Ini salah.
Aku menggeleng dengan kuat. Sebisa mungkin kutepis perasaan cinta yang diutarakan Ihsan malam itu.
Bertahun-tahun aku menyimpan rasa yang diberikan Sang Rahman. Terhitung sudah hampir setengah tahun kami hidup bersama dengan berbekal cinta hanya dari salah satu pihak. Seharusnya hatiku saat ini menari kegirangan atas pengakuan Ihsan. Namun, aku malah dilanda keraguan yang teramat besar.
Bukan cinta yang dia rasakan. Aku sangat yakin tentang itu.
Menurutku, sekarang dia sedang terjebak pada rasa kasihan. Sangat disayangkan, Ihsan masih tidak bisa membedakan antara kata cinta dan simpati.
Kuambil kruk lalu melangkah cepat menuju kamar.
Tok ... tok ... tok ....
"Pergi!" usirku.
"Ini kamarku," jawabnya dengan diiringi ketukan lagi. "Wa, apakah aku salah bicara lagi padamu?"
"Kamu tidur di kamar atas!" suruhku dengan nada tinggi.
Beberapa detik berikutnya suara Ihsan tak lagi kudengar. Lalu seperti ada bunyi jejak langkah yang perlahan mulai menjauh. Kubuka pintu sedikit, benar saja dia mulai naik ke kamar atas.
Biarlah malam ini aku sedikit jahat padanya. Aku hanya ingin menenangkan hati dan pikiran dengan menyendiri di kamar. Sepertinya jalan pikirku akan lebih jernih nantinya.
Ternyata salah.
Seminggu berlalu, tapi kalimat Ihsan pada malam itu masih tidak bisa pergi menjauh dari pikiranku.
Perasaan bahagia dan bimbang berkecamuk. Hatiku seakan-akan ingin berjingkrak girang, tapi logikaku mengatakan berulang kali bahwa ini salah.
Aku perlu sesuatu untuk memastikan perasaannya.
🌿🌿🌿🌿🌿
Drrrt ... drrrt ....
Kulepas pegangan tangan pada pisau untuk mengupas bawang. Padahal pekerjaanku tinggal sedikit lagi selesai.
Kutatap layar ponsel, tertera nama Ihsan. Ini padahal masih siang, tidak sepertinya dia menghubungiku pada waktu seperti ini.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Wa, aku bisa minta tolong?"
"Apa, San?"
"Berkasku tertinggal. Padahal tepat jam dua siang aku ada rapat dengan salah satu investor."
"Tenang, aku akan mengantarkannya ke sana. Kau sebutkan ciri-ciri dokumen itu."
Perjalanan lima belas menit menggunakan taxi, akhirnya sampai juga di depan perusahaan tempat Ihsan bekerja.
Bangunan megah, menjulang tinggi. Aku terperangah melihat eksteriornya yang memang sangat memukau mata. Baru masuk ke bagian resepsionis, aku masih tidak bisa menutupi kekaguman pada interiornya. Benar-benar luar biasa.
Bangunan, semua sarana dan prasarananya sangat memanjakan mata. Maklumlah aku seperti ini,karena ini adalah pengalaman pertamaku ke kantor tempat Ihsan bekerja.
Sebelumnya aku tidak mengatakan apa posisi Ihsan di perusahaan. Dia adalah lelaki dengan jabatan yang bagus. Direktur Keuangan. Kalian pasti berdecak kagum mendengar posisi itu.
Ketahuilah, jabatan bagus tentu sebanding dengan pekerjaan yang ditanggung. Kalau bicara gaji, memang besar. Namun, harga yang harus dibayar adalah waktu di rumah yang sangat sedikit. Tak jarang di akhir pekan pun Ihsan tetap membawa setumpuk pekerjaannya ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...