Kemarahan Ihsan

6.4K 411 3
                                    

Sekolah sudah sunyi dari hiruk pikuk anak-anak. Kurang lebih tiga puluh menit yang lalu mereka pulang.

Kubereskan kelas, lalu berniat untuk beranjak ke ruang kantor. Baru keluar dari ruang kelas, aku dikejutkan dengan keberadaan salah seorang murid yang terduduk lesu di atas bangku yang terletak di teras, tepat di samping pintu.

"Ayu belum dijemput, ya?" tanyaku seraya ikut duduk di sampingnya.

Gadis kecil dengan rambut dikepang dua itu masih tertunduk lesu. "Iya, Bu."

"Seharusnya tadi bilang sama Ibu, biar langsung dihubungi orang tuanya."

Kukeluarkan ponsel dari dalam tas, lantas mencari kontak mamanya Ayu. Sebagai seorang guru, aku tentu memiliki nomor kontak seluruh orang tua atau wali murid. Setidaknya untuk jaga-jaga.

Kututup panggilan telepon lalu menatap Ayu lekat. "Nanti mamanya Ayu akan jemput. Katanya, tadi Mama lupa."

"Mama gitu terus," gumam Ayu. Dia menunjukkan wajah cemberut, lalu berkata, "Coba kalau Om, pasti gak akan lupa."

"Memangnya kalau Om, pasti akan bagaimana?" tanyaku dengan nada antusias. Percayalah, ini adalah salah satu trik untuk mengalihkan rasa sedih dan kesalnya

Ayu mulai menceritakan seputar omnya. Melihat cara dia bicara dan mengekspresikan perasaan, dapat kutebak dia sangat menyayangi orang itu.

"Pokoknya, Om adalah orang terbaaaaaaaaik di seluruh dunia, tapi sayang Om sekarang lagi gak ada di sini."

"Memangnya, Om lagi di mana?"

"Jakarta," jawabnya dengan sigap.

🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Kupacu mobil dengan kecepatan sedang untuk membelah jalanan yang tidak terlalu ramai. Setelah kuparkir mobil, lalu bergegas masuk bandara.

Sejam yang lalu Ihsan menghubungiku untuk minta jemput nanti di bandara, tepat pukul 16.00 WIB.

Semoga saja tidak terlambat. Kasihan juga dia kalau sampai menunggu lama.

Baru saja duduk di salah satu bangku, kulihat Ihsan dari kejauhan sedang berjalan mendekat ke arahku, sedang tangannya menarik koper yang berukuran lumayan besar. Tepat di sampingnya ada Gaza--teman satu kantor yang dulu pernah aku temui.

Sebentar, aku dari tidak melihat wanita itu. Di mana dia? Apakah benar Ihsan pergi bersama Lili?

"Bagaimana tadi perjalanannya?" tanyaku sopan. Biasa, sekadar basa-basi.

"Begitulah." Ihsan semakin mendekat dan memberi kecupan hangat di kening.

Aku langsung terperanjat. Benar-benar tidak menyangka perlakuan seperti ini akan kudapatkan dari Ihsan.

Apa-apaan dia ini? Tidak seperti biasanya.

"Memang susah pengantin baru," ejek Gaza.

Hampir saja hatiku seperti melayang, tapi secepat mungkin ditahan. Aku paham sebab Ihsan bersikap seperti ini. Tentu saja karena sedang berada di depan teman sekantornya.

Selama ini mereka selalu menganggap kami adalah sepasang suami-istri bahagia. Mereka hanya tidak tahu, betapa mengenaskannya biduk rumah tangga yang kami jalani.

Ah, sandiwara yang bagus, San.

"Biar aku yang bawa mobil," ucapku ketika Ihsan selesai memasukkan koper ke daam bagasi mobil.

"Biar aku saja," balasnya.

"Kamu juga pasti penat setelah di perjalanan."

Ihsan akhirnya menyetujui ucapanku. Kini  aku duduk fokus menatap jalanan sembari mengatur kemudi.

Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang