Langit begitu cerah. Matahari tak malu-malu menampakkan wajahnya. Angin begitu lembut menyapu wajah dan membuat jilbab yang kukenakan sedikit terkibar.
Lelaki itu masih tertunduk lesu. Kupandangi wajah dengan lekat dengan perasaan hati yang sudah tak tahu lagi harus berkata apa.
Kasihan dia. Sejak pagi tadi tak kutemui paras elok dari wajahnya, tak ada pula ucapan mengejek untukku disetiap hari.
Beberapa hari berlalu begitu saja.
Bang Faris lebih menyendiri. Sepulang kerja selalu tak mau diganggu.
Suasana di rumah semakin suram. Aku masih begitu nestapa. Bang Faris juga tak kalah sedih menentukan sikap. Ada dua orang yang diliputi kegalauan seperti ini tentulah berdampak pada semuanya. Sebenarnya aku sadar bahwa aku adalah orang di balik semua ini. Apa yang menimpa pada Bang Faris tidak mungkin akan terjadi kalau saja aku mampu menjaga pernikahanku bersama Ihsan. Namun bertahan dengan Ihsan ... aku sudah tak sanggup.
"Kamu mau ke mana, Wa? Kok, berpakaiannya rapi begitu."
"Mau ke rumah Ghaida, Bang."
Wajah Bang Faris langsung ubah menjadi pias. Tulang rahangnya sedikit mengeras, dan tatapan matanya seperti sedang menyelidik.
Aku tidak punya pilihan.
Aku harus ke rumah Ghaida. Kasihan sehabatku itu. Saatnya aku bertindak memperbaiki semuanya.
"Hanya ingin ke rumahnya. Hawa dengar dari teman-teman katanya dia sedang sakit. Tidak enak, kan, kalau tidak menjenguknya?" Ada jeda dalam kalimatku. "Kakak ... mau titip pesan atau salam?"
Mata Bang Faris membulat sempurna sebentar, lalu dengan cepat kembali ke semula. "Semoga dia cepat sembuh."
"Baiklah, akan aku sampaikan."
🌿🌿🌿🌿🌿
Perlahan aku menaiki tangga menuju kamar Ghaida. Aku tak mengatakan sebelumnya bahwa kruk kini telah berganti dengan kaki palsu. Langkahku masih begitu kaku. Dua hari bukan waktu yang lama. Aku masih harus beradaptasi.
Sebelumnya mamanya Ghaida sudah mengatakan kedatanganku pada Ghaida. Namun, Ghaida malah menolak untuk keluar kamar. Awalnya dia juga tak mau diganggu, tapi aku tidak bisa seperti ini ....
Bismillah ....
"Da ... aku masuk, ya?" tanyaku usai mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Beberapa detik masih tak ada jawaban. Sudahlah, langsung saja. Lagi pula pintu tidak dikunci.
Suara pintu berderit, tak lama kulangkahkan kaki perlahan mendekati Ghaida yang tengah berbaring di balik selimut.
Duduk di sampingnya, lalu mengelus pundaknya lembut. "Da, kamu sakit apa sih?"
Dia menyibak selimut, mencoba duduk dan menatap wajahku sendu. Matanya kini sangat sembab. Gurat wajahnya juga begitu lesu. Tak pernah kulihat dia dalam keadaan separah ini.
Ghaida adalah pribadi yang begitu ceria dan atraktif. Namun, yang ada di hadapanku kali ini adalah wanita yang begitu menyedihkan keadaannya.
Semua salahku. Salahku.
"Cuma sakit biasa. Nanti juga sembuh."
Hebat sekali dia berdalih. Padahal aku tahu betul sakit yang dia alami kali ini adalah dampak dari pertengkaran beberapa waktu lalu dengan Bang Faris.
"Wa .... Aku boleh minta sesuatu, gak?"
"Apa?" tanyaku bersemangat.
"Untuk sementara jangan ganggu aku dulu. Aku mau istirahat. Gak mau diganggu. Dan gak mau juga ketemu kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...