"Masuk!"
Ihsan menarik tanganku menuju kamarnya dengan sangat kasar.
"San, sakit. Lepaskan!" pintaku setengah berteriak, tapi tak dia hiraukan.
Ihsan menutup pintu, mengunci, lalu mendorong badanku ke ranjang.
Aku langsung terhempas, punggung sempat terbentur kepala ranjang. Sakit yang ditimbulkan tidak bisa dikatakan biasa, karena Ihsan mendorong dengan cukup kuat.
Rasa sakit di badan masih tak seberapa besar dengan kekalutan jiwa yang sudah berhasil menyergap.
"Kamu mau apa?" tanyaku sembari mencoba bangkit.
Ihsan melepas atasan yang melekat di badan. Setengah telanjang. Perut dan dadanya yang bidang sudah terpampang nyata.
"Ayo, kita bermain malam ini. Buktikan kalau kamu memang cinta denganku." Ihsan menyeringai.
Apa maksudnya? Apakah dia ... astaga, apakah kali ini dia akan meminta haknya? Aku bisa saja memberikannya, tapi tidak dalam keadaan seperti ini.
"San, aku mau ke kamarku."
Aku bangun dari ranjang, berjalan melangkah ke arah pintu. Baru beberapa langkah, Ihsan malah menarikku dari belakang dan menjatuhkan kembali badan yang kurus ini ke atas ranjang.
"Wa, aku ini suamimu. Bukankah seorang istri harus patuh pada suaminya?"
"KAMU GILA!" teriakku.
"AKU GILA GARA-GARA KAMU!" Suara yang dikeluarkan Ihsan tidak kalah nyaring.
Aku meneguk saliva dengan susah payah.
"Kalau kamu meminta dengan baik-baik, aku akan memberinya. Sekarang, kamu sedang dalam keadaan yang tidak stabil, tidak mungkin aku ...."
"Aku tidak peduli, Wa."
Ihsan berjalan mendekat. Seiring dengan langkahnya, badanku semakin bergetar, keringat dingin sudah mengucur deras membasahi wajah dan badan.
"San, jangan!" Mataku sudah dipenuhi tetesan air mata, tapi Ihsan malah tak menghiraukan.
Dia makin mendekat, hingga tak ada lagi jarak di antara kami. Kudorong badannya sebisa mungkin. Masih tak ada perubahan. Kekuatanku tentu saja kalah jika dibandingkan dengannya.
"San, aku mohon, lepaskan!" pintaku dengan suara lirih. Air mata jatuh, mengalir ke arah telinga.
Ihsan mengunci pertahanan tanganku ke atas. Dicengkeramnya dengan sangat kuat. Aku sempat meringis menahan sakitnya.
"KAU DIAM!"
Dadaku bergemuruh hebat. Hal yang dilakukan Ihsan kali ini benar-benar membuat batinku merasa benci, sedih, dan putus asa secara bersamaan.
Aku masih berusaha melepaskan diri darinya, tapi rasanya percuma. Perlawanan yang kubuat sia-sia. Badanku yang ada malah semakin lesu.
Suara parau ini masih kupaksakan untuk meminta belas kasihan Ihsan, tapi dia masih saja melancarkan aksinya.
Malam itu, sari bunga yang aku jaga dengan keteguhan iman selama hidup, telah direnggut oleh sang kumbang.
Walau dia adalah suamiku sendiri, tapi aku juga tak patut mendapat perlakuan sekasar ini.
Sesuatu yang dia lakukan telah membuat jiwaku seakan hancur. Aku menjaga ini sekuat mungkin, tapi dia mengambil dengan cara yang tak pernah bisa dimaafkan.
Sebelum azan Subuh dikumandangkan, aku masih sibuk membersihkan diri. Di bawah pancuran shower, kugosok badan ini lebih lama dari biasanya.
Sekuat tenaga masih kutahan air mata, tapi di tempat ini ternyata tumpah ruah juga. Suara isak tangisku yang serak berpadu dengan bunyi percikan air yang baru jatuh menghantam lantai kamar mandi.
Kupandangi beberapa bekas tanda yang melekat di badan. Tanda yang diberikan Ihsan malam tadi. Aku benar-benar jijik melihatnya.
Aku membencimu, San.
🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿
Usai kejadian malam itu, aku lebih banyak melamun. Entah, rasanya kebahagiaan yang kuharap akan bisa diraih bersama Ihsan, malah menjauh dari pelupuk mata.
Apa itu kebahagiaan? Nyatanya tidak terletak pada kedekatan kita pada seseorang yang dicintai.
Apa juga itu cinta? Hanya aku yang merasakan. Dia ... sepertinya rasa itu hanya untuk satu wanita yang dulu.
Apakah memang tak ada kesempatan untukku meraih cintanya? Namun, di saat ini aku sudah muak. Semua telah berubah. Aku tidak akan mau meminta kasih darinya. Sudah cukup batin ini disiksa.
Benar ternyata kata Ghaida, bahwa jatuh cinta itu sah-sah saja, tapi tidak untuk mengemis kasih.
Aku begitu bodoh mau berkorban untuk lelaki yang tak punya hati. Aku kira dia adalah bulan, tapi nyatanya bintang di kejauhan yang tak mungkin digapai.
Aku letih. Sangat letih.
"Bu Hawa kenapa melamun?" tanya Ibu Tina--rekan kerja yang mengajar satu kelas denganku.
Sontak aku terkejut. Kutatap dia lekat lalu berkata, "Hanya sedang berpikir."
"Memikirkan apa?" Wanita yang memiliki selisih umur lima tahun lebih tua dariku itu menatap lekat sambil mengernyitkan dahi.
"Eh ... i-i-itu ... kelas kita ini sepertinya minim hiasan, mau deh nanti kelas kita dihias seperti di sebelah."
Aduh, kenapa menjawab terbata-bata seperti itu, sih? Aku takut saja kalau Ibu Tina malah curiga kalau aku ini berbohong.
"Ibu Hawa ini sangat memikirkan tentang anak-anak, ya, sampai urusan kelas ini saja tidak luput dari pengawasan. Tapi benar juga, sih. Nanti kita kerja sama untuk menghias kelas supaya jauh lebih cantik. Ibu Hawa apakah ada konsep untuk hiasannya nanti?"
Mataku membulat sempurna. Ah, jangankan konsep, kepalaku saja saat ini seperti tidak bisa lagi diajak untuk berpikir.
"Masih belum ada, Bu."
Kami melanjutkan kegiatan merapikan kelas dan beranjak meninggalkan kelas yang sudah kosong. Baru beberapa langkah, kulihat Ayu--lagi-lagi--duduk di bangku yang terletak di teras.
Apakah kali ini terlambat dijemput lagi? Kalau benar, kasihan sekali dia.
Rasa-rasanya tak sekali atau dua kali Ayu menangis karena menahan jengkel dan sedih sebab terlalu lama dijemput.
"Ibu Tina duluan aja ke kantor."
Wanita itu mengiyakan lantas meninggalkanku. Kutatap punggungnya yang mulai menjauh hingga hilang di balik pintu kantor.
Aku duduk di sebelah Ayu sambil memandangi anak-anak lain yang sedang asyik memasang wajah ceria dijemput oleh orang tua masing-masing.
Beberapa waktu kemudian, kucoba mencari sosok wanita--mamanya Ayu--, berharap datang untuk menjemput anaknya. Namun, memang tak terlihat
"Apakah Ibu telepon mamanya Ayu?" tanyaku.
"Tidak usah."
"Kenapa?" Aku mengernyitkan dahi.
"Hari ini Om yang jemput Ayu."
Gadis kecil ini begitu semangat mengatakannya. Jujur saja ada sedikit kelegaan di pikiranku setelah mendengarnya. Syukurlah, hari ini tidak seperti biasanya.
"Nah, itu Om sudah datang." Ayu menunjuk ke arah halaman, lebih tepatnya tempat parkir yang berada di kejauhan.
Kulihat seorang lelaki yang baru turun dari mobil. Berbadan tinggi tegap. Menggunakan kaus lengan panjang berwarna abu-abu dan celana denim biru tua. Masih belum kulihat jelas wajahnya karena posisinya masih membelakangi kami.
Masih kutatap betul-betul hingga dia akhirnya menghadap dan mulai berjalan ke arah kami.
Aku sontak terkejut. Badan sempat mematung sembari melihat dia dengan tatapan tak percaya.
Tak kusangka akan bertemu lagi dengannya.
🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿
Part ini buat aku spot jantung ketika menulisnya 😓
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...