Dua hari berlalu. Hawa dipindahkan ke rumah sakit yang ada di Jakarta. Tentu saja dengan sarana yang lebih berkelas.
Selama dua hari ini Hawa masih belum sadar dari komanya. Tante Sarah setiap hari datang bersama dengan Kakek. Aku selalu tak sanggup menatap wajah mereka. Kutangkap raut kesedihan yang teramat dalam dari muka mereka. Kasihan. Kondisi Kakek yang selama ini sangat dikhawatirkan. Dia menjadi lebih sering termenung. Tak heran. Hawa dan Mira adalah cucu kesayangannya. Berkali-kali lelaki tua renta itu mengatakan bahwa menjaga Hawa dan adiknya, sama dengan menjaga mutiara yang sangat berharga.
Kasihan sekali kamu, Kek.
Mengingat sudah beberapa hari aku meminta waktu untuk cuti, tentu banyak pekerjaan yang sudah aku tinggal di sana.
"Tante, saya siang ini harus kembali ke Bandung. Saya mohon, jika ada sesuatu tentang keadaan Hawa, tolong kabari saya!" pintaku setulus hati.
"Iya, Nak. Tante paham sekali kamu juga harus mengurus pekerjaan di sana. Hati-hati selama di jalan. Jangan ngebut ya, Gaza!" suruh Tante Sarah sembari menatap mantap wajah Gaza.
Dengan hati yang begitu berat, aku harus meninggalkan Hawa. Ah, hatiku sebenarnya sangat tidak rela untuk berpisah.
"Hawa, aku pulang. Nanti kalau kamu sudah sadar, kita akan pulang bersama." Kukecup keningnya dengan lembut, mengelus pipi itu.
Ya Allah, aku jadi teringat dosa besarku yang pernah memberi hantaman keras di sana. Pipi merahnya ini tak pantas untuk mendapatkan perlakuan sekasar itu.
Lagi dan lagi, air mata jatuh karena penyesalan. Sesak sekali dadaku.
Sepulangnya di rumah, tampak sekali suasana di sini sangat sunyi. Bahkan sampai tiga hari terpisah dari Hawa aku menjadi sangat merindukannya. Aku rindu cerewetnya yang selalu mengingatkanku untuk salat. Aku rindu ajakannya setiap pagi untuk sarapan. Aku juga rindu dengan rona merah di pipinya yang muncul jika setiap kali aku goda. Wanita itu benar-benar tidak pandai menutupi wajah malunya. Aku menjadi terkekeh jika mengingat hal itu.
Hari demi hari berlalu dengan sangat menyiksa. Aku berkali menghubungi Tante Sarah, Mira, atau Bang Faris, sekadar mencari tahu perkembangan Hawa. Besar harapanku dia akan sadar.
Dua minggu berlalu. Hawa masih tak ada perkembangan berarti. Syukur saja kali ini bos memberi keringanan dengan mengizinkanku untuk pergi ke Jakarta. Aku juga sangat berterima kasih pada Gaza yang mau menangani beberapa tugasku. Untuk sisanya, ya akan aku kerjakan nanti.
Di rumah sakit, aku pinta Tante Sarah untuk pulang saja. Kasihan sekali dia, selama aku tidak ada, dia yang begitu telaten menjaga dan mengurus Hawa.
"Hai, Sayang," sapaku pada Hawa yang masih terpejam. Kuelus punggung tangannya, lalu menciuminya berulang kali.
Tak berselang lama usai kedatanganku. Kedua orang tuaku juga ikut menyusul ke Jakarta. Padahal aku sudah mengatakan untuk tetap di Yogya saja. Cukup doakan keadaan Hawa. Namun, bukan Mama namanya kalau tidak dengan segala sikap keras kepalanya.
"Bagaimana keadaan mantu Mama?" tanya Mama usai kusalimi tangannya.
"Masih belum sadar, Ma."
"Kamu yang sabar, ya, Sayang."
Mama mengelus lembut pundakku, berlalu meninggalkanku. Air mata langsung jatuh saat mendekati Hawa. Aku melihat pemandangan itu dari jarak yang cukup jauh. Ah, hatiku juga ikut terasa sakit. Tak sadar setitik air mata juga ikut menyertai perasaan yang mengurung jiwaku.
"Apakah kalian lapar? Kita makan di luar dulu," ajakku. Ayah menyetujui, tapi Mama bersikeras untuk tinggal. Mau menjaga Hawa, katanya.
Sudahlah. Susah untuk berdebat dengan Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...