ibu Tina masih berputar ria di pikiran. Baiklah, pulang dari sini akan aku cek sendiri apakah itu benar. Tidak main-main, aku sampai membelinya tiga dengan merek yang berbeda. Semoga saja akurat.

Sesampainya di rumah, tanpa ambil jeda aku masuk ke kamar. Langsung melakukan apa yang ingin dilaksanakan.

Semua sudah siap. Setelah kuikuti prosesur seperti yang dijelaskan oleh si penjual di apotek tadi aku hanya bisa duduk di kasur sambil meremas paha. Napas susah memburu. Jarum jam yang berdetak suaranya seakan semakin jelas, dan aku menganggap geraknya terasa sangat lambat.

Belum puas dengan hasil siang tadi, malamnya aku langsung saja meminta izin Ihsan agar bisa keluar rumah. Alasannya ingin ke rumah sahabat, padahal kuputuskan pergi ke rumah sakit untuk mengecek lebih lanjut.

"Jadi, bagaimana, Dok?" tanyaku cemas.

Sang dokter menaikkan kedua ujung bibir ke atas hingga terbentuk cekungan indah di wajahnya. "Selamat, Anda sedang hamil."

"Apa?!" Aku mengernyitkan dahi. Dada bergemuruh, sedang batin masih berharap bahwa ini hanyalah mimpi.

"Usianya sudah masuk 4 minggu. Selamat ya, Bu." Dokter yang mengenakan hijab berwarna merah muda itu menyodorkan tangan sebagai tanda selamat. Aku hanya bisa mengulurkan tangan balik. Menjabat tangannya dengan bibir yang dipaksa untuk tersenyum.

Perjalanan sepanjang koridor kuisi dengan lamunan. Banyak hal buruk yang berhasil menyergap segala pikiran. Entah, goresan takdir seperti apa lagi yang akan datang padaku?

Kupegang perut dan menatapnya nanar. Rasa sesak hinggap di dada. Anak ini ... anak ini tak sepantasnya hadir. Tak pernah kusangka bahwa kejadian pada malam itu malah menanam benih yang berhasil berbuah menjadi janin. Pelupuk mendadak tergenang oleh air mata. Masih kucoba untuk menahannya. Walau sebenarnya dengan sekali memejamkan mata, tetesan air itu pasti akan jatuh juga.

Apa gunanya ada anak dalam hubungan ini? Kurasa hanya akan menyisakan sesak terhadap nasib si jabang bayi nantinya.

Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak bisa menjanjikan apa-apa untukmu.

🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Usai makan siang, kubasuh piring dan gelas kotor. Kulihat dari dapur, Ihsan malah sangat asyik menonton TV. Tidak biasanya. Aku hapal betul kegiatannya. Setiap hari Minggu selalu saja pergi keluar. Selalu dengan alasan ada janji dengan teman. Padahal aku tahu alasan di balik itu.

Perkelahian kami sebulan yang lalu berhasil membuat semua yang ada di rumah ini terasa sangat dingin. Semenjak kejadian malam itu, Ihsan menjadi orang yang sangat sibuk bekerja. Kalau akhir pekan, dia akan memilih keluar dengan berbagai macam alasan. Walau sebenarnya aku tahu, garis besarnya adalah dia malas bertemu denganku.

Aku duduk di sebelah Ihsan. Sofa yang berbeda. Hanya suara TV yang terdengar. Cukup Ihsan saja yang menonton, aku lebih memilih duduk santai sembari memainkan ponsel. Berbalas pesan dengan Ghaida.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang