Balas Dendam

5.3K 378 6
                                    

Aku menggerakkan tangan secara teratur, menggerakkan sendok menuju mulut. Makanan di piring sudah hampir tandas, tapi sosok Ihsan belum pulang juga.

Jarum pendek pada jam yang melekat di dinding sudah menunjuk pada angka delapan. Apakah dia lembur lagi?

Kutatap layar ponsel, tidak ada pesan darinya. Ah, sejak kapan juga dia akan mengatakan padaku kalau akan pulang terlambat. Biasanya juga begini. Malah harus aku dulu yang bertanya.

Ceklek!

Tiba-tiba suara pintu seperti dibuka. Aku tadi memang sengaja tidak mengunci pintu, kalau saja Ihsan akan datang. Apakah itu dia?

Aku bergeming sejenak, lalu menatap seseorang yang sedang melangkah mendekat. Benar saja, ternyata Ihsan.

Aku kembali menyibukkan diri untuk menyelesaikan makan malam. Satu sendok lagi, makanan ini akan habis.

"Tumben kamu gak nunggu aku," kata Ihsan yang kini berdiri di seberang.

Kutatap dia lekat. Kemeja merah yang dia kenakan, di bagian tangan sudah digulung hingga siku. Dia melepas dua kancing atas kemeja, lalu mengambil napas panjang.

"Kamu sendiri yang bilang, kalau aku lapar, makan aja sendiri," balasku dengan nada sedikit judes, "kamu mau makan?"

"Aku mandi dulu." Ihsan langsung masuk ke kamar.

Beberapa menit kemudian, Ihsan keluar kamar. Kini, dia sudah berganti pakaian. Kaus berwarna abu-abu dengan celana hitam yang panjang sampai lutut. Rambutnya basah, jelas sekali karena baru selesai mandi. Wajahnya kini jauh lebih segar dibandingkan sebelum masuk kamar tadi.

Dia langsung melangkah mendekat, lantas duduk. Kuambilkan piring dan mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Kuletakkan piring itu tepat di depannya.

Kulihat dia mulai menyuap makanan yang baru disajikan, sementara aku sibuk menata makanan yang tersisa, memasukkannya ke dalam kulkas. Kemudian kutinggalkan Ihsan setelah mencuci piring dan gelas yang baru dipakai.

"Kamu mau ke mana?" tanya Ihsan.

Kubalikkan badan sebelum naik tangga. "Ngantuk. Kamu makan aja sendiri. Kalau sudah selesai, taruh aja piring kotornya di sana." Kutunjuk wastafel yang terbuat dari aluminium.

Aku sebenarnya tidak sanggup untuk bersikap seperti ini, tapi kalimat Ghaida memang harus dilaksanakan. Biarlah, lagipula ini masih wajar, kok.

Ah, hampir saja aku melupakan sesuatu.

Bari selangkah menaiki tangga, aku berbalik lagi.

"San, di komplek sebelah ada sekolah TK. Aku dengar mereka sedang mencari guru. Bolehkah aku melamar pekerjaan di sana?"

Secuek-cueknya aku, tetap saja kan untuk urusan seperti ini harus minta izin padanya.

Ihsan mengunyah makanan yang baru saja masuk ke mulut, dia menatapku lamat seperti sedang menerawang.

"San, aku mohon! Aku sudah sangat bosan tinggal di rumah seharian. Kalau mengajar TK, setidaknya aku punya aktivitas lain, dan yang lebih pasti aku itu sangat suka dengan dunia anak-anak. Aku mohon, izinkanlah aku!"

Ihsan mengangguk sebentar, lalu kembali menyantap makanan.

Dia ini irit sekali bicara, tapi tak apalah. Biarkan saja, yang penting aku sudah mengantongi izin untuk kembali bekerja.

🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Matahari pagi ini seperti sedang malu-malu menampakkan wajah. Sejak subuh tadi, langit Bandung sudah diguyur hujan lebat. Kini, awan itu masih menyisakan rintiknya.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang