Ihsan mendongak, menatap mataku lamat-lamat.
Kubalas tatapannya. Kulihat wajah itu yang sudah sangat sendu. Mata indahnya kini sudah sembab karena habis menangis.
"Kemarin selepas kita sidang aku langsung pulang ke sini setelah mendengar kabar Nenek mulai memburuk."
Aku kini paham mengapa selepas sidang mediasi, Ihsan langkahnya begitu sigap meninggalkan ruangan. Tak memberi waktu untukku menyapa atau sekadar basa-basi di luar ruangan.
"Kamu harus tahu, yang ditanyakan Nenek saat pertama bertemu aku bukanlah kabarku, tapi kamu, Wa. Di mana Hawa? Kenapa pulang sendirian?"
Aku mengernyitkan dahi dengan mata yang sudah menahan linangan air mata yang sudah siap meluncur.
Seputar pertanyaan Nenek mengenai aku .... Sungguh, hatiku terasa sakit sekali.
Aku masih bergeming. Menunggu kelanjutan kalimat Ihsan.
"Wa, aku harus menjawab apa pada Nenek?" tanya Ihsan.
Ihsan menunduk lagi. Tangisnya tak dapat lagi dibendung. Ditutupnya wajah dengan kedua tangan untuk menutupi tetesan air mata yang berhasil turun membasahi pipinya.
Melihat keadaan itu, aku semakin mendekat. Kugosok lagi pundak dan punggungnya dengan lembut sebagai bentuk dukungan untuk menguatkannya.
Ihsan langsung meraih pinggangku dengan tangannya. Direngkuhnya kuat, dan wajahnya kini sudah ada di atas perutku. Aku yang sedang berdiri mendadak terdiam.
Tangisnya semakin pecah.
Seiring dengan isak tangisnya, tak kusadari bulir bening juga berhasil jatuh dari pelupuk mataku.
"Nenek sudah sehat. Dia sudah bahagia di sana, San," ucapku sembari mengusap puncak kepala, bahu, dan punggungnya. Dapat kurasakan badannya yang bergetar karena menahan rasa sedih yang teramat besar.
Ihsan semakin mengeratkan peluk dan menenggelamkan wajahnya.
🌿🌿🌿🌿🌿
Sudah sampai pada suapan terakhir.
Aku hanya bisa tersenyum ringan mendapati diri Ihsan yang perlahan membaik.
"Aku izin untuk pulang, San. Nanti kalau ada apa-apa, hubungi aku!"
"Terima kasih, Wa," ucapnya seraya merekahkan senyum di wajah.
Aku hanya mengangguk, menutup mata sekilas sambil mengukir cekungan sabit indah di bibir.
Selepas itu, aku berpamitan kepada seluruh anggota keluarga.
Aku sekeluarga sudah di dalam mobil. Baru saja mesin mobil dinyalakan, tiba-tiba Ihsan yang baru keluar dari rumah mengetuk kaca mobil berulang kali.
"Ada apa? Ada yang tertinggal?" tanyaku usai menurunkan kaca mobil.
"Ini ...." Ihsan menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna hijau. Aku sontak mengernyitkan dahi lalu mengalihkan mata lagi pada Ihsan dengan tatapan bertanya "Apa ini?"
"Titipan dari Nenek untukmu," ucapnya, "dia ingin kamu memilki ini. Katanya, ini adalah bagian dari janjinya."
Janji? Apa maksudnya?
"Iya." Aku mengangguk pelan lantas memasukkan kotak itu ke dalam tas. "Terima kasih. Aku pulang. Assalamualaikum."
"Waalaikumusaalam."
Mobil mulai melaju, dan seiring dengan jarak yang mulai menjauh rasanya ada perasaan sesak dan sakit yang masih sulit untuk dijabarkan.
Seperti ada yang tertinggal di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...